Sukses

Sejarah Hari Bela Negara 19 Desember, Mengenang Pemerintah Darurat Republik Indonesia

Hari Bela Negara diperingati setiap tanggal 19 Desember tiap tahunnya di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Sejarah Hari Bela Negara perlu dikenali oleh setiap orang Indonesia. Pasalnya, hal ini menandakan peristiwa sejarah yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Hal ini menandakan terbentukanya Pemerintah Darurat Republik Indonesia pada 19 Desember 1948.

Pemerintahan darurat ini dibentuk dengan mandat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kepada Syafruddin Prawiranegara. Latar belakang dibentuknya pemerintah darurat ini adalah peristiwa Agresi Militer Belanda II.

Hari Bela Negara diperingati setiap tanggal 19 Desember tiap tahunnya di Indonesia. PDRI menjadi salah satu tonggak sejarah penting bagi Republik Indonesia yang perlu dikenang dan diperingati. Pasalnya, dengan adanya PDRI, Indonesia berhasil menunjukkan kepada dunia bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia masih ada, eksis dan berdaulat.

Berikut Liputan6.com rangkum dari laman Kemenag dan Setda Kalimantan Tengah, Jumat (16/12/2022) tentang sejarah Hari Bela Negara.

2 dari 4 halaman

Sejarah Hari Bela Negara

Pada tanggal 19 Desember 1948, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukittinggi, Sumatra Barat didirikan oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, untuk mengisi kekosongan kursi pemerintahan.

Pada saat itu, Belanda melancarkan agresi militer II dengan menguasai Ibu Kota Negara Republik Indonesia kala itu, Yogyakarta. Melihat keadaan sudah darurat, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta kemudian memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk segera membentuk Pemerintahan Darurat. Tak lama setelahnya, Soekarno-Hatta ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Pulau Bangka.

Atas usaha Pemerintah Darurat RI, Belanda berhasil dipaksa untuk melakukan perundingan, hingga akhirnya melalui Perjanjian Roem Royen mengakhiri segala upaya Belanda menjajah kembali Indonesia, dan para Pemimpin RI dapat dibebaskan.

Pada tanggal 14 Juli 1949, secara resmi mandat diserahterimakan kembali dari PDRI kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Untuk memperingati peristiwa bersejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan NKRI tersebut, Pemerintah kemudian menetapkan secara resmi tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 20 Tahun 2006.

3 dari 4 halaman

PDRI Menyelamatkan Republik Indonesia

PDRI menyelamatkan Republik Indonesia dan menentukan keberlangsungan negara setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam sidang kabinet yang sempat diadakan beberapa jam sebelum meninggalkan Yogyakarta, 19 Agustus 1948, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan mandat melalui surat kawat (telegram) kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi.

Surat kawat itu memberitahukan bahwa pada hari Minggu, 19 Desember 1948, jam 06.00 pagi, Belanda telah memulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, Presiden dan Wakil Presiden menguasakan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera.

Surat kawat Presiden Soekarno tidak pernah sampai ke tangan Syafruddin. Menurut keterangan Syafruddin, sebelum diketahui adanya telegram Presiden dan Wakil Presiden, PDRI telah dibentuk di Halaban, Selatan Payakumbuh, di daerah perkebunan teh, pada 22 Desember 1948. Pembentukan PDRI sebelumnya dibicarakan pada 19 Desember 1948 dalam pertemuan Mr. Sjafruddin Prawiranegara dengan Mr. T.M. Hasan (Gubernur Sumatera, Komisariat Pemerintah Pusat) di Bukittinggi. Sementara penyusunan PDRI secara lengkap dilakukan di Koto Tinggi.

PDRI dibentuk untuk menyelamatkan eksistensi negara Republik Indonesia. Pemerintahan darurat berlangsung dari 22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949. Dedikasi para pemimpin PDRI menyatu dengan bantuan masyarakat setempat. Mohammad Hatta menyebut Ketua PDRI sebagai Presiden Darurat.

Dalam epilog PDRI, setelah Yogya kembali, Sjafruddin datang sendiri ke Yogyakarta untuk mengembalikan mandat PDRI kepada Presiden Soekarno dalam sidang kabinet yang dipimpin oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 13 Juli 1949. Hari itu, Yogyakarta kembali ke dalam wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia sesuai hasil perundingan utusan Indonesia Mr. Mohamad Roem yang ditunjuk Soekarno dari tempat pembuangan. Perundingan atau perjanjian antara Republik Indonesia dan Belanda itu dikenal sebagai Roem - Roijen Statement, 7 Mei 1949.

4 dari 4 halaman

Mengenal Sjafruddin Prawiranegara

Sjafruddin Prawiranegara lahir di Anyar Kidul Banten 28 Februari 1911. Ayahnya Raden Arsjad Prawiraatmadja, Camat di zaman Hindia Belanda. Ia memiliki garis keturunan ibu dari Pagaruyung Sumatera Barat.

Riwayat pendidikan, setelah tamat ELS (Europeesche Lagere School) Serang dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Madiun dan AMS (Algemene Middelbare School) Bagian A di Bandung, ia kemudian menempuh pendidikan tinggi di RHS (Rechts Hogeschool, Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta hingga meraih Gelar Meester in de Rechten (Mr) tahun 1939.

Setelah zaman kemerdekaan, Sjafruddin diangkat menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Selain itu ia pernah menjabat Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan dan Menteri Kemakmuran. Sjafruddin menjabat Presiden De Javasche Bank yang terakhir dan sekaligus Gubernur Bank Indonesia pertama.

Sjafruddin punya andil besar dalam proses lahirnya mata uang Republik Indonesia. Ajib Rosidi dalam buku biografi "Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT" (Jakarta: Inti Idayu Press, 1986) mengungkapkan, Sjafruddin merupakan pencetus gagasan tentang pencetakan uang Republik Indonesia. Ia sebagai Menteri Keuangan meyakinkan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengenai pentingnya pembuatan mata uang sendiri. Semula ada kekhawatiran bahwa dunia internasional akan menuduh Republik Indonesia sebagai pemalsu uang dan bisa ditangkap oleh pihak Belanda.

ORI (Oeang Republik Indonesia) mulai berlaku sebagai alat pembayaran yang sah mulai 30 Oktober 1946. Emisi pertama uang kertas ORI ditanda-tangani Mr. A.A Maramis, Menteri Keuangan sebelum Sjafruddin Prawiranegara.