Sukses

Mahar Pernikahan dalam Islam, Pahami Dasar Hukum dan Ketentuannya

Mahar pernikahan dalam Islam yang terbaik adalah yang meringankan kedua belah pihak.

Liputan6.com, Jakarta Mahar merupakan salah satu pemberian, yang dilakukan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita. Pemberian mahar bisa berupa uang, barang, atau bahakan jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Mahar pernikahan dalam Islam adalah kewajiban, yang wajib diserahkan suami kepada istrinya ketika akan menikah dan menjadi harta milik istri. Hal ini merupakan perintah Allah dalam Al-Quran.

Mahar pernikahan dalam Islam juga perintah Allah, yang berfirman, وَءَاتُوا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa: 4)

Mahar pernikahan dalam Islam wajib ditunaikan, walaupun tidak memiliki harga yang tinggi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tetap memerintahkan sahabat tersebut untuk mencari mahar yang memiliki nilai dan harga walaupun hanya cincin besi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ yang artinya bahwa “Carilah walaupun hanya berupa cincin besi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Besaran nilai mahar tidak ditetapkan oleh syariat. Mahar boleh saja bernilai rendah dan boleh saja bernilai tinggi asalkan saling sukarela. Berikut ini dasar hukum dan ketentuan mahar pernikahan dalam Islam yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (2/12/2022).

2 dari 5 halaman

Mengenal Mahar Pernikahan dalam Islam

Mahar pernikahan dalam Islam yang dilansir dari website islam.nu.or.id, menurut Wahbah Zuhaili mahar merupakan salah satu bentuk harta, serta hak dari istri yang diberikan oleh suami sebab akad pernikahan. Hukum mahar merupakan hal wajib, yang menurut kesepakatan para ulama merupakan salah satu syarat sahnya nikah. Terdapat dasar hukum pemberian mahar dalam Al-Qur’an adalah:

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا

Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” [QS. An-Nisa (4):

 

Dalil pensyariatan mahar, bisa kita simak dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 4: وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” Tujuan utama dari kewajiban pemberian mahar ini ialah untuk menunjukkan kesungguhan (shidq) niat suami untuk menikahi istri dan menempatkannya pada derajat yang mulia. Dengan mewajibkan mahar ini, Islam menunjukkan bahwa wanita merupakan makhluk yang patut dihargai dan punya hak untuk memiliki harta.

 

3 dari 5 halaman

Ketentuan Jumlah Mahar dalam Islam

Mengenai jumlah mahar, para ulama juga bersepakat tidak ada batas maksimal, akan tetapi ada dalam batas dan ketentuan yang menurut Imam Syafi’i, Ahmad, Ishak, Abu Tsaur dan fuqaha madinah dari tabiin, bahwa tidak ada batas minimal dalam semua pemberian mahar, semua yang berharga dan bernilai boleh dijadikan mahar.

Islam menganjurkan agar kita mengambil jalan tengah yaitu tidak meletakkan mahar terlalu tinggi dan tidak pula terlalu rendah sesuai kemampuannya saja. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.:

عَنْ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ للهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خَيْرُ الصَّدَاقِ اَيْسَرُهُ (اخرجه ابو داود وصححه الحاكم(

Artinya: “Dari Uqbah bin Amir R.A Rasulullah Saw., bersabda: “sebaik-baiknya mahar adalah yang paling mudah (murah).” (HR. Abu Dawud yang dishahihkan oleh Al-Hakim)

Ketika menetapkan mahar yang tidak terlalu tinggi, tentu menjadi salah satu solusi untuk menikah dalam upaya menghindari pergaulan bebaspada generasi muda. 

Berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

.عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِنَّ أَعْظَمَ النِّكَاحِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُ مَؤُونَةً (رواه احمد) 

Artinya: “Dari Aisyah, Rasulullah Saw., bersabda: Sesungguhnya keberkahan yang paling besar adalah orang yang maharnya paling rendah.” (HR. Ahmad)

Oleh karena itu, sah jika mahar adalah harta yang sedikit ataupun banyak. Dengan adanya sebuah mahar yang diberikan dari suami kepada seorang istri, merupakan salah satu hak dari pihak perempuan yang disyariatkan oleh Allah untuk menunjukkan rasa kepatutan, kepantasan, harga diri, posisi, dan ukurannya sesuai dengan keridhaan kedua belah pihak.

4 dari 5 halaman

Dasar Hukum dan Ketentuan Mahar

Terdapat dasar hukum dan ketentuan mahar, menurut Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib yaitu:

[ويستحب تسمية المهر في] عقد [النكاح] … [فإن لم يُسَمَّ] في عقد النكاح مهرٌ [صح العقد]

Artinya: “Disunnahkan menyebutkan mahar dalam akad nikah… meskipun jika tidak disebutkan dalam akad, nikah tetap sah.”

