Sukses

3 Sebab Perceraian Menurut Islam, Ini Hak dan Kewajiban setelah Cerai

Berikut adalah sebab-sebab yang menjadikan perceraian memiliki hukum, sunnah, wajib, makruh, dan haram.

Liputan6.com, Jakarta Dalam Islam, pernikahan adalah merupakan hal yang sakral. Bahkan pernikahan dianggap dianggap sebagai ibadah yang menyempurnakan separuh agama.

Dari Anas bin Malik RA, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Jika seseorang telah menikah, berarti ia telah menyempurnakan separuh agama. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separuh sisanya.”

Sayangnya, tidak setiap pernikahan bisa mencapai tujuan untuk menjadi keluarga yang sakinah, yakni kehidupan keluarga yang tentram. Akibatnya tidak sedikit pasangan suami istri yang tidak bisa menghindari perceraian, atau yang dalam hukum Islam dikenal dengan istilah talak.

Lalu apa yang membuat talak bisa terjadi dan hubungan suami istri dinyatakan sah bercerai menurut Islam? Berikut ulasan selengkapnya, seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Kamis (12/1/2023).

2 dari 6 halaman

Pengertian Cerai atau Talak

Dikutip dari laman Universitas Islam An Nur Lampung, dalam sudut pandang fiqih, perceraian disebut dengan talak atau firqah. Secara etimologi, talak merupakan istilah yang berasal dari kata bahasa Arab "itlaq" yang artinya melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan secara terminologi, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan perkawinan.

Sumber tersebut juga menyebutkan bahwa tidak disebutkan secara eksplisit mengenai hukum talak dalam Al-Quran. Bahkan banyak ayat dalam Al-Quran yang menganjurkan untuk menghindari perceraian. Sebaliknya, dalam Al-Quran justru lebih banyak ayat yang mendorong pernikahan.

Kendati demikian, terdapat ayat Al-Quran yang membahas mengenai talak. Akan tetapi ayat-ayat tersebut lebih fokus pada pembahasan mengenai bila talak itu terjadi, meskipun dalam bentuk suruhan atau larangan.

Allah berfirman dalam surat At-Talaq ayat 1, yang artinya:

"Hai Nabi bila kamu mentalak istrimu, maka tolaklah dia sewaktu masuk ke dalam iddahnya." (At-Talaq: 1)

Demikian pula dalam bentuk melarang, seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 232, yang artinya:

"Apabila kamu mentalak istrimu dan sampai masa iddahnya, maka janganlah kamu enggan bila dia nikah suami yang lain." (Al-Baqarah: 232)

3 dari 6 halaman

Hukum Talak atau Cerai

Meski demikian, talak adalah hal yang diperbolehkan untuk dilakukan dengan kondisi-kondisi tertentu. Hal ini menjadi sebab-sebab perceraian boleh dilakukan dalam pandangan Islam.

Meski merupakan hal yang tidak dilarang, namun talak adalah sesuatu yang tidak disenang oleh Nabi Muhammad SAW. Hal itu terungkap dala hadis dari Ibu Umar yang diriwayatkan Abu Daud, Ibnu Majah, sebagai berikut:

"Nabi Bersabda: Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak."

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami adalah makruh, yang artinya diperbolehkan, namun sebaiknya dihindari. Meski demikian, hukum talak bisa dibilang cukup fleksibel tergantung situasi dan kondisinya. Berdasarkan situasi dan kondisinya, hukum talak antara lain sebagai berikut:

1. Nadab atau sunnah, yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahankan juga kemudharatan yang lebih banyak akan timbul;

2. Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan manfaatnya juga ada kelihatannya;

3. Wajib atau mesti dilakukan yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap seseorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar kafarat sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakan itu memudharatkan istrinya.

4. Haram, ketika talak dilakukan tanpa alasan, sedangkan istri dalam keadaan haid atau suci yang dalam masa itu ia telah digauli.

4 dari 6 halaman

Bentuk-Bentuk Perceraian

Berdasarkan proses perceraiannya, perceraian dapat menjadi beberapa bentuk. Adapun Bentuk-bentuk perceraian antara lain sebagai berikut:

1. Cerai Talak

Cerai talak adalah perceraian berdasarkan keputusan pihak suami yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan. Menurut kesepakatan para ulama, talak dalam bentuk lisan maupun tulisan memiliki kekuatan yang sama. Perbedaannya hanyalah, talak secara lisan terjadi setelah ucapan talak disampaikan suami dan didengar oleh pihak istri. Sedangkan talak melalui tulisan baru terjadi ketika tulisan tersebut dibaca.

Dengan kata lain, jika suami sudah menulis kalimat sebagai keputusan talak dan tulisan tersebut tidak atau belum terbaca, maka talak belum dianggap terjadi.

