Liputan6.com, Jakarta Pedofil adalah kata yang cukup menjadi sorotan belakangan ini. Kata pedofil cukup menarik perhatian usai munculnya kabar Kriss Hatta menjalin hubungan asmara dengan anak perempuan berusia 14 tahun.
Hal ini tentu memicu rasa penasaran di benak banyak orang mengenai apa itu sebenarnya pedofil. Seperti dikutip dari Science Direct, pedofilia atau pedofil adalah minat seksual yang terus-menerus pada anak-anak praremaja yang dibuktikan dengan fantasi seksual, dorongan, dan perilaku seksual orang dewasa yang diarahkan pada tujuan.
Dengan kata lain, pedofilia atau pedofil adalah kecenderungan seksual di mana seseorang yang sudah dewasa memiliki keinginan untuk berhubungan secara seksual dengan anak-anak di bawah umur.
Advertisement
Batasan anak di bawah umur ini tentu penting untuk diketahui lebih lanjut untuk memahami batasan yang jelas mengenai makna dari pedofilia atau pedofil. Oleh karena itu, artikel ini akan memberikan ulasan lebih lengkap mengenai pedofilia, mulai dari pengertian, dan karakteristik orang-orang yang termasuk pedofilia, berdasarkan sumber-sumber yang telah dirangkum Liputan6.com pada Selasa (28/9/2022).
Pengertian Pedofilia
Secara etimologi pedofilia atau pedofil berasal dari kata dalam bahasa Yunani, yakni pais, paidos yang berarti anak, dan philia yang berarti cinta yang bersahabat. Dengan kata lain, pedofil dapat diartikan sebagai cinta pada anak.
Namun secara terminologi, pedofilia atau pedofil adalah gangguan kejiwaan di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua mengalami ketertarikan seksual primer atau eksklusif untuk anak-anak praremaja. Adapun kriteria anak praremaja berdasarkan pendapat Kail dan Cavanaugh (2010) dalam karya mereka berjudul "Human Development: A Lifespan View (edisi ke-5) adalah adalah anak-anak hingga usia 13 tahun. Batas usia ini didasarkan pada kecenderungan masa pubertas anak perempuan yang dimulai pada usia 10-11 tahun, dan anak laki-laki yang mulai mengalami masa pubertas antara usia 11-12 tahun.
Berdasarkan batas usia praremaja tersebut, seseorang bisa dianggap sebagai pedofil jika telah berusia 16 tahun atau lima tahun lebih tua dari anak praremaja.
Sementara itu, menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), pedofilia atau pedofil adalah jenis penyakit di mana seseorang menunjukkan pola gairah seksual yang berkelanjutan, terfokus, dan intens—seperti yang dimanifestasikan oleh pikiran, fantasi, dorongan, atau perilaku seksual yang terus-menerus—yang melibatkan anak-anak pra-pubertas.
Dari sejumlah penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa pedofilia atau pedofil adalah gangguan mental di mana orang yang sudah dewasa memiliki kecenderungan atau keinginan untuk berhubungan seksual dengan anak-anak yang belum melewati masa puber, yang diwujudkan dalam bentuk fantasi, dorongan, bahkan tindakan konkret.
Lebih jauh, pedofil atau pedofilia tak jarang mendorong seseorang hingga berani atau nekat untuk melakukan kejahatan seksual pada anak di bawah umur. Bahkan, kasus ini cukup sering terjadi di Indonesia.
Advertisement
Ciri-Ciri Pedofilia atau Pedofil
Seseorang yang memiliki gangguan pedofilia atau pedofil biasanya dapat dikenali dari ciri-ciri yang terwujud dari tindakannya. Dikutip dari Mental Health Center , ciri-ciri orang pedofilia atau pedofil adalah sebagai berikut:
1. Populer dengan anak-anak dan orang dewasa.
2. Tampaknya dapat dipercaya dan terhormat. 3. Memiliki reputasi yang baik di masyarakat.
4. Lebih suka ditemani anak-anak. Terasa lebih nyaman dengan anak-anak daripada orang dewasa. Terutama tertarik pada anak laki-laki dan perempuan praremaja. Bisa heteroseksual, homoseksual, atau biseksual.
