Liputan6.com, Jakarta Salah satu cara mempelajari ajaran agama Islam adalah dengan belajar dari ulama yang menguasai ilmunya. Meski demikian, dalam mempelajari sampai dengan menjalankan ajaran agama Islam, hendak seorang muslim tidak hanya sekadar ikut-ikutan alias taqlid.
Sebab taqlid hanya akan membuat seorang muslim tidak memiliki kemandirian berpikir, sehingga akan terus bergantung pada pemikiran ulama atau imam yang diikutinya. Meski demikian, bukan berarti bahwa mengikuti ulama atau ahli fiqih adalah hal yang buruk. Sebab, bagi orang awam yang tidak memiliki ilmu agama yang dalam, tentu sangat penting untuk taqlid pada ulama.
Hanya saja, penting untuk memahami bahwa sebagai seorang muslim kita juga harus dapat memastikan bahwa apa yang dikatakan para ulama yang kita ikuti, semuanya bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebab, semerta-merta mengikuti apa yang dikatakan ulama tanpa memahami dalil dan sumber hukumnya, akan mendorong kita pada taqlid buta, yang mana itu dianggap sebagai tidak terpuji.
Advertisement
Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan taqlid? Berikut penjelasan selengkapnya seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Kamis (16/2/2023).
Taqlid adalah ...
Secara etimologi, kata taqlid adalah istilah yang berasal dari bahasa Arab, yaitu yaitu qallada-yuqallidu-taqliidan. Asal kata tersebut memiliki berbagai macam arti yang tergantung pada letak dan pemakaiannya dalam kalimat. Adakalanya kata “taqlid” berarti “menghiasi”, “meniru”, “menyerahkan”, “mengikuti” dan sebagainya.
Dikutip dari artikel "Pengaruh Taqlid dalam Pendidikan Islam" (ITQAN, Vol. 11, No.2, Jul-Des 2020), secara istilah, taqlid adalah mengikuti pendapat seorang faqih, atau seorang imam, tanpa mengetahui dalil atau sumber hukumnya.
Adapun pengertian taqlid menurut para ulama antara lain sebagai berikut:
1. Menurut Imam al-Gazali, taqlid adalah menerima ucapan tanpa hujjah (dalil/sumber hukum).
2. Al-Isnawi, dalam kitabnya Nihayah al-Ushul, mendefinisikan taqlid adalah mengambil perkataan orang lain tanpa dalil.
3. Tajuddin al-Subki, dalam kitabnya Jam’ul Jawami mendefinisikan taqlid adalah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil.
4. Menurut Ibnu al-hummam, taqlid adalah beramal dengan pendapat seseorang yang pendapatnya itu bukan merupakan hujjah, tanpa mengetahui hujjahnya.
Dari sejumlah pendapat para ulama tersebut dapat dipahami bahwa taqlid adalah suatu sikap yang menjalankan suatu permuatan atau amal hanya berdasarkan ucapan orang lain. Adapun ucapan orang lain tersebut tidak bernilai hujjah, tidak berdasar dalil, atau sumber hukumnya tidak jelas.
Selain itu dapat dipahami pula bahwa taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil yang menunjukkan kebenaran pendapat tersebut. Taqlid adalah menerima atau menjadikan pendapat orang lain sebagai rujukan untuk berbuat dan menjadikannya sebagai dasar berargumentasi yang mana pendapat tersebut belum tentu dijamin kebenarannya dengan tidak mengkaji lagi referensi-referensi dari kebenaran pendapat tersebut.
Advertisement
Hukum Taqlid
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, taqlid adalah mengikuti ucapan ulama tanpa mengetahui hujjah, dalil, atau sumber hukumnya. Pengertian tersebut tentu saja menunjukkan suatu konotasi negatif terhadap taqlid. Meski demikian, meski taqlid cenderung membuat seseorang kehilangan kemandirian dalam berpikir, namun taqlid adalah sikap yang tidak bisa dibilang selalu memiliki pengertian yang negatif.
Oleh karena itu, tentu saja ada taqlid yang diperbolehkan, bahkan diwajibkan. Sebagai contoh, ketika ada seseorang yang tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang ilmu agama, tidak mampu menentukan pandangannya di dalam menetapkan sebuah hukum syar'i, maka orang tersebut boleh melakukan taqlid. Dari penjelasan tersebut, baik buruknya taqlid tergantung dari situasi dan kondisinya. Setidaknya taqlid dapat menjadi haram, mubah, bahkan wajib.
