Sukses

Ijarah Adalah Sewa Menyewa, Pahami dari Pengertian dan Syaratnya

Kata ijarah berasal dari bahasa Arab yakni Al-Ijarah berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan.

Liputan6.com, Jakarta Ijarah merupakan istilah dalam ajaran agama Islam. Bagi sebagian orang, istilah ini terdengar asing dan banyak yang tidak mengetahui maknanya. Ijarah adalah suatu akad yang digunakan untuk memanfaatkan sesuatu dalam jangka waktu tertentu setelah membayar biaya tertentu.

Secara bahasa, ijarah berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-meyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.

Dalam kehidupan sehari-hari, sewa menyewa merupakan kegiatan ekonomi yang saling menguntungkan bagi penjual dan pembeli. Meski begitu, kegiatan ekonomi ini memiliki dasar hukum dan syaratnya.

Berikut Liputan6.com ulas mengenai pengertian ijarah beserta syarat dan dasar hukumnya yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Selasa (7/2/2023).

2 dari 5 halaman

Pengertian Ijarah

Dikutip dari laman Fiqih Muamalah (2000) Nasrun Haroen, kata ijarah berasal dari bahasa Arab yakni Al-Ijarah berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-meyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.

Secara terminologi, ada beberapa definisi al-ijarah yang dikemukakan para ulama fiqh. Menurut ulama Syafi‟iyah, ijarah adalah akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti. Menurut Hanafiyah bahwa ijarah adalah akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang di ketahui dan di sengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.

Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, ijarah adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti. Selain itu ada yang menerjemahkan ijarah sebagai jual beli jasa (upah mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, yang ada manfaat dari barang.

Dalam arti luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu, hal ini sama artinya dengan menjual manfaat suatu benda, bukan menjual ain dari suatu benda itu sendiri. Secara sederhana, ijarah adalah akad atau transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu.

Melansir dari laman Kemenag Lampung, ijarah berarti sewa menyewa yang mana ketika salah satu membutuhkan dan tidak memiliki apa yang ia butuhkan, maka yang lain bisa membantu untuk memenuhinya.

3 dari 5 halaman

Dasar Hukum Ijarah

Al-ijarah dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah merupakan muamalah yang telah disyariatkan dalam Islam. Dasar hukumnya adalah mubah atau boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara‟ berdasarkan ayat al-qur‟an, hadist-hadist Nabi, dan ketetapan Ijma Ulama. Dasar hukum ijarah tersebut terdapat pada Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma.

a. Al-Qur’an

“...Jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah mereka upahnya...” (QS. At- Thalaaq: 6)

b. As-Sunnah

Dari Ibnu Umar, ia mengatakan bahwasanya Rasulullah bersabda: “Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum mengering keringatnya.” (Hadis riwayat Ibnu Majah).

c. Ijma

Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.

4 dari 5 halaman

Syarat Ijarah

Adapun syarat-syarat al-ijarah sebagaimana yang ditulis Nasrun Haroen sebagai berikut:

1. Yang terkait dengan orang yang berakad. Menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah disyaratkan telah balig dan berakal. Oleh sebab itu, apabila orang yang belum atau tidak berakal, seperti anak kecil dan orang gila ijarahnya tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang yang berakad itu tidak harus mencapai baligh. Oleh karenanya, anak yang baru memayyiz pun boleh melakukan akad al-ijarah, hanya pengesahannya perlu persetujuan walinya.

2. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaanya melakukan akad al-ijarah. Apabila salah seorang di antaranya terpaksa melakukan akad ini, maka akad alijarah nya tidak sah.

3. Manfaat menjadi objek al-ijarah harus diketahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari. Apabila manfaat yang menjadi objek tidak jelas, maka akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya dan penjelasan berapa lama manfaat itu di tangan penyewanya.

4. Objek al-ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya. Oleh sebab itu para ulama fiqh sepakat, bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Misalnya, seseorang menyewa rumah, maka rumah itu dapat langsung diambil kuncinya.

5. Objek al-ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’. Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat mengatakan tidak boleh menyewa seseorang untuk menyantet orang lain, menyewa seorang untuk membunuh orang lain, demikian juga tidak boleh menyewakan rumah untuk dijadikan tempat-tempat maksiat.

6. Objek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan seperti rumah, kendaraan, dan alat-alat perkantoran. Oleh sebab itu tidak boleh dilakukan akad sewa menyewa terhadap sebatang pohon yang akan dimanfaatkan penyewa sebagai sarana penjemur pakaian. Karena pada dasarnya akad untuk sebatang pohon bukan dimaksudkan seperti itu.

7. Upah atau sewa dalam al-ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang dimiliki nilai ekonomi.

5 dari 5 halaman

Ketentuan Ijarah Berakhir

Berikut ini terdapat beberapa ketentuan apabila ijarah dikatakan berakhir, yakni:

1. Wafatnya salah seorang yang berakad.

2. Apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait adanya utang, maka akad al-ijarahnya batal.

3. Masa tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah.

Sementara itu, menurut Sayyid Sabiq, al-ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:

1. Terjadinya cacat pada barang ketika di tangan penyewa.

2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti ambruknya rumah, dan runtuhnya bangunan gedung.

3. Rusaknya barang yang diupahkan, seperti bahan baju yang diupahkan untuk dijahit.

4. Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.

5. Salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkan al- ijarah jika ada kejadian-kejadian yang luar biasa, seperti terbakarnya gedung, tercurinya barang-barang dagangan, dan kehabisan modal.