Liputan6.com, Jakarta Biografi imam Syafi’i merupakan salah satu literasi yang dapat digunakan untuk lebih mengenalnya. Imam Syafi’i atau yang juga dikenal dengan nama 'Syaikh Al Islam', adalah salah satu dari empat Imam besar mazhab Sunni. Imam Syafi’i juga merupakan penulis dari beberapa karya terkemuka di lapangan. Dia diberi gelar 'Nasir al-Hadits' yang berarti "pembela hadits".
Imam Syafi'i adalah pendiri mazhab Syafi’i yang populer di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Memiliki nama asli Muhammad Ibn Idris, Imam Syafi'i merupakan keturunan dari keluarga Hashimi dari suku Quraisy. Imam Syafi’i mewariskan aturan terkait masalah yuridis dan ajaran akhirnya mengarah ke Mazhab Syafi'ie dan mazhab fikih.
Dalam biografi Imam Syafi'i, diketahui bahwa dirinya menulis banyak buku. Salah satunya yang terkenal adalah Ar Risalah. Ini adalah bukan buku yang mengatur prinsip-prinsip hukum Islam yang disetujui oleh setiap mazhab. Hal ini membuat Imam Syafi'i menjadi salah satu orang pertama dalam sejarah Islam yang mengembangkan cabang ilmu agama ini.
Advertisement
Untuk lebih mengetahui tentang perjalanan hidup Imam Syafi'i secara ringkas, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber pada Senin (6/2/2023). Biografi Imam Syafi'i secara singkat.
Biografi Imam Syafi’i
Biografi Imam Syafi’i
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris Al-Syafi'ee bin Al-Abbas bin Utsman bin Shafie bin Ubaid bin Abu Yazid bin Hasyim bin Al-Muttalib, dimana ayah dari Abdul Muthalib kakek Nabi (SAW) bin Abd Manaf. Dia adalah satu-satunya Imam yang terkait dengan Nabi Muhammad (SAW) karena dia berasal dari suku Quraisy dari Bani Muthalib, yang merupakan saudara dari suku Bani Hasyim suku Nabi Muhammad (SAW).
Kehidupan Awal Imam Syafi’i
Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H (767 M) di Gaza, Palestina. Itu adalah tahun yang sama di mana Imam Besar Abu Hanifah meninggal. Dia kehilangan ayahnya saat masih bayi dan dibesarkan oleh ibunya dalam keadaan yang sangat miskin. Khawatir akan kehancuran garis keturunan putranya, ibunya memutuskan untuk pindah ke Mekkah tempat tinggal kerabat mereka. Imam masih sangat muda saat itu.
Dikutip oleh sebagian ulama bahwa beliau berumur dua tahun ketika ibunya hijrah ke Mekkah. Oleh karena itu, ia menghabiskan tahun-tahun formatifnya untuk memperoleh pendidikan agama di kota Mekkah dan Madinah. Menurut beberapa sumber, dia hafal Quran pada usia tujuh atau sembilan tahun.
Imam Syafi’i dibesarkan di antara suku Bani Huzail di Mekkah yang sama dengan banyak suku Arab pada masa itu yang sangat ahli dalam seni puisi, sebuah tradisi yang diwariskan kepada Imam Syafi'i yang menjadi sangat mahir di dalamnya. Pendidikan awalnya ditandai dengan kemiskinan karena ibunya tidak mampu membayar biaya pendidikannya.
Akibatnya, alih-alih mengikuti kelas, Imam Syafi'i muda hanya duduk mendengarkan apa yang diajarkan gurunya kepada anak-anak lain di kelas. Imam Syafi’i menjadi begitu mahir dalam belajar dan menyimpan ilmu meski hanya dengan mendengarkan, sehingga pada saat gurunya berhalangan masuk kelas, ia akan turun tangan dan mengambil kelas mengajar teman-temannya.
Gurunya sangat terkesan dengan kemampuannya sehingga dia mengangkatnya sebagai siswa formal tanpa biaya tambahan. Kemiskinan sedemikian rupa sehingga Imam Syafi'i tidak mampu memperoleh kertas, sehingga ia akan menggunakan tulang, batu, dan daun lontar sebagai bahan tulis. Namun kemiskinan tidak menghentikannya untuk memperoleh pengetahuan legendaris.
Imam Syafi'i tidak hanya menghafal seluruh Al-Qur'an, tetapi juga sejarah dan etimologi setiap ayat, semuanya pada usia 10 tahun. Pada usia 15 tahun dia begitu lengkap dalam semua Pengetahuan Islam sehingga Mufti Mekkah, Muslim Ibn Khalid Al-Zinji, telah memberinya wewenang untuk mengeluarkan Fatwa.
Advertisement
Perjalanan Imam Syafi’i Mencari Ilmu
Perjalanan Imam Syafi’i Mencari Ilmu
Pada usia lima belas atau delapan belas tahun, gurunya memberikan izin kepada Al-Syafi'i untuk mengeluarkan keputusan pengadilan (fatwa). Saat masih belajar di Makkah, Aa-Syafi'i mendengar tentang ulama terkenal Madinah, Imam Maalik Ibn Anas. Dia ingin menjadi murid Imam Malik namun dia melihat dengan akalnya yang tajam bahwa dia tidak boleh mendatanginya tanpa persiapan.