Taqlid yang Haram
Tqlid menjadi haram, apabila terjadi hal-hal yang menyebabkan haramnya taqlid. Adapun penyebab taqlid menjadi haram antara lain adalah taqlid seorang mujtahid mutlak, dan taqlid kepada selain mujtahid. Mujtahid adalah seorang seseorang yang dalam ilmu fikih sudah mencapai derajat ijtihad dan memiliki kemampuan istinbath (inferensi) hukum-hukum syariat dari sumber-sumber muktabar dan diandalkan.
Sedangkan mujtahid mutlak adalah seseorang yang telah mencapai tingkat keilmuan yang membuatnya dapat mengaplikasikan kaidah-kaidah yang dirumuskannya sendiri secara independen dan dijadikannya metodologi berpikir dalam proses penggalian hukum Islam.
Seorang yang sudah mencapai derajat sebagai mujtahid mutlak dalam hukum syariah, haram baginya untuk bertaqlid kepada mujtahid yang lain. Sebab seorang mujatahid mutlak berada pada urutan tertinggi dari para mujtahid.
Selain itu hukum taqlid adalah haram jika seseorang melakukan taqlid pada selain mujtahid. Orang awam yang tidak memiliki ilmu agama yang mumpuni, diperkenankan untuk taqlid kepada orang lain yang lebih memahami agama, dalam hal ini adalah mujtahid. Akan tetapi haram baginya untuk taqlid pada selain mujtahid.
Orang awam yang tidak punya ilmu dan kurang syarat untuk berijtihad, diharamkan untuk bertaqlid kepada mereka yang statusnya orang awam juga. Selain itu, taqlid yang diharamkan adalah taqlid pada orang sesat. Kalau taqlid kepada orang shalih tetapi tidak berilmu sudah tidak boleh, apa lagi bertaqlid kepada orang yang sesat dalam agama.
Taqlid Wajib
Taqlid yang wajib adalah taqlid seorang awam yang ilmu agamanya belum mendalam kepada seseorang mujtahid yang kompeten sehingga memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad. Walaupun kita melakukan ijtihad hukum, hasilnya pun tidak boleh dipakai oleh siapapun, baik oleh mujtahid ataupun untuk orang awam lainnya.
Taqlid yang Mubah
Taklid yang hukumnya boleh adalah taklid yang tidak mengapa untuk dilakukan, tidak merupakan kewajiban, juga bukan merupakan keharaman. Taqlid yang hukumnya boleh berlaku bagi para mujtahid yang tidak sampai batas sebagai mujtahid mutlak. Mereka punya kapasitas dan punya semua syarat untuk berijtihad sendiri.
Meski demikian, penting bahwa sebagai muslim kita harus belajar agama dari sumber-sumber utamanya, yakni Al-Qur'an dan Sunnah, setidaknya untuk melakukan verifikasi dari apa yang dikatakan ulama atau imam, sehingga kita tidak terjebak pada taqlid buta.
Dampak Taqlid Buta
Dalam kondisi dan kadar tertentu, taqlid adalah suatu sikap yang hukumnya bisa menjadi haram, mubah, bahkan wajib. Lalu bagaimana dengan taqlid buta? Taqlid adalah mengikuti tanpa tahu dalilnya. Taqlid dengan pengertian tersebut merupakan sikap yang tidak terpuji dalam Islam.
Lebih tidak terpuji lagi bila berupa taqlid buta terhadap sesuatu yang buta pula, yakni tidak ada dalil yang jelas dan bahkan tidak didukung oleh penjelasan yang masuk akal. Dikutip dari "Pengaruh Taqlid dalam Pendidikan Islam" (ITQAN, Vol. 11, No.2, Jul-Des 2020), setidaknya ada sejumlah dampak negatif dari taqlid buta, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Takut terhadap perubahan dan kritik
Taqlid buta dapat membuat seorang awam bahkan ulama menjadi takut pada perubahan dan kritik. Bahkan kritik dianggap sebagai ancaman yang dapat bagi seseorang yang menduduki posisi tertentu. Kritik akan dianggap sebagai tindakan yang tidak patuh.
2. Agama dipandang sebagai sesuatu yang tidak berkembang
Taqlid buta dapat menyebabkan agama dianggap sebagai sesuatu yang tidak berkembang. Artinya, penafsiran teks-teks suci mengalami penyempitan ruang atau wilayah tafsir dan teologi. Hanya kelompok tertentu yang memiliki hak untuk mengakses ke wilayah sakral tersebut.
3. Intoleransi
Taqlid buta membuat seseorang menjadi intoleran, mudah mengkafirkan pihak lain yang tidak memiliki pandangan yang sama.
Advertisement