Liputan6.com, Jakarta Nama Ferdy Sambo hangat dibicarakan oleh publik karena baru saja dijatuhi hukuman mati atas kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir JÂ atau Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh majelis hakim. Lantas apa itu hukuman mati?
Baca Juga
Advertisement
Hukuman mati merupakan salah satu hukuman pidana di Indonesia. Hukuman mati diberikan kepada terdakwa tergantung jurisdiksi. Namun hukuman ini biasanya melibatkan kejahatan yang serius terhadap seseorang, seperti pembunuhan, pemerkosaan, hingga pembunuhan massal.
Selain di Indonesia, hukuman mati juga diterapkan di sejumlah negara di dunia, misalnya Amerika Serikat, China, Irak, Arab Saudi, hingga Mesir. Meski istilah ini populer, namun masih banyak masyarakat yang belum mengetahui apa itu hukuman mati.
Berikut ini Liputan6.com ulas mengenai apa itu hukuman mati beserta batasan dan tata caranya yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Senin (13/2/2023).
Apa Itu Hukuman Mati
Dikutip dari laman resmi Kemenkumham, apa itu hukuman mati adalah sanksi yang dilakukan dengan suatu pilihan perbuatan mematikan (oleh negara) kepada pelaku tindak pidana yang telah diputus bersalah atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Definisi lain, apa itu hukuman mati adalah praktik yang dilakukan suatu negara untuk membunuh seseorang sebagai hukuman atas suatu kejahatan. Dalam hal ini, tindakan pelaksanaan hukuman disebut sebagai eksekusi. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, apa itu hukuman mati adalah pencabutan nyawa terhadap terpidana.
Hukuman mati akan diberikan kepada pelaku kejahatan tergantung jurisdiksi, namun biasanya melibatkan kejahatan yang serius terhadap seseorang, seperti pembunuhan (berencana atau tidak), pembunuhan massal, pemerkosaan (seringkali juga termasuk kekerasan seksual terhadap anak, terorisme, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida, ditambah seperti kejahatan terhadap negara seperti upaya untuk menggulingkan pemerintahan, makar, spionase, penghasutan, dan pembajakan, serta kejahatan lainnya seperti residivisme, pencurian yang serius, penculikan, serta penyelundupan, perdagangan, atau kepemilikan narkoba).
Sanksi pidana ini telah dikenal sejak jaman penjajahan Belanda, tepatnya saat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Henry Willem Daendels berkuasa di Indonesia tahun 1808. Biasanya, hukuman mati ini diberikan kepada warga pribumi yang tidak mau dijadikan suruhan atau tidak menuruti perintah Daendels. Sanksi ini juga bersifat khas dikarenakan setelah eksekusinya dilaksanakan, maka terpidana yang sudah kehilangan nyawa tersebut tidak dapat hidup kembali (apabila ternyata muncul kekeliruan atas perkara yang bersangkutan).
Hal inilah yang merupakan salah satu alasan banyak pihak menolak (kontra) sanksi hukuman mati. Hukuman mati di dalam KUHP dikenal sebagai jenis sanksi pidana pokok dengan urutan pertama (urutan ini bermakna susunan berdasarkan berat ringannya sanksi pidana), sedangkan pengaturan hukuman mati di dalam rancangan KUHP bukan lagi sebagai jenis pidana pokok melainkan hanya sebagai pidana alternatif untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. Pengaturan demikian di Pasal 98 RKUHP dinyatakan bahwa pidana ini sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.
Hukuman mati atau pidana mati termasuk dalam pidana yang bersifat khusus, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 66 RUU KUHP menyatakan bahwa :
Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh karena itu, harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (tahun).
Jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat.
Advertisement
Batasan Hukuman Mati
Ada beberapa batasan hukuman mati sesuai dengan perjanjian  International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), antara lain:
1. Hanya untuk "kejahatan paling serius". Hukuman mati hanya berlaku pada tindak "kejahatan paling serius" yang disengaja, salah satu contohnya adalah korupsi.
2. Hak atas fair trial terpenuhi. Hukuman mati tidak dapat dilaksanakan jika hak atas fair trial dilanggar selama proses hukum berjalan.
3. Terpidana dengan gangguan jiwa. Penjatuhan hukuman dan eksekusi mati hanya berlaku pada terpidana yang bebas gangguan mental.
4. Menggunakan asas retroaktif. Hukuman mati tidak berlaku ketika tindak pidana tersebut belum diterapkan hukuman mati.
5. Terpidana di bawah umur. Vonis hukuman mati tidak dapat dilakukan jika usia terpidana berada di bawah 18 tahun.
6. Perlindungan hak atas identitas. Hukuman mati tidak berlaku bagi "kejahatan" zina, hubungan sesama jenis (homoseksual), "penodaan" agama, membentuk kelompok oposisi politik, atau penghinaan kepala negara.
7. Terpidana perempuan hamil. Hukuman mati hanya bisa diberikan kepada wanita jika ia tidak mengandung bayi.
Tata Cara Prosedural Hukuman Mati
Sesuai dengan Pasal 2 s.d Pasal 16 UU No. 2/Pnps/1964, ditentukan bahwa tata cara prosedural dari hukuman mati adalah sebagai berikut ini:
a. Dalam jangka waktu tiga kali dua puluh empat jam saat pidana mati dilaksanakan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bersangkutan harus memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakan pidana mati tersebut dan apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, keterangannya atau pesannya itu diterima oleh Jaksa Tinggi atau Jaksa tersebut (Pasal 6 ayat (1), (2));
b. Apabila terpidana sedang hamil, pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan (Pasal 7);
c. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman yaitu di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 ayat (1));
d. Kepala Kepolisian dari daerah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan pidana mati tersebut setelah mendengar nasihat dari Jaksa Tinggi/Jaksa yang telah melakukan penuntutan pidana mati pada peradilan tingkat pertama (Pasal 3 dan Pasal 4);
e. Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh regu penembak yang terdiri dari seorang Bintara, 10 orang Tamtama, dibawah pimpinan seorang Perwira yang semuanya dari Brigade Mobile (Pasal 10 ayat (1));
f. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira yang ditunjuk) dan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab harus menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut (Pasal 4);
g. Sebelum pelaksanaan pidana mati, maka terpidana dapat disertai rohaniawa (Pasal 11 ayat (1). Kemudian terpidana dapat menjalani pidana mati secara berdiri, duduk atau berlutut (Pasal 12 ayat(1)) dan pelaksanaan pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara sesederhana mungkin kecuali ditetapkan lain oleh Presiden (Pasal 9);
h. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana kecuali berdasarkan kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bersangkutan dapat menetukan lain (Pasal 15);
i. Kemudian setelah pelaksanaan pidana mati dilaksanakan, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara mengenai pelaksanaan pidana mati dan isi dari berita acara tersebut kemudian harus dicantumkan di dalam surat keputusan dari pengadilan yang bersangkutan (Pasal 16 ayat (1) dan (2)).
Advertisement