2. Cerai Gugat

Cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan berdasarkan keputusan istri. Dalam hukum Islam hal ini dikenal dengan istilah khulu’. Khulu’ berasal dari kata khal’u al-s'aub, artinya melepas pakaian. Para ulama menyebutkan bahwa khulu' itu adalah permintaan dari pihak istri agar suami mentalak dirinya dengan membayar uang tebusan. Maka khulu' itu termasuk talak juga, yang mana inisiatifnya datang dari istri, tetapi tetap saja suami yang berwenang melakukan eksekusinya.

bedanya dengan talak adalah, adanya uang tebusan yang dibayarkan istri kepada suaminya. Maka kita boleh menyebut bahwa khulu' adalah talak dengan tebusan.

3. Fasakh

Fasakh adalah  pembatalan nikah seolah-olah tidak pernah terjadi. Bedanya dengan talak adalah bahwa talak itu sekedar mengakhiri pernikahan, tetapi tetap mengakui adanya pernikahan selama ini. Adapun fasakh justru menafikan, mengingkari, menolak, dan tidak mengakui pernah terjadinya pernikahan. Walaupun pernikahan itu sebenarnya pernah terjadi, namun ketika pernikahan itu difasakh, berarti pernikahan itu dianggap tidak sah.

Maka keadaan hukum setelah pernikahan sama persis dengan  sebelum pernikahan terjadi. Karena pernikahan itu dianggap tidak pernah ada. Dalam kaitan antara khulu' dengan fasakh, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Ada sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa khulu' itu bukan talak tetapi fasakh. Namun ada juga yang berpendapat bahwa khulu' itu talak.

5 dari 6 halaman

Sebab-Sebab Perceraian Diperbolehkan Menurut Islam

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, hukum perceraian adalah makruh. Namun status hukum tersebut bisa berubah tergantung situasi dan kondisi pernikahan. Berikut adalah sebab-sebab perceraian diperbolehkan dalam Islam:

1. Hubungan antara suami dan istri tidak harmonis. Artinya kehidupan pernikahan suami istri jauh dari tujuan pernikahan itu sendiri, yakni mewujudkan kehidupan yang tentram dan penuh kasih sayang. Allah berfirman dalam surat Ar-rum ayat 21, yang artinya:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya,  ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum: 21)

2. Karena sakit yang diderita istri/suami sehingga menghalangi persetubuhan. Kondisi seperti ini tidak mewujudkan yang diajarkan dalam Islam, yakni bahwa perkawinan merupakan cara yang terhormat dan sah untuk penyaluran nafsu seksual. Dalam ajaran Islam perkawinan menghalalkan hubungan laki-laki dan perempuan sebagai suami dan istri. Allah SWT Berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 223, yang artinya:

“Istri-istrimu adalah ( seperti ) tanah tempat bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja yang kamu kehendaki.” (QS. al-Baqarah: 223)

3. Tidak diperoleh keturunan, padahal Allah menciptakan manusia dengan disertai naluri berkeinginan memiliki keturunan. Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 14, yang artinya:

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak, …” (QS. Ali Imran: 14)

6 dari 6 halaman

Akibat Hukum Perceraian

Menurut pandangan Islam, jika suami dan istri sudah bercerai dengan segala bentuknya, makan berlakulah dua hukum sebagai berikut:

1. Suami dan istri kembali menjadi orang asing, mereka tidak oleh saling memandang, dan berhubungan intim. Menurut pandangan para ulama, hubungan seksual setelah perceraian dianggap sebagai zina. Hanya saja, perbuatan tersebut tidak diberlakukan sanksi, karena adanya perbedaan pendapat di antara para ulama.

Ulama Hanafiah dan ulama Syi’ah imamiyah membolehkan hubungan kelamin antara mantan suami dengan mantan istri yang sedang menjalani ‘iddah, dan hal itu sudah diperhitungkan sebagai ruju’, atau bersatunya kembali ikatan pernikaha setelah perceraian.

Sementara itu, ulama zhahiriyah juga berpendapat bolehnya suami bergaul dengan mantan istrinya dalam ‘iddah raj'i, namun yang demikian tidak dengan sendirinya berlaku sebagai ruju’.

2. Keharusan memberi mut'ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai suatu kompensasi. Hal ini berbeda dengan mut’ah sebagai pengganti mahar bila istri di cerai sebelum digauli dan sebelumnya jumlah mahar tidak ditentukan, tidak wajib suami memberi mahar, namun diimbangi dengan suatu pemberian yang bernama mut'ah.

Dalam kewajiban memberi mut’ah itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, golongan zhahiriyah berpendapat bahwa mut’ah itu hukunya wajib. Dasarnya ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 241, yang artinya:

“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.” (QS Al-Baqarah:241)

Sementara itu, menurut hukum positif, atau hukum yang berlaku di Indonesia, akibat hukum perceraian telah diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 pasal 41. Dalam peraturan tersebut disebutkan hak dan kewajiban pasangan yang bercerai, antara lain sebagai berikut:

1. Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberikan keputusannya;

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberikan kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri-istri.