Dia menghafal buku terkenal Imam Malik "Al Muwatta" hanya dalam sembilan hari. Setelah itu dia pergi menemui Imam Malik di rumahnya di Madinah. Al-Shafi'ee berbicara dengan fasih dan sopan dengan Imam dan mengatakan kepadanya bahwa dia ingin menjadi muridnya. Imam memandangi bocah itu lama sekali ketika bocah itu menceritakan kisahnya tentang bagaimana dia mencari ilmu selama ini. Imam memiliki fisiognomi yang mencengangkan dan wawasan yang tajam, dia mengatakan kepadanya:
"Anakku! Dengan izin Allah, kamu akan memiliki masa depan yang cerah. Besok datanglah padaku dan bawalah seseorang yang bisa membaca 'Muwatta' dengan baik karena aku khawatir kamu tidak akan bisa membacanya sendiri."
Al-Syafi'i menjawab dengan kesopanan yang sama
"Imam, saya akan membacanya sendiri dari ingatan tanpa buku."
Selama sembilan tahun, Al-Syafi'i tetap tinggal di Madinah sampai kematian Malik pada tahun 179 H (790 AC). Dan sepeninggal Imam Malik, Imam Syafi'i kembali ke Makkah dengan membawa banyak ilmu yang telah mempengaruhi hidupnya. Di Makkah ia dinikahkan dengan 'Hamidah Bint Naafi', cucu dari Khalifah ketiga 'Utsman bin Afaan (RA). Dia memiliki tiga anak, dua putra Abu Utsman dan Abul Hasan dan seorang putri Fatima.
Penganiayaan Imam Syafi’i
Penganiayaan Imam Syafi’i
Gubernur Yaman, saat berkunjung ke Mekkah, bertemu dengan Al-Syafi'ee, mengetahui kemampuannya yang unik, dan menawarinya jabatan administratif di Yaman, tetapi seperti pendahulunya Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i juga mengalami persekusi dan intrik politik, tapi untungnya, tidak seperti Imam Abu Hanifah, dia tidak disiksa.
Imam Syafi'i ditangkap dan didakwa dengan pelanggaran campur tangan politik di Yaman. Khalifah saat itu, Haroon-al-Rasheed memeriksanya dan menemukan dia tidak bersalah atas semua tuduhan dan membebaskannya dengan hormat. Segera setelah itu, dia bertemu dengan Muhammad bin Hasan Al-Syaibani yang merupakan salah satu murid terpenting Imam Abu Ḥanifa.
Kontak dan diskusinya dengan Al-Shaibani meningkat dan memperkuat pengetahuannya. Apalagi, Al-Syafi'i berkesempatan mempelajari kitab-kitab Al-Shaibani dan ulama Irak lainnya di Baghdad. Setelah perjalanannya, dia kembali ke Makkah. Selama perjalanan ini, di setiap tempat yang dia kunjungi, dia mengatur pertemuan dan menyelenggarakan lingkaran studi yang dihadiri oleh banyak orang termasuk ulama besar seperti Abu-Thawr, Al-Zafarani, AlKarabisi.
Advertisement
Kematian Imam Syafi’i
Kematian Imam Syafi’i
Imam Al-Syafi'i tetap mengikuti rutinitas hariannya sampai penyakit memaksanya untuk pensiun dan berhenti mengajar. Di hari-hari terakhirnya sebelum kematiannya, Imam Syafi’i sempat berkata:
“Aku merasa bahwa aku sedang bepergian jauh dari dunia ini, jauh dari saudara-saudara, minum dari cawan kematian, dan mendekati Allah Yang Maha Mulia. Demi Allah aku tidak tahu apakah jiwaku akan masuk surga sehingga aku dapat mengucapkan selamat kepadanya, atau ke neraka agar aku bisa meratap.”
Kemudian dia menangis. Dia menjadi sangat sakit di akhir hidupnya. Imam Al-Syafi'i menemani orang-orang terpelajar sampai akhir hidupnya, dan dia dilaporkan menghabiskan hari-hari terakhirnya bersama Abdullah Ibnul Hakam, seorang ulama terkenal pada masanya.
Ia diperkirakan meninggal pada hari Jumat dalam penanggalan Islam bulan Rajab dalam usia 54 tahun 204 H (820 AC). Gubernur Mesir saat itu mengakui keunggulan akademiknya dengan tidak hanya menghadiri pemakamannya tetapi benar-benar memimpin doa tersebut. Kedua putranya Abul Hasan Muhammad dan Utsman hadir untuk upacara pemakaman.
Imam Al-Syafi'i kemudian dimakamkan di lemari besi Bani Abd Al-Hakam di kaki Bukit Muqattam di Kairo, Mesir. Dia disambut dengan sangat hangat dan hormat oleh orang-orang dan ulama Mesir karena Imam Syafi’i merupakan murid Imam Malik dan karena reputasinya di bidang fikih yang sudah tidak diragukan lagi.