Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia menerbitkan peraturan tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual. Total ada enam belas jenis kekerasan seksual yang diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 tahun 2022.
Enam belas jenis kekerasan seksual menurut Kemenag ini berupa ujaran melecehkan secara fisik, kondisi tubuh, identitas gender, menatap, merayu, membujuk tindak seksual, mengintip, melecehkan, merekam, hingga menggugah sesuatu yang mengarah pada kejahatan seksual.
Menag Yaqut Cholil Qoumas menandatangani PMA ini pada 5 Oktober 2022 dan resmi diundangkan pada 6 Oktober 2022. Peraturan baru ini diberlakukan di satuan pendidikan di bawah naungan Kemenag baik yang formal, non-formal, dan informal. Tujuan utama peraturan ini dibuat untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual.
Advertisement
Total ada 20 pasal dan 7 bab yang mengatur ketentuan, bentuk kekerasan seksual, pencegahan, penanganan, pelaporan, pemantauan dan evaluasi, serta sanksi dan ketentuan penutup. Simak penjelasan lengkapnya.
Berikut Liputan6.com ulas enam belas jenis kekerasan seksual menurut Kemenag dan penanganan kasus kekerasan seksual menurut Kemenag, Senin (17/10/2022).
Jenis Kekerasan Seksual Menurut Peraturan Kementerian Agama
Apa saja enam belas jenis kekerasan seksual menurut Kemenag tersebut?
Jenis kekerasan seksual ini dipaparkan dalam BAB 2 tentang Bentuk Kekerasan Seksual yang tertuang pada pasal 5 ayat 1. Enam belas jenis kekerasan seksual ini mencakup perbuatan verbal, non-fisik, fisik, dan/atau segala yang diperantarai teknologi informasi dan komunikasi.
Ini enam belas jenis kekerasan seksual menurut Kemenag yang dimaksudkan:
1. Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan secara fisik kondisi tubuh atau identitas gender.
2. Menyampaikan ucapan seperti berupa rayuan, lelucon, dan siulan yang bernuansa seksual.
3. Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, mengancam, atau memaksa untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual.
4. Menatap tanpa izin dengan nuansa seksual atau tidak nyaman.
5. Mengintip atau dengan sengaja melihat seseorang yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi atau pada ruang yang bersifat pribadi.
6. Memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja.
7. Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh seseorang yang disebut korban.
8. Melakukan percobaan pemerkosaan.
9. Melakukan pemerkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin.
10. Mempraktikkan budaya yang bernuansa kekerasan seksual.
11. Memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi.
12. Membiarkan terjadinya kekerasan seksual.
13. Memberikan hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual.
14. Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban.
15. Mengambil, merekam, mengunggah, mengedarkan foto, rekaman audio, dan/atau visual korban yang bernuansa seksual.
16. Melakukan perbuatan kekerasan seksual lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan.
Diaturnya enam belas jenis kekerasan seksual yang diundangkan Kemenag mulai 6 Oktober 2022 ini, sebagai upaya mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual terutama di satuan pendidikan di bawah naungan Kemenag.
Satuan pendidikan ini diharapkan bisa berkoordinasi dengan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, perguruan tinggi, satuan pendidikan lain, masyarakat, dan orang tua.
Advertisement
Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Menurut Peraturan Kementerian Agama
Kemenag tak hanya merincikan enam belas jenis kekerasan seksual, tetapi juga mengatur penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi. Peraturan penanganan kasus kekerasan seksual ini diatur dalam BAB 4 tertuang dalam pasal 8, satuan pendidikan wajib menangani kasus kekerasan seksual sebagai berikut:
1. Wajib melakukan pelaporan.
2. Wajib melakukan perlindungan.
3. Wajib melakukan pendampingan.
4. Wajib melakukan penindakan.
5. Wajib melakukan pemulihan korban.
Pendampingan yang berhak didapat oleh korban kekerasan seksual diatur atau tertuang dalam pasal 12 ayat 3, berupa:
1. Berhak mendapatkan konseling.
2. Berhak mendapat layanan kesehatan.
3. Berhak mendapatkan bantuan secara hukum yang layak.
4. Berhak mendapat layanan rehabilitasi untuk pemulihan.
Sanksi yang wajib didapatkan oleh pelaku kekerasan seksual diatur atau tertuang dalam BAB VI pasal 18 ayat 1, pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual sebagaimana disebutkan di atas akan dikenai sanksi pidana dan sanksi administrasi.
Pelaku kekerasan seksual yang berstatus PNS tertuang dalam BAB VI pasal 18 ayat 3, maka penanganan administratifnya dilaksanakan sesuai ketentuan PNS. Sementara pada ayat 4, jika pelaku kekerasan seksual tidak berstatus PNS, maka penanganan administratif mengikuti aturan yang diberlakukan oleh satuan pendidikan.
Mengenai sanksi pidana tindak kekerasan seksual diatur dalam BAB VI pasal 18 ayat 2, ini dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Apabila satuan pendidikan tidak menjalankan kewajiban seperti memfasilitasi serta membantu penanganan kekerasan seksual sebagaimana dijelaskan di atas, maka akan dikenai sanksi. Adanya sanksi yang akan diperoleh satuan pendidikan ini telah diatur dalam pasal 19 berupa sanksi administratif berikut ini:
1. Memperoleh sanksi berupa teguran lisan.
2. Memperoleh sanksi berupa peringatan tertulis.
3. Memperoleh sanksi berupa penghentian perbuatan.
4. Memperoleh sanksi berupa pembekuan izin penyelenggaraan satuan pendidikan.
5. Memperoleh sanksi berupa penghentian sementara kegiatan penyelenggaraan.
6. Memperoleh sanksi berupa pencabutan izin penyelenggaraan satuan pendidikan.
7. Memperoleh sanksi berupa pencabutan tanda daftar satuan pendidikan.
Â