5. Suka memanjakan anak-anak dengan video game, pesta, permen, mainan, hadiah, bahkan uang.
6. cenderung memilih anak-anak yang tampak bermasalah dan membutuhkan perhatian atau kasih sayang.
7. Seringkali berkencan atau menikahi wanita yang memiliki anak seusia dengan korban pilihannya.
8. Jarang memaksa atau memaksa anak untuk melakukan kontak seksual. Biasanya melalui kepercayaan dan persahabatan. Kontak fisik dilakukan secara bertahap, mulai dari menyentuh, mengangkat, berpegangan pada pangkuan, hingga berciuman, dll.
9. Mendapatkan kepuasan dalam beberapa cara. Bagi sebagian orang, melihat saja sudah cukup. Bagi yang lain, memotret atau melihat anak membuka baju sudah cukup. Yang lain lagi membutuhkan lebih banyak kontak.
10. Menemukan berbagai cara dan tempat untuk menyendiri dengan anak-anak.
11. Pedofilia atau pedofil kebanyakan adalah laki-laki, maskulin, berpendidikan lebih baik, lebih religius daripada rata-rata, berusia tiga puluhan, dan memilih pekerjaan yang memberi mereka akses lebih besar ke anak-anak.
12. Perkawinan sering bermasalah dengan disfungsi seksual. Perkawinan ini biasanya hanya digunakan sebagai tabir atau kedok untuk menutupi gangguan pedofilia atau pedofil yang ia alami.
13. Kebanyakan dari mereka pernah menjadi korban dari beberapa bentuk pelecehan seksual masa kanak-kanak.
Penyebab Pedofilia atau Pedofil
Meskipun tidak ada hubungan sebab akibat langsung yang dapat ditentukan, para peneliti telah menghubungkan perkembangan minat pedofilia dengan sejumlah faktor lingkungan dan neurobiologis. Misalnya, beberapa investigasi awal menunjukkan sebagian pedofilia dulunya pernah menjadi korban pelecehan seksual.
Selain faktor tersebut, ada 5 faktor yang mendorong perkembangan pedofilia atau pedofil adalah sebagai berikut:
a. Sistem keluarga patologis atau disfungsional
b. Tidak adanya dukungan sosial di masa kecil
c. Gangguan perkembangan
d. Faktor neurobiologis tertentu
e. Faktor biologis tertentu
Advertisement
Pedofilia atau Pedofil Termasuk Orientasi Seksual?
Beberapa penelitian, seperti dikutip dari Choosing Therapy, menunjukkan bahwa pedofilia mencerminkan orientasi seksual, yang spesifik mengacu pada usia. Pedofilia atau pedofil melibatkan kesadaran akan minat pada anak usia praremaja. Sebagian besar merahasiakan ini karena takut dan malu, yang mengakibatkan tekanan psikologis dan emosional.
Beberapa ilmuwan percaya bahwa ketertarikan seksual pada anak-anak dapat berubah. Namun, sebagian besar penyelidikan ilmiah menunjukkan bahwa pedofilia tetap stabil dari waktu ke waktu, sama halnya dengan orientasi seksual berbasis gender.
Meski demikian, upaya pengobatan dan terapi dipercaya dapat membantu individu untuk mengatasi dorongan seksual mereka terhadap anak di bawah umur.
