Liputan6.com, Jakarta Latar belakang terjadinya peristiwa Rengasdengklok tidak dapat dilepaskan dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Peristiwa ini terikat dengan proklamasi yang dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang menjadi pernyataan resmi bangsa Indonesia bahwa dirinya sudah merdeka dan mandiri dari Penjajahan bangsa lain.
Peristiwa Rengasdengklok merupakan peristiwa penculikan Soekarno dan Mohammad Hatta ke wilayah Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat oleh para pemuda pada tanggal 16 Agustus 1945. Latar belakang terjadinya peristiwa Rengasdengklok adalah perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan pemuda yang tidak sepaham mengenai bagaimana mekanisme pelaksanaan kemerdekaan Indonesia.
Golongan tua berpendapat bahwa kemerdekaan Indonesia harus dilakukan berdasarkan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sedangkan golongan muda berpendapat kemerdekaan Indonesia harus segera diproklamirkan sesegera mungkin setelah Jepang menyerah terhadap sekutu waktu itu.
Advertisement
Inilah yang menjadi latar belakang terjadinya peristiwa Rengasdengklok. Berikut ulasan Liputan6.com tentang latar belakang terjadinya peristiwa Rengasdengklok yang dirangkum dari berbagai sumber, Senin (21/11/ 2022).
Kronologi Latar Belakang Terjadinya Peristiwa Rengasdengklok
Kronologi latar belakang terjadinya peristiwa Rengasdengklok dimulai pada 14 Agustus 1945. Saat itu, Kaisar Hirohito mengumumkan bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah Kota Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh Amerika Serikat.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, setelah berdiskusi dengan Tan Malaka para pemuda dipimpin Chaerul Saleh, mengadakan rapat untuk membicarakan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Salah satu hasilnya yaitu mendesak Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan malam itu juga atau paling lambat 16 Agustus 1945.
Pada waktu itu, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman yang merupakan golongan tua saja baru kembali dari Dalat, Vietnam. Kunjungan ke Vietnam ini dalam rangka memenuhi undangan Marsekal Muda Terauchi yang merupakan Panglima Jepang yang bertugas membawahi kawasan Asia Tenggara. Oleh sebab itu, Soekarno, Hatta dan Radjiman belum mengetahui berita tentang Jepang yang menyerah pada Sekutu.
Sjahrir kemudian menemui Soekarno dan Hatta dengan membawa hasil rapat pemuda pada 15 Agustus 1945. Awalnya Soekarno menolak keras permintaan Sjahrir karena Soekarno masih menunggu keputusan Jepang. Soekarno dan Hatta masih mempunyai keinginan untuk membicarakan segala sesuatu mengenai pelaksanaan proklamasi dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang sudah dibentuk.
Ini sangat berbeda dengan golongan pemuda yang berpendapat bahwa PPKI dibentuk dengan andil dari Pemerintah Kolonial Jepang, membicarakan kemerdekaan dengan PPKI berarti menyerahkan nasib kemerdekaan Indonesia pada penjajah. Para pemuda menginginkan kemerdekaan terjadi lebih cepat tanpa bantuan Jepang.
Namun, karena terus didesak oleh Sjahrir, Soekarno berjanji mengumumkan proklamasi pada tanggal 15 Agustus setelah pukul lima sore. Sjahrir pun menginstruksikan kepada pemuda yang bekerja di kantor berita Jepang untuk bergerak cepat.
Sjahrir mendeteksi ketidakseriusan Soekarno dalam memerdekakan Indonesia pada saat itu. Pada pukul lima sore 15 Agustus 1945, ribuan pemuda telah menunggu dan bersiap-siap mendengar kabar proklamasi dari Soekarno dan Hatta. Tetapi, pada pukul enam kurang beberapa menit Soekarno mengabarkan penundaan proklamasi.
Hal tersebut membuat para pemuda yang menjadi pengikut Sjahrir marah. Pada malam itu pula, kira-kira pukul 10 malam, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tempat kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius antara sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan. Bahkan Wikana mengancam Soekarno jika tidak mengumumkan kemerdekaan saat itu juga, maka akan terjadi pertumpahan darah esok harinya.
Akhirnya Bung Karno menjawab bahwa ia tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan tokoh golongan tua lainnya, seperti Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusmasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Hasilnya masih sama, penolakan untuk kemerdekaan saat itu juga. Hingga pada akhirnya, golongan muda mengambil keputusan untuk menculik Soekarno dan Hatta ke tempat terpencil yang jauh dari ibu kota.
Advertisement
Kronologi Latar Belakang Terjadinya Peristiwa Rengasdengklok
Keputusan untuk menculik kedua tokoh tersebut merupakan keputusan dalam rapat yang diadakan oleh para pemuda pada tanggal 16 Agustus 1945 dini hari. Rapat tersebut dihadiri oleh Soekarni, Jusuf Kunto, dr. Mawardi dari barisan Pelopor dan Shodanco Singgih dari Daidan Pembela Tanah Air (PETA) Jakarta.