Ketentuan dalam mahar merupakan segala apa pun yang sah, baik itu barang ataupun jasa dan sah untuk dijadikan maskawin. Namun mahar akan disunnahkan tidak kurang dari 10 dirham dan tidak lebih dari 500 dirham. Satu dirham setara dengan 2,975 gram perak. Dengan demikian bisa kita pahami bahwa tidak ada ketentuan minimum tentang mahar, bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah pernah menyatakan bahwa sebentuk cincin terbuat dari besi pun bisa menjadi mahar. 

Menurut mayoritas fuqaha` mahar bukanlah salah satu syarat dalam akad nikah, bukan juga salah satu rukunnya. Tetapi mahar hanyalah konsekwensi logis yang timbul karena akad nikah tersebut. Adapun berbagai pandangan tentang mahar, dari para pakar hukum islam, diantaranya menurut imam Syafii, Ahmad, Ishaq, Abu Tsur, dan fuqaha` Madinah dari kalangan tabi’in, segala sesuatu yang boleh dijual-belikan atau bernilai maka bisa dijadikan mahar.

وَأَمَّا قَدْرُهُ فَإِنَّهُمْ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ لِأَكْثَرِهِ حَدٌّ وَاخْتَلَفُوا فِي أَقَلِّهِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَفُقَهَاءُ الْمَدِينَةِ مِنَ التَّابِعِينَ لَيْسَ لِأَقَلِّهِ حَدٌّ وَكُلُّ مَا جَازَ أَنْ يَكُونَ ثَمَنًا وَقِيمَةً لِشَيْءٍ جَازَ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا وَبِهِ قَالَ ابْنُ وَهْبٍ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ

“Adapun mengenai besaran mahar maka para ulama telah sepakat bahwa tidak batasan berapa jumlah maksimal mahar. (namun) mereka berbeda pendapat mengenai batas minimalnya"

Menurut imam Malik, seperempat dinar atau perak seberat tiga dirham timbangan atau yang senilai dengan perak seberat tiga dirham timbangan (kail), atau bisa yang senilai dengan salah satu dari keduanya (seperempat empat dirham dan perak seberat tiga dirham timbangan).

وَقَاَل طَائِفَةٌ بِوُجُوبِ تَحْدِيدِ أَقَلِّهِ وَهَؤُلَاءِ اخْتَلَفُوا فَالْمَشْهُورُ فِي ذَلِكَ مَذْهَبَانِ: أَحَدُهُمَا مَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَصْحَابُهُ. وَالثَّانِي مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَصْحَابُهُ فَأَمَّا مَالِكٍ فَقَالَ: أَقَلُّهُ رُبْعُ دِينَارٍ مِنَ الذَّهَبِ أَوْ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ كَيْلًا مِنْ فِضَّةٍ أَوَ مَا سَاوَى الدَّرَاهِمَ الثَّلَاثَةَ أَعْنِي دَرَاهِمَ الْكَيْلِ فَقَطْ فِي الْمَشْهُورِ وَقِيلَ أَوْ مَا يَسَاوِي أَحَدَهُمَا وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: عَشْرَةُ دَرَاهِمَ أَقَلُّهُ وَقِيلَ خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَقِيلَ أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا.

 

5 dari 5 halaman

Ketentuan Mahar dalam Pernikahan

Allah swt berfirman dalam al-Quran:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah mahar kepada wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” (Q.S. An-Nisa`: 4) 

Melalui ayat ini, maka Ibnu Abbas, Qatadah, Ibnu Zaid, dan Ibnu Juraij ditujukan kepada para suami. Allah swt memerintahkan kepada mereka untuk ber-tabarru` (berderma) kepada isteri-isteri mereka dengan memberikan mahar dengan penuh kerelaan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Qurthubi.

وَالْخِطَابُ فِي هَذِهِ الْآيَةِ لِلْأَزْوَاجِ؛ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَقَتَادَةُ وَابْنُ زَيْدٍ وَابْنُ جُرَيْجٍ. أَمَرَهُمُ اللهُ تَعَالَى بِأَنْ يَتَبَرَّعُوا بِإِعْطَاءِ الْمُهُورِ نِحْلَةً مِنْهُمْ لِأَزْوَاجِهِمْ

“Pembicaan dalam ayat ini itu ditujukan kepada para suami sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Abbas, Qatadah, Ibnu Zaid, dan Ibnu Juraij. Allah swt memerintahkan kepada mereka untuk berderma kepada isteri-isteri mereka dengan memberikan mahar dengan penuh kerelaan”

Melansir dari sumber yang sama, Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, Riyadl-Daru ‘Alam al-Kutub, 1423 H/2003 M, juz, 5, h. 33) memberikan perintah untuk memberikan mahar kepada perempuan yang dinikahi, secara kasat mata dan menunjukkan bahwa mahar itu menjadi hak perempunan, bukan walinya. Jika, mahar merupakan hak dari pihak perempuan, maka wali secara otomatis tidak memiliki kewenangan untuk menentukan besaran mahar.