Liputan6.com, Yogyakarta Pelayanan kesehatan jiwa merupakan kebutuhan esensial di fasilitas kesehatan primer seperti Puskesmas. Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta merupakan contoh daerah yang berhasil menempatkan psikolog klinis di tiap Puskesmasnya.Â
Baca Juga
Menurut data Ikatan Psikologi Klinis per Selasa(7/6/2022), di Yogyakarta setidaknya ada 345 psikolog klinis, 88 di antaranya bekerja di Puskesmas. Dibanding provinsi lain yang punya lebih banyak psikolog klinis, Yogyakarta merupakan provinsi dengan jumlah psikolog Puskesmas terbanyak di Indonesia. Sebut saja Jawa Barat yang memiliki 459 psikolog klinis dan hanya 8 orang yang bekerja di Puskesmas.
Advertisement
Hadirnya psikolog di Puskesmas kemudian direplikasi oleh daerah lain seperti Aceh, Jakarta, dan Surabaya. Perjalanan hadirnya psikolog Puskesmas bukanlah perjalanan mulus. Setidaknya, psikolog Puskesmas perlu terus proaktif dalam mengenalkan dirinya pada masyarakat.
Perjalanan awal psikolog Puskesmas
Kehadiran psikolog Puskesmas dimulai ketika ditemukan bahwa beban kerja dokter dan nakes di Puskesmas sudah sangat tinggi sehingga masalah kesehatan jiwa tidak tersentuh. Pada 2004, Dinas Kesehatan Sleman dan Fakultas Psikologi UGM kemudian mulai menginisisasi penempatan psikolog di Puskesmas.
"Rata-rata Puskesmas dengan beban pasien yang tinggi, dokter dan nakesnya memiliki kesulitan dan hambatan, ini dari sisi konsultasinya. Dari sisi pasien, nggak enak juga nih, untuk konsultasi lama pada dokternya padahal antrean pasien masih panjang. Akhirnya kerjasamanya dimulai dari sana," cerita Kepala Seksi Penyakit Tidak Menular, Kesehatan Jiwa, Dinkes Sleman, Seruni Angreini Susila saat ditemui di kantornya, Selasa(17/5/2022).
Urgensi penempatan psikolog di Puskesmas bahkan sudah dilihat sejak tahun 1980-an oleh Guru Besar Universitas Gajah Mada dari Fakultas Psikologi, Sofia Retnowati. Saat itu mulai ada mahasiswa yang melakukan studi kasus di Puskesmas. Sofia menemukan banyak warga mengeluhkan kondisi kesehatan yang sulit dijelaskan masalah fisiknya.
Istilah Jawa seperti dada kemrenyes (membara), mbedodhok (dongkol), ting crening (perasaan campur-aduk), ting crenut (sakit muncul dari sekujur tubuh), tak bisa ditemukan penyebabnya. Ternyata, setelah pasien diajak mengobrol mendalam, ditemukanlah bahwa masalah sesungguhnya terkait dengan kondisi psikologis.
"Kami mulai yakin kalau sebenarnya ini masalah psikologis. Dan dari fakta data yang dia berikan, memang masalahnya itu bukan ada sesuatu yang nggak beres di fisiknya, tapi masalah psikologis," ujar Sofia yang juga mengambil topik pentingnya psikolog Puskesmas saat pidato pengangkatannya sebagai Guru Besar UGM 2011 silam.
Sejak 1990-an, Fakultas Psikologi UGM sudah menerjunkan mahasiswa S1-nya untuk magang di Puskesmas Kabupaten Sleman. Ketika Dinas Kesehatan Sleman berencana menempatkan psikolog di Puskesmas, bak gayung bersambut, Fakultas Psikologi UGM memfasilitasi.
Kinerja signifikan psikolog Puskesmas mulai terlihat ketika tragedi gempa bumi di Bantul 2006 dan erupsi Merapi 2006 dan 2010 silam. Saat itu, psikolog Puskesmas diterjunkan untuk melakukan terapi pada trauma yang dialami masyarakat.
"Awalnya Sleman bertubi-tubi terkena bencana, dari gempa bumi dan erupsi Merapi. Inilah peran psikolog untuk trauma healing, terutama di daerah rawan bencana. Kan mereka stres itu, apalagi waktu itu korbannya juga sudah ada, nah inilah fungsi psikolog datang ke anak, ke orang tua, jadi mereka memberi konsultasi layanan secara bergantian," jelas Kepala Dinas Kesehatan Sleman, Cahya Purnama, Selasa(17/5/2022).
