Sukses

Keutamaan Shalat Idul Fitri di Lapangan, Berikut Ketentuan Shalat Id

Ada alasan yang mendasari mengapa shalat Idul Fitri di lapangan menjadi lebih utama, salah satunya adalah tujuan syiar Islam.

Liputan6.com, Jakarta Setelah menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan, tiba saatnya bagi setiap muslim untuk merayakan hari kemenangan di Hari Raya Idul Fitri. Pada hari itu, umat Islam dianjurkan untuk melakukan shalat Idul Fitri.

Shalat Idul Fitri merupakan shalat sunnah yang dilaksanakan di Hari Raya Idul Fitri. Berbeda dengan shalat fardhu maupun shalat sunnah lainnya, shalat Idul Fitri dilaksanakan sebanyak dua rakaat. Rakaat pertama dilakukan dengan takbiratul ihram sebanyak tujuh kali. Sedangkan di rakaat kedua dilakukan dengan takbiratul ihram sebanyak 5 kali.

Selain itu, hal yang membedakan Shalat Idul Fitri dengan shalat lainnya adalah tempat pelaksanaannya. Meski shalat Idul Fitri juga bisa dilakukan di dalam masjid, namun sebagian umat Islam ada pula yang melaksanakan shalat Idul Fitri di tanah lapang yang luas.

Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, lalu mana yang lebih utama, menjalankan shalat Idul Fitri di masjid atau tanah lapang? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Namun yang jelas ada beberapa keutamaan dari shalat Idul Fitri di tanah lapang. Berikut penjelasan selengkapnya seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Jumat (21/4/2023).

2 dari 4 halaman

Perbedaan Pendapat Para Ulama

Sebelumnya disebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai mana di antara lapangan dan masjid yang lebih utama untuk melaksanakan shalat Idul Fitri.

Sebagian ulama mengatakan bahwa melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan lebih utama daripada di masjid. Hal ini didasarkan pada hadits yang berbunyi:

Dari abu Saʻid al-Khudri r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw keluar ke lapangan tempat salat (mushala) pada hari Idulfitri dan Iduladha, lalu hal pertama yang dilakukannya adalah salat, kemudian ia berangkat dan berdiri menghadap jamaah, sementara jamaah tetap duduk pada saf masing-masing, lalu Rasulullah menyampaikan wejangan, pesan, dan beberapa perintah … [HR al-Bukhari].

Mengenai hadits tersebut, Imam Nawawi menjelaskan bahwa shalat Idul Fitri sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdal (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktikkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam shalat Idul Fitri mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.

Di antara para ulama bermahzab Syafi'i ada dua pendapat mengenai hal itu. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang lebih afdal adalah di lapangan berdasarkan hadits di atas.

Pendapat kedua menyatakan bahwa yang lebih afdal adalah di masjid kecuali jika tempat tersebut sempit. Inilah yang jadi pendapat mayoritas ulama Syafiiyah.

Ulama Syafiiyah mengatakan bahwa penduduk Makkah melakukan shalat di masjid karena areanya yang luas. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat di lapangan menunjukkan akan sempitnya masjid beliau kala itu. Jadi kalau masjid itu luas, maka shalat di masjid itu lebih afdal.” (Syarh Shahih Muslim, 6:159)

3 dari 4 halaman

Keutamaan Shalat Idul Fitri di Lapangan

Di antara hadits yang menjadi dasar dari pendapat bahwa melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan adalah hadits berikut:

Dari Abu Saʻid al-Khudri r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw keluar ke lapangan tempat salat (mushala) pada hari Idulfitri dan Iduladha, lalu hal pertama yang dilakukannya adalah salat, kemudian ia berangkat dan berdiri menghadap jamaah, sementara jamaah tetap duduk pada saf masing-masing, lalu Rasulullah menyampaikan wejangan, pesan, dan beberapa perintah … (HR al-Bukhari).

Beberapa ulama menjelaskan bahwa pada saat itu Rasulullah SAW melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan karena tidak ada masjid yang cukup luas untuk menampung seluruh jamaah. Akan tetapi, ada alasan yang mendasari mengapa shalat Idul Fitri di lapangan menjadi lebih utama, salah satunya adalah tujuan syiar Islam.

Shalat Id dilaksanakan di lapangan memiliki tujuan agar para gadis, wanita-wanita yang haid, dan wanita yang dipingit bisa datang dan menyaksikan shalat Idul Fitri. Selain itu, mereka juga bisa mendengarkan khutbah, meskipun mereka tidak ikut melaksanakan shalat.

Dari Ummu Athiyyah ia berkata, "Rasulullah shallallahu alai wasallam memerintahkan kepada kami agar mengajak serta keluar melakukan shalat Idul Fitri dan Idul Adha para gadis, wanita haid, dan wanita yang sedang dipingit. Adapun wanita haid, mereka memisahkan diri dari tempat pelaksanaan shalat dan mereka menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin." (HR. Bukhari dan Muslim)

4 dari 4 halaman

Ketentuan Shalat Id

Shalat Idul Fitri dilaksanakan dengan beberapa ketentuan. Adapun ketentuan shalat Id adalah sebagai berikut:

1. Shalat Id tanpa Adzan dan Iqamah

Tidak seperti shalat fardhu yang diawali dengan adzan dan iqamah, shalat Id tidak diawali dengan adzan dan iaqamah.

Dari Jabir bin Samurah ia berkata: "Saya telah menunaikan shalat dua hari raya bersama Rasulullah saw lebih dua kali, yakni (beliau menunaikannya) tanpa adzan dan iqamah." (HR. Muslim)

2. Shalat Id Dilaksanakan Sebanyak 2 Rakaat

Shalat Idul Fitri dilakukan sebanyak dua rakaat. Rakaat pertama dilakukan dengan takbiratul ihram sebanyak tujuh kali. Sedangkan di rakaat kedua dilakukan dengan takbiratul ihram sebanyak 5 kali.

Dari Ibn ‘Abbas (diriwayatkan bahwa) Nabi saw salat Id pada hari Id dua rakaat tanpa melakukan shalat lain sebelum dan sesudahnya [HR tujuh ahli hadis, dan lafal di atas adalah lafal al-Bukhari].

Hukum melaksanakan salat Id adalah sunah muakad. Sebab Rasulullah saw tidak pernah meninggalkannya selama sembilan kali Syawal dan Zulhijah setelah disyariatkannya, tetapi juga tidak adanya sanksi hukum atas tidak mengerjakannya.

3. Disunnahkan Menyampaikan Khutbah

Setelah selesai melaksanakan shalat Idul Fitri, biasanya akan ada penyampaian khutbah. penyampaian khutbah idul fitri bersifat sunnah sebagaimana shalat idul fitri itu sendiri. Setidaknya demikian menurut pandangan mazhab As-Syafi’i.

Adapun berikut ini adalah keterangan Imam An-Nawawi dari mazhab As-Syafi’i perihal kesunnahan khutbah idul fitri.

“Setelah shalat idul fitri, (khatib) dianjurkan untuk menyampaikan dua khutbah di atas mimbar. Jika telah naik ke atas mimbar, khatib menghadap jamaah dan memberi salam kepada mereka dan mereka menjawab salam khatib sebagaimana penjelasan pada bab Jumat. Khatib kemudian berkhutbah seperti dua khutbah Jumat, baik rukun maupun sifatnya. Hanya saja pada khutbah shalat idul fitri, khatib tidak disyaratkan untuk berdiri pada saat khutbah,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz V, halaman 25).