Liputan6.com, Jakarta Tradisi memakai baju baru saat Lebaran merupakan salah satu penerapan sunnah Rasulullah Muhammad SAW yang menganjurkan umat Muslim untuk berpakaian yang terbaik pada saat perayaan Idul Fitri maupun Idul Adha. Namun ternyata, tradisi memakai baju baru saat Lebaran di Indonesia juga mendapat pengaruh dari Kolonial Belanda.
Secara umum tradisi memakai baju baru saat Lebaran menjadi bentuk perayaan kemenangan setelah sebulan penuh berhasil menahan hawa nafsu. Baju yang baru juga menjadi simbol diri yang bersih suci setelah melewati bulan Ramadan. Bagi beberapa masyarakat Indonesia baju baru menjadi bagian yang sangat esensial saat Lebaran.
Tradisi ini terus dipertahankan dan menjadi bagian dari budaya Muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir, ada pula yang memilih untuk memakai baju yang sudah dimiliki sebelumnya atau membeli baju second-hand sebagai alternatif untuk mengurangi dampak lingkungan dari produksi baju baru. Berikut asal-usul tradisi memakai baju baru saat Lebaran di Indonesia yang dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber.
Advertisement
Catatan Sejarah Tradisi Membeli Baju Baru Menjelang Lebaran
Seperti sudah disinggung sebelumnya tradisi memakai baju baru saat Lebaran merupakan salah satu implementasi sunnah Rasulullah yang menganjurkan umat muslim mengenakan pakaian terbaik saat hari raya. Namun sebetulnya yang dimaksud terbaik tidak harus baju baru. Dalam catatan sejarah, tradisi membeli baju baru telah berlangsung cukup lama di Indonesia. Snouck Hurgronje, seorang penasehat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial Belanda mencatat kebiasaan atau tradisi baju baru saat Lebaran dimulai awal abad ke-20.
Catatan tentang tradisi memakai baju baru saat Lebaran Snouck Hurgronje ditemukan dalam suratnya kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri, 20 April 1904. Surat ini kemudian dibukukan dalam Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya di Pemerintah Hindia Belanda 1889–1939 Jilid IV.
Dalam suratnya Snouck menjelaskan bahwa, “Di mana-mana perayaan pesta ini disertai hidangan makan khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan,"
Ia juga menambahkan bahwa tradisi memakai baju baru saat hari raya mirip dengan kebiasaan di eropa saat merayakan hari besar. "Kebiasaan saling bertamu pada hari pertama bulan kesepuluh dengan mengenakan pakaian serba baru mengingatkan kita pada perayaan tahun baru Eropa," tulis Snouck dalam buku berjudul Islam di Hindia Belanda.
Advertisement
Tradisi Lebaran dan Ekonomi
Snouck menuliskan tradisi beli baju baru jelang Lebaran memiliki peran yang cukup signifikan pada perputaran uang. “Lebih banyak uang di keluarkan di Betawi dibandingkan dengan kebanyakan tempat lain karena pembelian petasan, pakaian, dan makanan pada hari Lebaran,” tulinya. Diduga sebagai pusat atau ibu kota, Batavia memiliki aktivitas perdagangan lebih mudah diakses, sehingga mendukung perputaran roda ekonomi.
Namun, tradisi baju baru saat Lebaran menyedot banyak biaya bagi kaum pribumi. Kebiasaan sempat mendapat kritik dari dua pejabat kolonial di masa itu, yakni Steinmetz dari Residen Semarang, dan De Wol pejabat Hindia Belanda. Mereka menyebut tradisi memakai baju baru saat Lebaran, dan tradisi-tradisi Lebaran lainnya sebagai sumber bencana ekonomi.
Kedua pejabat pemerintahan kolonial ini merasa bahwa tradisi Lebaran membuat sebagian besar bupati dan pamong praja bumiputera justru memanfaatkan dana pemerintah untuk menyambut Lebaran, termasuk untuk pembelian pakaian baru.
Para bupati dan pamong praja bumiputera kala itu senang menggunakan pakaian dengan mode gabungan ala tradisi Indonesia, perpaduan Islam, dan ala Eropa.mereka juga mengenakan pantolan berbahan benang emas, hingga sejumlah atribut khas Eropa.
Kees Van Dijk seorang politisi asal Belanda menuliskan dalam catatannya 'Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi' yang dimuat dalam Outward Appearances bahwa, "Bupati dan kepala wilayah biasanya melengkapi penampilan mereka dengan pakaian pribumi berupa kain ketat atau pantalon berbenang emas, dengan sepatu bot dan taji untuk sepatu menurut gaya Eropa.
Kees juga mengatakan bahwa tradisi Lebaran menimbulkan kesenjangan sosial antara rakyat jelata dan kaum pejabat pribumi. Berbeda dengan para pejabat bumiputera, rakyat jelata justru hanya memiliki sedikit pilihan dalam membeli pakaian baru. Pakaian rakyat biasanya perpaduan mode setempat dengan gaya muslim di India dan Arab.
"Pakaian Barat ditabukan bagi banyak orang, Jika ada pengecualian maka ini berlaku bagi orang-orang yang dekat dengan Belanda," tulis Kees.
Rakyat jelata mulai keleluasaan memilih model pakaian Lebaran pada awal tahun 1900. Hal ini tercatat pada Harian De Locomotif terbitan 30 Desember 1899 yang menggambarkan suasana rakyat jelata saat hari raya Idul Fitri. Dijelaskan bahwa rakyat jelata mulai berpakaian Barat mengikuti kebiasaan pejabat bumiputera kecuali kain penutup kepalanya. Rakyat tidak lagi hanya mengenakan sarung dan peci baru, tapi juga dengan sepatu dan celana panjang.
Keleluasaan rakyat jelata memilih model pakaian yang dipakai saat Lebaran kemudian mendorong pertumbuhan industri tekstil di Hindia Belanda. Mode pakaian pun kian beragam dan pangsa pasar meluas. Sayangnya saat mengalami resesi pada 1930, penjualan menurun. Pasokan barang yang melimpah di pasaran mengalami kemerosotan harga yang tajam.
Catatan Tradisi Baju Baru di Masa Kerajaan
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam bukunya yang berjudul Sejarah Nasional Indonesia karya, menyebutkan bahwa tradisi memakai baju baru saat Lebaran, sudah dimulai sejak tahun 1596. Tepatnya di masa kesultanan Banten.
Sayangnya di masa itu, hanya kalangan kerajaan saja yang bisa membeli baju bagus untuk Idul Fitri. Sementara rakyat biasa akan menjahit pakaian mereka sendiri. Diterangkan pula bahwa di momen tersebutlah akan ada sejumlah petani yang akan beralih menjadi penjahit sementara waktu atau hanya beberapa hari selama jelang Lebaran.
Hal serupa bahkan dijumpai pula di masa Kerajaan Mataram Baru Yogyakarta. Di mana Masyarakat di Yogyakarta berbondong-bondong mencari baju baru, baik membeli atau menjahit sendiri. Ini dipercaya sebagai bukti tradisi baju baru saat Lebaran yang ada di berbagai wilayah.
Advertisement