Liputan6.com, Jakarta Kuil merupakan tempat peribadatan agama Buddha yang juga menjadi ikon tersendiri. Dalam agama Budha, kuil punya fungsi utama sebagai tempat pemujaan atau beribadah kepada para dewa. Begitu pula di dalamnya pemeluk agama budha melakukan pencerahan di kuil. Menariknya, ada sebuah kuil di Jepang yang sampai dijuluki “Kuil Perceraian”.
Baca Juga
Advertisement
Melansir dari Amusing Planet, sebuah kuil bernama Matsugaoka Tokei-ji di kota Kamakura di Prefektur Kanagawa, Jepang, telah menjadi pengungsi bagi wanita yang mencari perlindungan dari suami yang kasar. Kebanyakan wanita mengalami KDRT yang membuat mereka tak punya jalan lain selain “mengungsi” ke kuil Matsugaoka Tokei-ji.
Jauh sebelum adanya hukum pengadilan, para wanita Jepang menjadikan kuil unik ini sebagai tempat pelarian. Namun ada syarat khusus yang harus dilakukan wanita korban KDRT tersebut. Jika sudah memenuhi kriteria, mereka akan dibantu melakukan proses perceraian yang diatur oleh suami mereka.
Pada masa inilah julukan populer kuil yang didirikan tahun 1285 ini mulai digunakan, yaitu Enkiri-dera ("Kuil Pemutusan Hubungan"), dan Kakekomi-dera ("Kuil tempat seseorang melarikan diri sebagai pengungsi"). Itu juga kadang-kadang disebut sebagai "Kuil Perceraian".
Seperti apa aturan kuil Matsugaoka Tokei-ji pada wanita korban KDRT? Berikut Liputan6.com merangkum keunikannya melansir dari Amusing Planet, Kamis (16/2/2023).
Wajib mengabdi di kuil selama tiga tahun
Lady Horiuchi, bupati kedelapan Keshogunan Kamakura merupakan pendiri kuil “Perceraian” ini. Wanita yang lahir pada tahun 1252 dari klan Adachi itu mulanya tak memaksudkan kuil sebagai tempat pelarian korban KDRT. Reputasi itu sebagian besar berasal dari aktivitasnya selama dua abad terakhir periode Tokugawa.
Perannya lebih tepat digambarkan selama empat ratus tahun pertama ketika ia dikenal sebagai Kakekomi-dera , atau "Kuil tempat seseorang mencari pengungsi". Beberapa kepala biara terkemuka awalnya tiba di sini mencari perlindungan, suaka dan tempat perlindungan.
Menurut salah satu catatan sejarah dengan tanggal dan penulis yang tidak pasti, Lady Horiuchi meminta anak Sadatoki untuk menerapkan hukum kuil di Tōkei-ji untuk membantu wanita yang ingin berpisah dari suami mereka. Sadatoki meneruskan permintaan tersebut kepada kaisar, yang menyetujuinya.
Mulanya, masa pengabdian di pura ditetapkan selama tiga tahun. Ini kemudian dikurangi menjadi dua tahun.
Advertisement
Sempat jadi kuil khusus perempuan
Sebelumnya, berdirinya kuil Tōkei-ji bermula dari kisah asmara Lady Horiuchi dan sang suami, Hōjō Tokimune. Keduanya merupakan murid setia Buddhisme Zen, dan secara aktif mengambil bagian dalam latihan penyembuhan. Ketika Tokimune tiba-tiba jatuh sakit pada tahun 1284, dia dan Lady Horiuchi mengambil tonsur dan mengenakan jubah biksu dan biksuni.
Tokimune mengambil nama religius Hokoji-dono Doko , dan Lady Horiuchi diberi nama Buddhis Kakusan Shidō. Tak lama kemudian, Tokimune meninggal dan Lady Horiuchi berjanji untuk membangun sebuah kuil untuk menghormatinya.
Sebanyak 2.000 perceraian dikabulkan oleh kuil Tōkei-ji selama periode Tokugawa. Namun setelah berlakunya undang-undang baru, kuil kehilangan hak istimewa ini pada tahun 1873. Semua kasus perceraian selanjutnya ditangani oleh Pengadilan.
Setelah Restorasi Meiji, kuil tersebut tidak hanya kehilangan dukungan keuangannya tetapi juga kebijakan pemerintah anti-Buddha ikut menyebabkan runtuhnya bekas wihara tersebut.
Kuil tetap menjadi biara khusus untuk wanita dan pria tidak diizinkan masuk sampai tahun 1902. Saat itu seorang pria menjabat sebagai kepala biara dan Tōkei-ji menjadi kuil cabang di bawah pengawasan kuil Engaku-ji. Seluruh candi, dengan pengecualian menara lonceng, hancur pada tahun 1923 Gempa bumi besar Kantō, dan candi secara bertahap dibangun kembali pada dekade berikutnya.
Pemandangan Indah Kuil
Advertisement