Penanganan dan Terapi
Beberapa jenis penanganan dan terapi dipercaya dapat mengatasi masalah pedofilia atau pedofil pada seseorang. Ini ditandai dengan peningkatan fungsi psikososial dan berkurangnya risiko pelanggaran seksual. Adapun penanganan dan terapi untuk pedofilia atau pedofil biasanya melibatkan sejumlah metode terapi, di antaranya adalah Cognitive-behavioral Therapy (CBT), Terapi Psikodinamik, Pencegahan Kekambuhan, Terapi Berbasis Kekuatan, dan Intervensi Neurobiologis.
Cognitive-behavioral Therapy (CBT)
CBT adalah salah satu intervensi yang paling banyak diteliti untuk mengatasi pola gairah seksual yang bermasalah, dan telah menunjukkan beberapa efektivitas dalam mengurangi risiko pelecehan seksual. Perawatan berfokus pada mengubah perilaku melalui restrukturisasi kognitif. Individu mengidentifikasi distorsi kognitif yang terkait dengan minat pedofilia mereka, terutama yang dapat meningkatkan risiko pelanggaran seksual. Misalnya bahkan mereka percaya anak-anak dapat menyetujui hubungan seks dengan orang dewasa.
Distorsi tersebut digantikan dengan proses berpikir yang dapat diterima secara sosial yang mendorong perilaku prososial dan bertanggung jawab.
Terapi Psikodinamik
Terapi psikodinamik mungkin merupakan pilihan yang lebih tepat bagi individu yang ingin mengeksplorasi trauma masa kanak-kanak, perkembangan seksual awal, dan struktur kepribadian. Dari perspektif ini, minat pedofilia mencerminkan konflik yang belum terselesaikan yang berasal dari gangguan selama periode perkembangan psikoseksual, yakni mulai bayi hingga prapubertas.
Terapi psikodinamik bertujuan untuk mengatasi gangguan kehidupan awal dengan menargetkan komponen tak sadar dari fantasi dan dorongan seksual individu.
Pencegahan Kekambuhan
Pencegahan kekambuhan umumnya digunakan dalam pengobatan untuk individu yang telah melakukan pelecehan seksual. Pendekatan ini berfokus pada menghilangkan faktor risiko yang terkait dengan pelecehan seksual terhadap anak-anak. Individu akan dilatih untuk mengantisipasi pemicu emosional dan perilaku, serta situasi risiko seperti melihat pornografi anak yang dapat memicu tindak pelecehan seksual.
Metode tersebut memungkinkan individu untuk menetapkan strategi koping yang efektif untuk melawan faktor risiko dan pemicu yang muncul. Pencegahan kekambuhan mengharuskan individu memiliki motivasi yang tinggi untuk menghindari perilaku pelecehan seksual dan membangun empati melalui pendidikan tentang efek pelecehan seksual pada anak-anak.
Terapi Berbasis Kekuatan
Terapi berbasis kekuatan dilakukan dengan tujuan agar orang dengan gangguan pedofilia atau pedofil memahami dan menghargai pengaruh lingkungan dalam pengembangan identitas. Terapi berbasis kekuatan diharapkan dapat mendorong diskusi tentang stigma sosial dan dampaknya pada kesejahteraan emosional dan psikososial mereka.
Intervensi Neurobiologis
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) sering diresepkan untuk membantu mengurangi hasrat seksual, dorongan seksual, dan perilaku seksual kompulsif. Metode ini paling sering digunakan pada seseorang yang telah dihukum karena kejahatan seksual. Individu yang tertarik pada anak di bawah umur dapat memilih untuk menggunakan SSRI untuk mengobati gejala kecemasan atau depresi, serta mengandung dorongan seksual atau mengurangi risiko perilaku seksual berisiko tinggi
Meskipun kontroversial, kebiri kimia adalah jalan keluar lainnya untuk menangani kasus pelanggaran seksual yang parah. metode ini bertujuan untuk menurunkan kadar testosteron melalui pemberian hormon steroid antiandrogen. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat memiliki undang-undang khusus yang mewajibkan individu yang dihukum karena kejahatan seksual serius untuk menerima perawatan ini.
Advertisement