Sukses

Malam 1 Suro, Keistimewaan, dan Amalannya

Malam 1 Suro adalah momen sakral untuk melakukan amalan-amalan baik.

Liputan6.com, Jakarta - Malam 1 Suro adalah awal bulan pertama Tahun Baru Jawa yang bertepatan dengan 1 Muharam. Ini momen sakral untuk melakukan amalan-amalan baik. Kalender Jawa 1 Suro pertama kali diterbitkan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo yang mengacu penanggalan Hijriyah (Islam).

Di setiap malam 1 Suro, di sejumlah daerah di Pulau Jawa, masyarakatnya sampai saat ini masih ada yang tetap menjalaninya dengan laku atau lampah bathin dan prihatin. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kemdikbud RI, memaparkan sejarah malam 1 Suro adalah berawal dari pihak keraton yang konon ingin memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa. 

Malam ini kemudian menjadi malam yang istimewa di kalangan masyarakat Jawa dan Islam. Apa keistimewaan malam 1 Suro? Keistimewaan malam 1 Suro adalah masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa). Simak penjelasan lengkapnya agar lebih memahami.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang malam 1 Suro, keistimewaan malam 1 Suro, dan amalan malam 1 Suro, Kamis (26/1/2023).

2 dari 3 halaman

Sejarah Malam 1 Suro dan Keistimewaannya

Sejak saat pihak keraton ingin mengenalkan kalender Islam, malam 1 Suro menjadi momen tepat bagi Sultan Agung Hanyokrokusumo yang ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Pada setiap hari Jumat legi, kemudian dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri. Ini yang membuat malam 1 Suro menjadi dikeramatkan.

Lelaku atau peringatan malam 1 Suro dilakukan tepat pada pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa. Ini diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa. Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah.

"Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat," dijelaskan.

Di belakang Kebo Bule, barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.

Sementara itu, di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat peringatan malam 1 Suro dilakukan dengan  mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual mubeng beteng, tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.

Di malam 1 Suro sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat. Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa yang dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, ini keistimewaan malam 1 Suro.  Ini bulan yang tepat untuk melakukan amalan seperti renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa.

Umumnya, cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu. Di sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada.

"Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan," dijelaskan. 

Dalam buku berjudul Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010) oleh Wahyana Giri, malam 1 Suro adalah malam yang suci serta bulannya penuh rahmat. Di malam 1 Suro itu, beberapa orang Jawa Islam percaya, mendekatkan diri kepada Tuhan bisa dengan cara membersihkan diri serta melawan nafsu manusiawinya.

Ini yang membuat masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro. Keistimewaan malam 1 Suro adalah orang-orang akan selalu berjalan dengan khusyuk, orang membersihkan diri lahir batin, melakukan introspeksi, mengucap syukur kepada Gusti yang membuat hidup, kemudian menghidupi dunia dan seisinya. 

 

3 dari 3 halaman

Amalan Malam 1 Suro dan Penjelasannya

Sakralnya malam 1 Suro dipengaruhi Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Dalam buku berjudul Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010) oleh Muhammad Solikhin, sakralitas peringatan atau amalan malam 1 Suro dulunya sering melakukan upacara dan ritual, yang sampai saat ini diwariskan secara turun temurun. 

Ada enam amalan malam 1 Suro yang perlu diketahui. Mulai dari amalan siraman, tapa mbiksu, ziarah, sesaji, jamasan pusaka, dan larung sesaji. Ini penjelasan dari enam amalan malam 1 Suro yang Liputan6.com lansir dari berbagai sumber tersebut:

1. Siraman Malam 1 Suro

Amalan malam 1 Suro adalah melakukan siraman. Ini berupa ritual mandi besar dengan menggunakan air serta dicampur kembang setaman. Siraman sama dengan bentuk “sembah raga” (sariat) dengan tujuan menyucikan raga, sebagai acara seremonial pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Suro.