Sejak 2006, 25 Puskesmas yang ada di Kabupaten Sleman sudah menempatkan satu orang psikolog klinis. Pada 2019, ada delapan Puskesmas yang memiliki dua psikolog klinis di satu Puskesmas. Kota Yogyakarta kemudian mulai menempatkan psikolog di Puskesmas pada 2010. Saat ini, 18 Puskesmas di Kota Yogyakarta juga memiliki satu orang psikolog klinis. Kemudian Kabupaten Bantul menyusul di tahun 2017 dengan menerjunkan 8 psikolog klinis yang sekarang bertambah menjadi 16 dari 27 Puskesmas.
Advertisement
Penguatan posisi di Puskesmas
Psikolog klinis sebagai tenaga kesehatan diakui dalam Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2014 pasal 11 ayat 1 Tentang Tenaga Kesehatan. Sama seperti tenaga kesehatan lainnya, dalam berpraktik, psikolog klinis juga memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik Psikolog Klinis (SIPPK).
Sementara penempatan psikolog di Puskesmas sebenarnya sudah tertuang dalam Permenkes nomor 45 tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Psikolog Klinis. Dalam pasal 16 dan 17, dijelaskan bahwa psikolog klinis dapat menjalankan praktik keprofesiannya di fasilitas pelayanan kesehatan seperti praktik perseorangan, klinik, Puskesmas dan rumah sakit. Dalam praktiknya, psikolog juga memiliki kewenangan untuk melakukan pelayanan medis.
Namun, secara spesifik dalam Permenkes nomor 43 tahun 2019 tentang Puskesmas, psikolog belum masuk dalam tenaga kesehatan yang harus ada di Puskesmas. Akibatnya, hanya sebagian Puskesmas yang sadar sekaligus mampu menganggarkan penempatan psikolog, memiliki fasilitan layanan konseling kejiwaan di unitnya.
Hal ini menjadi penyebab tak semua daerah memiliki psikolog Puskesmas. Di DIY, Kabupaten Kulon Progo dan Gunungkidul hingga kini belum memiliki psikolog di Puskesmas. Belum adanya penempatan psikolog Puskesmas juga disebabkan karena rendahnya kesadaran pemangku kepentingan di daerah terkait kesehatan mental.
"Karena pemerintah belum mengalokasikan dana untuk kesehatan mental, dianggap kesehatan mental ya begitu saja, belum dibutuhkan. Dari yang selama ini kita kerjakan ya sangat membantu. Tapi belum masuk dalam sistem secara keseluruhan," ujar Guru Besar UGM dari Fakultas Psikologi, Sofia Retnowati.
Status kepegawaian
Di Sleman, saat ini sebagian sistem kepegawaian psikolog Puskesmas masih berstatus kontrak yang dikelola oleh Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang dikelola oleh Puskesmas. Meski sejak 2019 sudah ada formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), belum semua psikolog klinis yang sudah belasan tahun mengabdi di Puskesmas diangkat sebagai ASN.
Hal serupa juga ditemui di Kota Yogyakarta. Sistem kepegawaian psikolog klinis di Puskesmas masih menggunakan kontrak yang dikelola oleh Puskesmas dan beberapa dibantu oleh APBD Kota Yogyakarta. Artinya secara status kepegawaian psikolog tak sekuat pegawai tetap Puskesmas lainnya.
Akibatnya muncul sejumlah hambatan dalam kinerja sehari-hari. Tak jarang satu Puskesmas bisa mengalami pergantian psikolog dalam jangka waktu yang tidak lama – kaena status psikolog yang hanya kontrak. Padahal, pelayanan terkait kesehatan jiwa merupakan pelayanan jangka panjang.
"Biasanya tenaga teknis itu mobilitasnya tinggi, padahal kalau seperti ini kan kita long term, kita harus mendampingi dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Sehingga kalau gonta ganti orang kan balik lagi mempelajari dari awal," ujar kepala Puskesmas Gondomanan, Fajar Meitaharti ketika ditemui di Puskesmas Gondomanan,Senin(30/5/2022). Di Puskesmas Gondomanan sendiri, kurang lebih sudah ada enam kali pergantian psikolog klinis dalam kurun waktu 10 tahun.
Meita mengungkapkan, jika psikolog klinis sudah bisa masuk dalam formasi ASN, maka psikolog bisa ditempatkan di Puskesmas dalam jangka waktu yang tetap. Sehingga, pelayanan terkait kesehatan jiwa bisa berlangsung dalam jangka panjang tanpa hambatan.
Advertisement
Beban kerja
Hambatan lain juga ditemukan dalam beban kerja psikolog Puskesmas. Psikolog Puskesmas tidak hanya bekerja di dalam gedung, melainkan juga di luar gedung. Di dalam gedung, psikolog melakukan kinerja kuratif memberi konseling pasien. Sementara di luar gedung, psikolog bertanggung jawab menjalankan upaya promosi, prevensi, dan rehabilitasi pada masyarakat.
