Sukses

Ibnu Sabil Adalah Musafir yang Kehabisan Bekal, Ini Syarat untuk Menerima Zakat

Ibnu sabil adalah istilah yang mengacu pada seorang musafir, orang yang melakukan perjalanan, atau traveller, yang kehabisan bekal sehingga dia tidak bisa melanjutkan perjalanan atau pulang.

Liputan6.com, Jakarta Ibnu sabil adalah istilah yang mengacu pada seorang musafir, orang yang melakukan perjalanan, atau traveller, yang kehabisan bekal sehingga dia tidak bisa melanjutkan perjalanan atau pulang. Terlepas di daerah asalnya, memiliki harta atau tidak, ibnu sabil adalah salah satu golongan yang berhak menerima zakat.

Meski demikian, tidak setiap orang yang melakukan perjalanan dan kehabisan bekal merupakan orang yang berhak menerima zakat. Seseorang dapat disebut sebagai ibnu sabil dan berhak menerima zakat tentu harus memenuhi syarat-syarat tertentu, di antaranya tujuan dari perjalanan bukan untuk tujuan maksiat.

Seseorang yang berada di daerahnya dan hendak berangkat untuk melakukan perjalanan, makan dia tidak bisa disebut sebagai ibnu sabil. Oleh karena itu, meski akan melakukan perjalanan dia tidak berhak untuk menerima zakat.

Untuk lebih memahami apa itu ibnu sabil, berikut penjelasan selengkapnya seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Rabu (8/2/2023).

2 dari 4 halaman

Pengertian Ibnu Sabil

Secara bahasa, istilah ibnu sabil terdiri dari dua kata, yaitu ibnu yang berarti anak laki-laki, dan sabil yang berarti jalan. Dari asal katanya dapat dipahami bahwa ibu sabil adalah anak laki-laki yang ada di jalan. Meski demikian, ibnu sabil tidak mengacu pada anak jalanan yang menghabiskan hidupnya di jalan. Lebih tepatnya, ibnu sabil adalah orang yang melakukan perjalanan.

Namun tidak setiap orang yang melakukan perjalanan bisa disebut sebagai ibnu sabil. Orang yang melakukan perjalanan secara umum memiliki sebutan sebagai musafir. Ibnu sabil adalah musafir yang kehabisan bekal sehingga tidak dapat melanjutkan perjalanan atau pulang ke tempat asalnya.

Karena kondisinya yang kehabisan bekal atau harta, sehingga tidak bisa melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan atau pulan ke tempat asalnya, ibnu sabil adalah salah satu golongan yang berhak menerima zakat atau mustahik, sebagaimana  Allah berfirman dalam Surat At-Taubah ayat 60, yang artinya,

"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah : 60)
3 dari 4 halaman

Perbedaan Ulama

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, ibnu sabil adalah musafir atau yang melakukan perjalanan, yang kehabisan bekal atau harta sehingga tidak bisa melanjutkan perjalanan ke tujuan, maupun kembali pulang ke tempat asalnya. Kondisinya yang sudah kehabisan harta atau bekal sebelum mencapai tujuan perjalanannya, atau membuatnya sampai tidak bisa pulang, membuat seorang ibnu sabil menjadi salah satu golongan orang yang berhak menerima zakat.

Meski demikian, mengenai siapa musafir yang berhak menerima zakat ketika kehabisan harta, para ulama berbeda pendapat. Ulam mazhab Al-Hanafiyah dan mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa tidak semua ibnu sabil berhak menerima zakat.

Jika seseorang melakukan perjalanan dan kehabisan bekal di perjalanan, namun di tempat asalnya dia merupakan orang kaya, maka dia tidak berhak menerima zakat. Namun untuk bisa melanjutkan perjalanan hingga sampai tujuan, orang tersebut wajib berutang atau meminjam harta dari orang lain untuk kemudian dikembalikan ketika sudah sampai tujuan atau sudah sampai rumah, atau ketika dia bisa mengakses hartanya lagi.

Sedangkan para ulama mazhab As-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah tidak melarang orang yang kaya untuk menerima harta dari zakat, bila dia kehabisan bekal dalam perjalanan dan tidak bisa lagi mengakses hartanya. Para ulama yang tidak melarang orang kaya untuk menerima zakat karena kehabisan bekal ini atas pertimbangan bahwa.

Meski di tempat asalnya seorang musafir adalah orang yang kaya, namun pada situasi di mana dia kehabisan bekal dalam perjalanannya, makan dia sudah tidak bisa disebut kaya pada situasi tersebut. Oleh karena itu, dia tetap berhak untuk menerima zakat.

Selain itu, musafir kaya yang kehabisan bekal tetap berhak menerima zakat karena tidak semua orang bisa dengan mudan mendapatkan pinjaman utang dari orang lain, di daerah yang bukan asalnya. Lagi pula, mengajukan pinjaman utang kadang juga membutuhkan jaminan. Oleh karena itulah, ulama mahzab As-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah tidak melarang orang yang kaya untuk menerima harta dari zakat.

 

4 dari 4 halaman

Syarat Ibnu Sabil

Tidak setiap orang yang kehabisan bekal dalam perjalanannya berhak menerima zakat. Seorang musafir yang kehabisan bekal dan dapat disebut ibnu sabil sehingga berhak menerima zakat, harus memenhu beberapa syarat. Syarat ibnu sabil antara lain adalah sebegai berikut:

1. Seorang musafir atau ibnu sabil baru berhak menerima zakat jika dia seorang muslim atau beragama Islam. Selain menjadi syarat ibnu sabil, beragama Islam juga merupakan syarat untuk semua golongan penerima zakat. Meski demikian, kita juga tidak dilarang untuk menolong orang di luar Islam, yang kehabisan bekal dalam perjalanannya.

2. Sudah tidak memiliki harta lain lagi. Artinya, jika seorang musafir kehabisan uang, namun dia masih memiliki harta lain, baik itu dalam bentuk kendaraan, emas, perak, ponsel, yang bisa dijual untuk menghasilkan ongkos pulang, maka dia tidak berhak menerima zakat.

3. Syarat lain sehingga seorang musafir yang kehabisan bekal berhak menerima zakat adalah perjalanan yang dilakukan tidak bertujuan untuk maksiat. Meski demikian, bukan berarti ibnu sabil harus melakukan perjalanan dalam rangka ibadah seperti haji atau menuntut ilmu, yang berhak menerima zakat.

Yang jelas, meski perjalanan yang dilakukan hanya bersifat mubah, namun selama perjalan tersebut tidak dilakukan dengan tujuang kemaksiatan, seperti merampok, mencuri, berjudi, dan sebagainya, makan dia tetap berhak menerima zakat.

4. Tidak ada yang memberikan pinjaman utang. Menurut padangan mazhab Al-Malikiyah, bila orang itu kaya di tempat tinggalnya, dan dia bisa berutang untuk nantinya diganti dengan hartanya setelah kembali, maka menurut Al-Malikiyah, orang itu tidak berhak menerima santunan dari harta zakat. Namun apabila orang kaya itu tidak mendapatkan pinjaman utang, maka dia tetap berhak menerima zakat.