Sepert lebih ketat dalam menjaga dan menyucikan hati, pikiran, serta menjaga panca indera dari hal-hal negatif. Pada saat melakukan amalam malam 1 Suro ini, harus sambil berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan agar dijaga dari bencana, musibah, kecelakaan.

Doanya dalam satu fokus yakni memohon keselamatan diri dan keluarga, serta kerabat handai taulan. Contohnya, mengguyur badan dari ujung kepala hingga sekujur badan sebanyak 7 kali siraman gayung (7 dalam bahasa Jawa; pitu, merupakan doa agar Tuhan memberikan pitulungan atau pertolongan).

Bisa juga 11 kali (11 dalam bahasa Jawa; sewelas, merupakan doa agar Tuhan memberikan kawelasan; belaskasih). Atau 17 kali (17 dalam bahasa Jawa; pitulas; agar supaya Tuhan memberikan pitulungan dan kawelasan). Mandi lebih bagus dilakukan tidak di bawah atap rumah; langsung “beratap langit”; maksudnya adalah secara langsung menyatukan jiwa raga ke dalam gelombang harmonisasi alam semesta.

2. Tapa Mbisu (Membisu)

Tapa mbisu adalah amalan malam 1 Suro dengan sikap selalu mengontrol ucapan mulut agar mengucapkan hal-hal yang baik saja. Ini karena dipercaya dalam bulan Suro yang penuh tirakat, doa-doa lebih mudah terwujud atau diijabah. Ini termasuk ucapan atau umpatan jelek yang keluar dari mulut dapat “numusi” atau terwujud.

3. Menggiatkan Ziarah

Menggiatkan ziarah adalah amalan malam 1 Suro. Seperti masyarakat Jawa yang menggiatkan ziarah ke makam para leluhurnya masing-masing, atau makam para leluhur yang yang dahulu telah berjasa bagi negara.

Cara menghormati dan menghargai jasa para leluhur kita selain mendoakan, tentunya dengan merawat makam. Sebab makam adalah monumen sejarah yang dapat dijadikan media mengenang jasa-jasa para leluhur, mengenang dan meneladani amal kebaikan beliau semasa hidupnya.

4. Sesaji Bunga Setaman

Sesaji bunga setaman adalah amalan malam 1 Suro. Ini dilakukan dengan menyediakan sesaji bunga setaman di wadah berisi air bening, ditaruh dalam rumah. Ritual ini penuh dengan makna yang dilambangkan dalam berbagai macam hal yang diikutsertakan. Bunga mawar merah, mawar putih, melati, kantil, kenanga.

Masing-masing bunga memiliki makna doa-doa agung kepada Tuhan yang tersirat di dalamnya. Bunga-bungaan juga ditaburkan ke pusara para leluhur, agar ada perbedaan antara makam seseorang yang kita hargai dan hormati, dengan kuburan seekor kucing yang berupa gundukan tanah tak berarti dan tidak pernah ditaburi bunga, serta-merta dilupakan begitu saja oleh pemiliknya berikut anak turunnya si kucing.

5. Jamasan Pusaka

Jamasan pusaka adalah amalan 1 Suro yang dilakukan dalam rangka merawat atau melestarikan warisan dan kenang-kenangan dari para leluhurnya. Pusaka memiliki segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Ini hasil karya cipta dalam bidang seni dan ketrampilan para leluhur kita di masa silam.

Dari sikap menghargai lalu tumbuh menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi generasi penerus bangsa agar berbuat lebih baik dan maju di banding prestasi yang telah diraih para leluhur kita di masa lalu. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para leluhurnya, para pahlawan, dan para perintisnya.

6. Larung Sesaji

Larung sesaji adalah amalan 1 Suro dengan ritual sedekah alam. Uborampe atau ragam bahan ritual disajikan (dilarung) ke laut, gunung, atau ke tempat-tempat tertentu. Tradisi budaya ini yang paling riskan dianggap musyrik. Ini bisa terjadi bila seseorang hanya melihat apa yang tampak oleh mata tanpa ada pemahaman makna esensial dari ritual larung sesaji.