Liputan6.com, Jakarta Kafir merupakan istilah yang menjadi sangat sensitif belakangan ini. Sebab, kafir menjadi istilah yang digunakan untuk merujuk pada orang-orang yang tidak memeluk agama Islam atau nonmuslim.
Baca Juga
Advertisement
Penggunaan kata kafir yang tidak tepat dan tidak sesuai konteks tentu akan dapat mengancam persatuan dan kesatuan sebuah bangsa. Parahnya lagi, tidak hanya ditujukan pada nonislam, kata kafir bahkan cukup sering ditujukan kepada sesama muslim oleh sebagian kecil pihak.
Oleh karena itu, sangat penting bagi kita terutama orang-orang muslim untuk memiliki pemahaman yang lebih mendalam mengenai konsep kafir. Dengan memahami konsep kafir yang sebenarnya, kita bisa memahami siapa saja yang dapat disebut kafir, sehingga kita tidak sembarangan dalam menggunakan kata tersebut.
Untuk memahami konsep kafir lebih dalam, simak penjelasan selengkapnya berikut ini seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Rabu (22/2/2023).
Pengertian Kafir
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri, kafir adalah orang yang tidak percaya kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Sedangkan secara etimologi, kāfir memiliki akar kata K-F-R yang berasal dari kata kufur yang berarti menutup.
Pada zaman sebelum datangnya Agama Islam, istilah tersebut digunakan untuk merujuk aktivitas yang dilakukan para petani yang sedang menanam benih di ladang, kemudian menutup (mengubur) dengan tanah. Sehingga kalimat kāfir bisa diaplikasikan menjadi "seseorang yang bersembunyi atau menutup diri". Dengan demikian kata kafir menyiratkan arti seseorang yang bersembunyi atau menutup diri.
Secara istilah, kafir adalah orang yang mata hatinya dalam keadaan tertutup (tidak mampu) dari memperhatikan tanda-tanda (kebesaran) Allah dan mereka tidak sanggup mendengar ayat ayat Allah. Maksudnya bila seseorang benar-benar tertutup maka dia akan sulit untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah, kecuali Allah sendiri yang berkehendak untuk membuka hatinya.
Advertisement
Macam-Macam Kafir
Istilah kafir juga cukup sering disebut dalam Al-Qur'an. Dalam Al-Qur'an, kata kafir digunakan dalam konteks yang berbeda-beda. Perbedaan konteks inilah yang membuat istilah kafir memiliki makna yang berlainan. Adapun pengertian kafir berdasarkan Al-Qur'an dapat dipahami dengan dua cara, antara lain sebagai berikut:
1. Kufur at-tauhid (Menolak Allah SWT sebagai Tuhan yang Maha Esa)
Konsep kafir dalam konteks kufur at-tauhid adalah menolak tauhid, atau menolak bahwa Tuhan itu Esa. Seperti yang terkandung dalam Surat Al-Maidah ayat 73, berikut:
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (Al-Maidah ayat 73)
Arti kata kafir dalam konteks kufur at-tauhid juga bisa merujuk pada Quran Surat Al Maidah ayat 17 ini, yang artinya:
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam". Katakanlah: "Maka siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putra Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?" Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Al-Maidah ayat 17)
Dalam kaitannya dengan hal ini, istilah kafir dapat dipahami sebagai orang-orang yang menolak keberadaan Allah. Mereka tidak percaya atau meyakini bahwa alam semesta dan seisinya ini ada yang menciptakan, yakni Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak ada satu sekutu bagi-Nya.
2. Kufur al-ni`mah (Mengingkari Nikmat)
Selanjutnya, arti kata kafir dalam islam selanjutnya adalah mengingkari nikmat. Kata ini dialamatkan kepada orang-orang yang tidak mau bersyukur kepada Tuhan.
Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 152 yang artinya,
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (la takfurun). (Al-Baqarah ayat 152)
Jika mengacu pada pengertian ini, maka seorang muslim pun jika tidak bisa bersyukur atau mengingkari nikmat Allah, pada situasi dan kondisi tersebut, dia dapat dikatakan kafir.
Sementara itu, menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), kafir ada empat macam. Yang pertama adalah kafir inkar, yaitu mengingkari tauhid dengan hati dan lisannya. Kedua, kafir penolakan (Juhud), yaitu mengingkari dengan lisannya dan mengakui dalam hatinya. Ketiga, kafir Mu’anid, yaitu mengetahui kebenaran Islam dalam hatinya dan dinyatakan oleh lisannya, namun ia menolak beriman. Keempat, kafir nifaq, yaitu menyatakan beriman dengan lisannya, namun hatinya mengingkari.
Sebab-Sebab Kafir
Setidaknya ada sebab-sebab atau kriteria yang dapat membuat orang dapat dikategorikan sebagai orang kafir. Seperti dilansir dari laman Majelis Ulama Indonesia, seseorang dapat dikatakan sebagai kafir jika melakukan salah satu dari tiga penyebab kekafiran berikut ini.
a. Kekafiran I’tiqad (mukaffirat i’tiqadiyyah), segala macam akidah dan keyakinan yang bertentangan dengan salah satu rukun iman yang enam atau mengingkari ajaran Islam yang qath’i (al-ma’lum min ad-din bi ad-dharurah).
b. Kekafiran Ucapan (mukaffirat qawliyyah), yaitu setiap ucapan yang mengandung pengakuan atas akidah kufur atau penolakan terhadap salah satu akidah Islam atau unsur pelecehan/penistaan agama baik aqidah maupun syariah.
c. Kekafiran Perbuatan (mukaffirat ‘amaliyyah), setiap perbuatan yang dipastikan mengandung indikator nyata akidah yang kufur.
Kendati demikian, meski kita bisa melihat ada salah satu ciri tersebut dalam diri seseorang, kita tidak berhak untuk mengecap orang tersebut sebagai kafir.
Sebab, sekiranya sangat diperlukan pemberian fatwa “kafir” terhadap seseorang atau sekelompok orang yang telah jelas penyimpangannya terhadap aqidah Islam dan demi melindungi aqidah kaum muslim lainnya. Maka hal ini harus melalui kajian mendalam dan komprehensif. Vonis kafir harus diputuskan oleh lembaga keulamaan yang diotorisasi oleh umat dan negara.
Advertisement