Beban kerja ini dirasa cukup berat jika hanya dilakukan oleh satu orang psikolog klinis. Di dalam gedung, pelayanan terbentur oleh jam pelayanan yang hanya sampai tengah hari. Jika mengejar kualitas, psikolog hanya bisa melayani paling tidak 5 pasien Atas Permintaan Sendiri (APS). Belum jika ada jadwal pemeriksaan Antenatal Care (ANC) untuk ibu hamil dan paket calon pengantin (catin) yang tidak bisa diprediksi jumlahnya.
Dalam sehari, jika sedang padat, psikolog di Puskesmas bisa melayani 12 pasien. Sementara di luar gedung, psikolog bertugas melakukan home visit (kunjungan rumah), kunjungan ke daerah binaan, hingga melakukan sosialisasi pada warga atau ke sekolah. Sehingga, bukan tak mungkin jika terjadi antrean pasien.
"Kalau saya keluar, yang di sini (Puskesmas) keteteran, tapi kalau saya nggak keluar, kegiatan (di masyarakat) saya juga kurang," ujar Swastika Ayu, psikolog Puskesmas Depok 2, Sleman.
Untuk mengatasinya, Swastika bisa melayani pasien setelah jam layanan usai. Atau, ketika sedang jadwal pemeriksaan ANC, Swastika menutup layanan APS.
Hal serupa juga dirasakan oleh Giyati, psikolog Puskesmas Gedongtengen, Kota Yogyakarta. Untuk membagi waktu, biasanya Giyati, melakukan pelayanan di dalam gedung hingga jam pelayanan usai pada tengah hari. Setelah itu, ia lanjut berkegiatan di luar gedung seperti home visit atau melakukan penyuluhan terkait kesehatan jiwa.
"Misalnya seperti skrining lansia, Penyakit Tidak Menular (PTM), yandu, dan kegiatan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) lainnya, kita lakukan setelah jam pelayanan di dalam gedung selesai," ujar Giyati yang sudah sejak 2018 berpraktik di Gedongtengen.
Berbeda dengan Puskesmas yang memiliki dua psikolog di satu Puskesmas. Di Puskesmas Godean 1, misalnya, yang punya dua psikolog. Siam Hanifah dan Lilis Rosyidah selaku psikolog di Puskesmas Godean 1 merasa pekerjaannya menjadi lebih efektif.
"Ketika sudah berdua, satu di dalam gedung, satu lagi di luar gedung. Jadi ketika ada pasien yang membutuhkan, tetap tertangani," ujar Lilis.
Dinas Kesehatan Sleman dan Kota Yogyakarta juga menyadari akan kebutuhan ini. Namun, untuk menambah tenaga psikolog di Puskesmas, diperlukan Analisis Jabatan yang kompleks. Terlebih, penambahan tenaga teknis berarti harus merancang anggaran baru.
"Kita kan ada yang namanya analisis jabatan dan peta jabatan, di mana di situ masuk jenis ketenagaan sesuai dengan kebutuhan layanan. Jadi, masing-masing Puskesmas ada Anjabnya," jelas Lana Unwanah, Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
Hal serupa juga dijawab oleh Dinas Kabupaten Sleman. Saat ini, penambahan tenaga psikolog Puskesmas masih perlu analisis mendalam. Terlebih, di Sleman kebutuhan akan dokter dan perawat menjadi lebih urgent karena sudah banyak yang akan pensiun.
"Menjembatani yang kurang-kurang itu, kami tetap bekerja sama dengan Fakultas Psikologi UGM. Jadi sampai sekarang masih diterjunkan mahasiswa psikologi yang sudah tahap akhir. Itu sangat membantu teman-teman psikolog Puskesmas," jelas Kepala Seksi Penyakit Tidak Menular, Kesehatan Jiwa, Dinkes Sleman, Seruni Angreini Susila.
Pengakuan BPJS
Serangkaian hambatan eksternal dan internal dalam kinerja psikolog klinis masih ditemui. Di ranah eksternal, hingga saat ini sistem Jaminan Sosial yang dikelolan oleh BPJS kesehatan diagnosis kesehatan jiwa hanya bisa dilakukan oleh dokter. Padahal, Sesuai dengan UU Nomor 18 tahun 2014, psikolog punya hak melakukannya. Ketidaksinkronan kebijakan ini perlu mendapat perhatian lebih lanjut.
Di lapangan, agar pasien tetap didanai BPJS dalam hal pelayanan kesehatan mentalnya, Puskesmas akan mengarahkan pasien untuk melakukan pemeriksaan terlebih dahulu di poli umum. Baru, jika ada indikasi kesehatan mental, dokter di poli umum akan merujuk pasien ke poli psikologi.
