Sukses

Arbitrase Adalah Menyelesaikan Masalah dengan Pihak Ketiga, Ketahui Prosesnya

Arbitrase adalah penyelesai masalah di luar pengadilan yang sah.

Liputan6.com, Jakarta - Arbitrase adalah istilah hukum yang mendefinisikan penyerahan kekuasaan. Arbitrase adalah wujud penyerahan kekuasaan dengan tujuan bisa menyelesaikan suatu masalah tanpa perlu campur tangan pengadilan. Proses arbitrase dibantu oleh pihak ketiga yang disebut arbiter.

Dalam buku berjudul Kumpulan Karangan Hukum Perakitan, Arbitrase, dan Peradilan oleh R. Subekti dijelaskan arbitrase adalah berasal dari kata arbitrare (bahasa Latin), arbitrage (bahasa Belanda), arbitration (bahasa Inggris), schiedspruch (bahasa Jerman), dan arbitrage (bahasa Prancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit.

Arbitrase adalah menjadi penyelesai masalah yang dilakukan di luar pengadilan. Meski diselesaikan di luar pengadilan, arbitrase diatur hukum perdata dengan perjanjian oleh pihak-pihak yang tengah bersengketa. Arbitrase tetap bisa menjadi alternatif penyelesai masalah di luar pengadilan yang sah.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang arbitrase, proses melakukan arbitrase, kelebihan arbitrase, dan kekurangan arbitrase, Kamis (3/11/2022).

2 dari 4 halaman

Arbitrase adalah Menyelesaikan Sengketa dengan Arbiter

Di Indonesia, penyelesaian masalah dengan arbitrase diatur dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Bahwa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Pihak yang paling berperan dalam menyelesaikan masalah dengan arbitrase adalah arbiter atau pihak yang mewakili. Dalam pasal 1 angka 7, seorang arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.

Arbitrase disebut juga sebagai salah satu alternatif cara menyelesaikan sengketa dengan tindakan hukum yang diakui undang-undang. Pihak ketiga atau arbiter sebagai penyelesai masalah yang netral, dipilih oleh kedua pihak yang bersengketa dengan sukarela.

Dalam buku berjudul Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa oleh Priyatna Abdulrrasyid, dijelaskan proses arbiterase adalah dilakukan dengan satu pihak atau lebih menyerahkan sengketannya, ketidaksepahamannya, ketidakkesepakatannya dengan salah satu pihak lain atau lebih kepada satu orang (Arbiter) atau lebih (arbiter-arbiter majlis) ahli yang profesional.

 

3 dari 4 halaman

Cara Memilih Arbiter untuk Kepentingan Arbitrase

Kunci utama dari proses hukum arbitrase adalah memilih arbiter atau pihak ketiga. Seorang arbiter secara sukarela bisa dipilih oleh kedua pihak yang bersengketa. Arbiter bisa pula ditunjuk oleh pihak pengadilan atau lembaga arbitrase.

Pihak yang dikecualikan menjadi arbiter adalah hakim, jaksa, panitera, dan pejabat peradilan lainnya. Syarat menjadi seorang arbiter diatur dalam undang-undang yang sama, pasal 12 ayat 1:

1. Syarat menjadi arbiter adalah harus memiliki kecakapan dalam melakukan tindakan hukum.

2. Seorang arbiter paling paling rendah berusia 35 tahun.

3. Syarat menjadi arbiter pun harus tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa.

4. Seorang arbiter harus mereka yang tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase.

5. Syarat menjadi arbiter adalah terakhir harus memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.

Apabila persyaratan menjadi seorang arbiter sudah terpenuhi, selanjutnya perjanjian tentang kesediaan arbiter juga harus dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Dalam perjanjian tersebut harus memuat:

1. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter.

2. Tempat arbiter akan mengambil keputusan.

3. Pernyataan kesediaan arbiter.

Arbiter yang tidak bersedia menyelesaikan sengketa, boleh menolak pengangkatan atau penunjukkan tersebut. Dalam pasal 16 ayat 2, ditegaskan penolakan arbiter wajib dilakukan dengan memberitahu secara tertulis kepada pihak terkait dalam waktu paling lama 14 hari terhitung sejak tanggal ditunjuk.

Sementara ketika arbiter sudah setuju dengan penunjukkan, tetapi berniat mundur atau menolak kemudian, ini harus didasarkan pada keputusan kedua belah pihak sengketa, apakah menyetujui atau tidak menyetujui.

Dalam pasal 19, arbiter dalam posisi ini harus mengajukan permohonan kepada pihak terkait. Apabila para pihak menyetujui penarikan diri, arbiter dibebaskan tugasnya. Sebaliknya, jika para pihak tidak setuju, pembebasan tugas arbiter ditetapkan Ketua Pengadilan Negeri.

4 dari 4 halaman

Kelebihan dan Kekurangan Menyelesaikan Masalah dengan Arbitrase

Di Indonesia semenjak UU nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase disahkan, penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase semakin meningkat. Ini termasuk sengketa dalam ruang lingkup internasional.

Apa saja kelebihan dan kekurangan menyelesaikan masalah dengan arbitrase? Berikut penjelasannya yang Liputan6.com lansir dari berbagai sumber:

Kelebihan Arbitrase

1. Arbitrase memiliki keuntungan, proses sidang tertutup untuk umum.

2. Arbitrase pun prosesnya lebih cepat (maksimal enam bulan).

3. Menyelesaikan masalah dengan arbitrase, putusannya final dan tidak dapat dibanding atau kasasi.

4. Arbiternya dipilih oleh para pihak, kelebihan arbitrase adalah bisa memilih arbiter yang ahli dalam bidang yang disengketakan, dan memiliki integritas atau moral yang tinggi.

5. Walaupun biaya formalnya lebih mahal daripada biaya pengadilan, kelebihan arbitrase adalah tidak ada 'biaya-biaya lain' .

6. Khusus di Indonesia, para pihak dapat mempresentasikan kasusnya dihadapan Majelis Arbitrase dan Majelis Arbitrase dapat langsung meminta klarifikasi oleh para pihak.

Kekurangan Arbitrase

1. Kekurangan arbitrase adalah sulitnya pelaksanaan atau eksekusi putusan arbitrase.

2. Pengadilan di Indonesia seringkali "dicap" enggan melaksanakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dengan alasan, putusan bertentangan dengan ketertiban umum.

3. Dalam ruang lingkup nasional, kekurangan arbitrase adalah pelaksanaan putusan arbitrase seringkali terhambat karena kurangnya kemampuan dan pengetahuan arbiter Indonesia yang berakibat penundaan putusan arbitrase.

Â