Liputan6.com, Jakarta Hukum mengingkari hadist adalah salah satu pertanyaan yang mungkin sering diucapkan oleh seorang muslim. Dalam Islam, hadist disebut juga dengan sunnah yang berarti perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam.
Baca Juga
Advertisement
Dengan begitu, hukum mengingkari hadist adalah haram. Pasalnya hadist adalah salah satu sumber hukum dalam Islam selain Al-Qur’an. Apabila ada seseorang yang mengingkari hadist, maka orang tersebut akan mendapatkan dosa dari Allah SWT.
Supaya lebih paham, berikut ini Liputan6.com ulas mengenai hukum mengingkari hadist bagi umat Muslim dan fungsinya yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Kamis (4/5/2023).
Hukum Mengingkari Hadist Adalah
Hukum mengingkari hadist adalah haram. Pasalnya hadist adalah salah satu sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Para ulama menjadikannya sebagai rujukan utama dalam menentukan fatwa hukum Islam.
Hadist merupakan segala hal yang disandarkan kepada nabi muhammad. Hadist dapat berupa perkataan nabi muhammad (yang disebut hadist qauliyyah), perbuatan nabi muhammad (yang disebut hadist fi'liyyah) atau diamnya nabi muhammad terhadap suatu perkara (yang disebut hadist taqririyyah).
Para ulama sepakat bahwa hukum mengingkari hadist adalah haram. Hal ini sama saja dengan mengingkari ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Sehingga seseorang yang melakukan perbuatan ini akan mendapatkan dosa dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT berikut ini:
“Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S Al-Baqarah:39)
Selain itu, sikap mengingkari hadits juga bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW. Dalam sebuah riwayat, beliau bersabda:
“Semoga Allah memberikan nudhrah (cahaya di wajah) kepada orang yang mendengarkan sabdaku lalu ia memahaminya, menghafalnya, dan menyampaikan-nya. Berapa banyak orang yang membawa ilmu agama kepada orang yang lebih paham darinya. Ada tiga perkara yang tidak akan dengki hati Muslim dengannya: mengikhlaskan amal karena Allah, menasihati pemimpin kaum muslimin, dan berpegang kepada jamaah mereka karena doa mereka meliputi dari belakang mereka.”
Advertisement
Mengenal Hadist
Hadist disebut juga dengan sunnah yang berarti perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam. Hadist dijadikan sumber hukum Islam selain al-Qur'an, dalam hal ini kedudukan hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an. Dan keduanya tidak dapat dipisahkan; karena juga termasuk wahyu dari Tuhan (Allah SWT).
Secara etimologi, hadist dalam bahasa Arab memiliki arti "berbicara", "perkataan" atau "percakapan". Dalam terminologi Islam istilah hadist berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad.
Dikutip dari laman Kemenag, hadist adalah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.
Hadits Qauliyah (ucapan) yaitu hadits Rasulullah SAW, yang diucapkannya dalam berbagai tujuan dan persuaian (situasi). Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti pekerjaan melakukan salat lima waktu dengan tata cara dan rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah haji dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak penuduh.
Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu.
Fungsi Hadist
Melansir dari laman Kemenag, fungsi hadist yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 64 yang memiliki arti:
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.”
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut :
a. Menguatkan dan mengaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an. Umpanya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 110 yang artinya:
“Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat “ ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi yang artinya:
“Islam itu didirikan dengan lima pondasi, yakni kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT dan muhammad adalah Rasulullah, mendirikan salat, menunaikan zakat.”
b. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal:
- Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an.
- Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
- Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum.
- Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an.
c. Menetapkan suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan sendiri hukumyang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut itsbat. Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan hadits itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi. Larangan Nabi ini menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai hukum baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi jika dipahami lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan terhadap larangan Al-Qur’an yang melarang memakan sesuatu yang kotor.
Advertisement