Tak cuma itu, menurut Diana Setiyawati, selaku Ketua Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM dalam tulisannya bersama Subandi, profesor Fakultas Psikologi UGM di buku Jiwa Sehat, Negara Kuat mengatakan, layanan psikolog dalam bentuk psikoterapi, individu, kelompok, maupun masyarakat, perlu dimasukkan dalam anggaran BPJS.
Advertisement
Kurikulum baru psikolog klinis
Dalam ranah internal, dibutuhkan perampingan kurikulum terkait SDM psikolog di Puskesmas. Selama ini, psikolog Puskesmas merupakan lulusan Magister Profesi Psikologi Klinis. Di Puskesmas, jenjang akademik ini dinilai terlalu tinggi.
"Karena untuk psikolog itu kan rata-rata ya S2 profesi, harapannya jenjangnya ada yang terampil dan ahli. Kalau kita paksakan ada dua tenaga ahli, nanti otomatis kedepannya dalam menyusun akreditasi itu dimungkinkan tidak tercapai," ujar Sri Mujianto, Kepala Puskesmas Depok 2, Sleman.
Diana dan Subandi dalam tulisannya menambahkan, diperlukan peninjauan kembali terkait kurikulum pendidikan psikologi di Indonesia. Terlebih, kini psikolog yang sudah diakui sebagai tenaga kesehatan, pasti memerlukan penyesuaian kurikulum multidisipliner.
"Jika cukup dengan psikolog umum lulusan sarjana plus, maka tentunya diperlukan modifikasi kurikulum," tulis Diana dan Subandi.
Jalan masih panjang
Menurut Diana, hal yang dirasa masih kurang dari psikolog Puskesmas adalah belum adanya penelitian yang sistematis terkait pengobatan berbasis bukti ketika melayani pasien. Pentingnya bukti ilmiah terkait kinerja psikolog Puskesmas dapat menguatkan posisi Puskesmas.
Bukti ini nantinya yang bisa meyakinkan para pemangku kepentingan di daerah untuk menempatkan psikolog di Puskesmas.
"Bukti dari kabupaten yang sudah berhasil dengan psikolognya barangkali bisa dibawa ke level DIY. Before-after-nya, keuntungan bagi masyarakat, efisiensi pembiayaan kesehatan, itu harus dijabarkan lengkap sehingga mereka tertarik, oke saya akan berinvestasi menanamkan psikolog di Puskesmas." ujar Seruni dari Dinas Kesehatan Sleman.
Psikolog juga dinilai harus lebih proaktif dalam menjalankan tugasnya. Dengan lebih luwes bersama pemangku kebijakan lokal, profesi psikolog akan lebih dikenal dan membantu memenuhi kebutuhan masyarakat.
"Mereka psikolog Puskesmas itu harus mencari masyarakat, harus proaktif mendekati masyarakat sehingga menemukan apa yang dibutuhkan masyarakat dan melayani secepat mungkin," tambah Guru Besar Universitas Gajah Mada dari Fakultas Psikologi, Sofia Retnowati.
Advertisement
Replikasi untuk daerah lain
Kabupaten Sleman sebagai daerah otonom, berhasil menciptakan kebijakan penempatan psikolog di tiap Puskesmasnya. Kebijakan semacam ini sangat mungkin direplikasi oleh daerah-daerah lainnya. Minimal, paling tidak ada beberapa psikolog Puskesmas di satu kabupaten yang bisa jadi satelit. Tentu saja keputusan semacam ini kembali pada pemangku kebijakan: apakah memandang kesehatan mental sebagai masalah mendesak.
"Cuma pemangku kebijakannya ini ngeh tidak, penting tidak, di blow up tidak, jadi suatu isu strategis. Ini yang mungkin perlu banyak pendekatan dari semua pihak untuk menyadarkan para pemangku kebijakan bahwa isu kesehatan mental ini penting" ujar Seruni.
Diperlukan upaya advokasi yang kuat untuk mengenalkan pentingnya psikolog di Puskesmas. Hal ini juga disampaikan oleh Siam Hanifah, psikolog Puskesmas Godean 1.
"Kalau dari pengalaman, misal seandainya mau mereplikasi ke wilayah lain yang mungkin belum ada layanan kesehatan mentalnya (maka) lebih pada sosialisasi, mengenalkan pada masyarakat, dan jejaring. Jejaring sangat membantu sekali untuk masyarakat akhirnya lebih paham terhadap kesehatan mental." pungkas Hani.
Perjalanan psikolog di Yogyakarta adalah sebuah gambaran pijakan awal. Bagi sebagian besar psikolog lain yang ingin memberi pelayanan di Puskesmas daerah, jalan masih panjang terbentang.