Hal ini yang menjadi latar belakang terjadinya peristiwa Rengasdengklok. Tugas untuk menculik Soekarno dan Hatta diberikan kepada Singgih dibantu oleh Cudanco Latief Hendraningrat yang menyediakan beberapa perlengkapan militer. Pada pukul 03.00 dini hari Soekarno dan Hatta dijemput paksa oleh sekelompok pemuda dan kemudian dibawa ke Rengasdengklok, yang dianggap ideal sebagai tempat pengasingan sementara.
Tempat yang dipilih sebagai tempat pengasingan Soekarno dan Hatta adalah rumah milik Djiaw Kie Song, seorang petani keturunan Tionghoa. Rumah pengasingan tersebut berdekatan dengan markas PETA Purwakarta yang memiliki hubungan yang dekat dengan PETA Jakarta. Sejak 14 Agustus 1945, rumah tersebut sudah ditinggali anggota golongan muda yaitu, Soekarni, Wikana, Aidit dan Chaerul Saleh dari perkumpulan ‘Menteng 31’.
Rengasdengklok dipilih sebagai tempat pengasingan karena lokasinya yang jauh dari Ibu Kota Jakarta. Lokasi yang berjauhan ini diharapkan golongan tua dapat terlepas dari pengaruh pemerintah Jepang dan dapat menyetujui saran para pemuda untuk menyegerakan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Dengan kata lain, latar belakang terjadinya peristiwa Rengasdengklok adalah upaya golongan muda untuk membujuk golongan tua menyegerakan proklamasi kemerdekaan
Namun, aksi penculikan yang dilakukan golongan muda malah membuat Soekarno kecewa dan marah lantaran menganggap para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya yang sehat. Akibatnya situasi dan keadaan semakin memanas. Tapi saat dijemput paksa Soekarno tidak punya pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan.
Selama berada di rumah Djiaw Kie Song para pemuda terus melakukan negosiasi agar bersedia melakukan proklamasi kemerdekaan sesegera mungkin. Achmad Soebardjo yang juga anggota PPKI kemudian menyusul ke rengas dengklok dan menjadi penengah antara Soekarno dan para pemuda. Achmad Soebardjo berhasil meyakinkan golongan muda untuk membiarkan Soekarno dan Hatta pulang, sehingga bisa proklamasi keesokan harinya.
Fakta Latar Belakang Terjadinya Peristiwa Rengasdengklok
1. Rumah yang Menjadi Saksi Latar Belakang Terjadinya Rengasdengklok
Rumah yang dijadikan tempat pengasingan Soekarno dan Hatta di Rengasdengklok adalah rumah Djiaw Kie Siong, seorang petani keturunan Tionghoa. Rumah yang menjadi saksi bisu sejarah kemerdekaan Republik Indonesia ini berlokasi di pinggiran Sungai Citarum. Djiaw Kie Siong sendiri merupakan anggota PETA Purwakarta.
Rumah Djiaw Kie Siong dipilih lantaran tidak terlalu mencolok dan lokasinya cukup tersembunyi. Saat Soekarno dan Hatta diasingkan, Djiaw Kie Siong dan keluarganya keluar dari rumah agar Soekarno dan Hatta bisa menyusun naskah Proklamasi.
Rumah Djiaw Kie Siong yang semula berada di dekat Sungai Citarum saat ini telah dipindahkan ke tempat lain. Pemindahan rumah Djiaw Kie Siong disebabkan oleh adanya luapan lumpur dan erosi dari Sungai Citarum.
Pemindahan rumah yang menjadi saksi sejarah ini dilakukan dengan mempertahankan bentuk asli rumah di lokasi sebelumnya. Bagian rumah dan ruang tamu masih asli, tidak banyak berubah seperti aslinya. Bahkan, dua buah kamar yang dulu digunakan oleh Soekarno dan Hatta masih dipertahankan dari bentuk aslinya. Kini, rumah Djiaw Kie Siong terletak Kampung Kalijaya, Rengasdengklok, Kabupaten Karawang.
2. Markas PETA Purwakarta Dijadikan Monumen Kebulatan Tekad
Markas PETA yang berdekatan dengan tempat pengasingan Sokerno dan Hatta diubah menjadi Monumen Kebulatan Tekad pada 1950. Dengan luas sekitar 1.500 meter persegi, Monumen Kebulatan Tekad sempat dipugar dan diperkaiki oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Karawang pada 1984. Kini tempat ini menjadi monumen sejarah yang dapat dikunjungi wisatawan.
Advertisement