Sukses

Akad Mudharabah adalah Kerjasama Usaha Dua Pihak, Ini Contoh dan Landasan Hukumnya

Akad Mudharabah adalah bentuk usaha dua pihak sebagaimana investasi dilakukan.

Liputan6.com, Jakarta - Akad Mudharabah adalah salah satu jenis akad dalam sistem keuangan syariah yang memungkinkan terjadinya kerjasama antara dua pihak, yaitu pihak pemilik modal (shahibul maal) dan pihak pengelola modal (mudharib).

Contoh akad Mudharabah, pihak pemilik modal memberikan modal kepada pihak pengelola modal untuk diinvestasikan dalam sebuah proyek bisnis atau usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. Pihak pengelola modal bertindak sebagai pengelola dan pelaksana proyek, sedangkan pihak pemilik modal hanya sebagai investor.

Dalam akad Mudharabah, pembagian keuntungan dan kerugian antara kedua pihak ditentukan berdasarkan kesepakatan awal. Pihak pengelola modal akan menerima bagian dari keuntungan yang dihasilkan dari investasi yang dilakukan. Sedangkan pihak pemilik modal hanya akan menerima sebagian keuntungan yang telah disepakati pada awal perjanjian.

Namun, apabila terjadi kerugian, maka pihak pemilik modal akan menanggung seluruh kerugian yang terjadi, sedangkan pihak pengelola modal tidak akan mendapatkan bagian keuntungan. Simak penjelasan lengkapnya.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang akad Mudharabah dan landasan hukumnya, Rabu (10/5/2023).

2 dari 3 halaman

Kerjasama Usaha Dua Pihak

Mudharabah adalah istilah yang berasal dari kata dharaba yang memiliki arti memukul atau berjalan. Universitas Islam Negeri atau UIN Walisongo, menjelaskan akad Mudharabah adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya, dan penabung disebut mudharib.

Sebagaimana enterpreneur, mudharib melakukan perjalanan untuk mencari karunia Allah dari keuntungan investasinya.

Akad Mudharabah adalah kerjasama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal, dan pihak lainnya menjadi pengelola. Dalam akad ini, keuntungan usaha dibagi sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak.

Namun, jika terjadi kerugian, pemilik modal dalam akad Mudharabah yang akan menanggungnya selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian pengelola.

Apabila terjadi kerugian karena kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Akan tetapi, jika kerugian terjadi karena proses normal dari usaha, pemilik modal akan menanggung seluruh kerugian, dan pengelola kehilangan tenaga keahlian yang telah dicurahkan.

Akuntansi Universitas Muhammadiyah Malang atau UMM, menerangkan bahwa akad Mudharabah adalah akad pembiayaan yang paling berisiko karena tidak mewajibkan mudharib mengembalikan pokok pembiayaan.

Saat ini, akad Mudharabah musytarakah menjadi jenis Mudharabah yang banyak digunakan dalam lembaga keuangan syariah. Pada akad ini, pengelola dana juga menyertakan dananya dalam investasi bersama dengan pemilik dana musyarakah.

Pembagian hasil usaha antara pengelola dana dan pemilik dana dalam akad Mudharabah adalah dilakukan sesuai porsi dana yang disetorkan. Hasil usaha dikurangi porsi pemilik dana sebagai pemilik dana musyarakah. Akad ini banyak digunakan oleh bank syariah karena tidak mendanai perusahaan baru yang baru berdiri.

Akad Mudharabah memang memiliki risiko yang tinggi, namun dapat memberikan keuntungan yang cukup besar jika dikelola dengan baik.

PSAK 102 adalah standar akuntansi yang mengatur tentang pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan akad murabahah. Standar ini berlaku bagi lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah yang melakukan akad murabahah, baik sebagai penjual maupun pembeli.

Hukum PSAK 102 juga berlaku bagi pihak yang melakukan akad murabahah dengan lembaga atau koperasi syariah tersebut. Dalam PSAK 102, dijelaskan secara detail tentang bagaimana pengakuan dan pengukuran akad murabahah serta pengungkapan informasi yang diperlukan agar transaksi tersebut dapat dilakukan secara transparan dan akuntabel.

UIN Walisongo menjelaskan ada tiga landasan hukum akad Mudharabah, yakni Al-Qur’an, hadis, dan ijma. Ini penjelasan dari landasan hukum akad Mudharabah yang dimaksudkan:

3 dari 3 halaman

1. Al-Qur’an

Akad Mudharabah dalam Islam diizinkan dengan tujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dan orang yang memiliki keahlian dalam mengelola usaha atau dagang.

“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah.” (QS. Muzammil ayat 20).

Pada akad ini, pemilik modal memberikan modal dan orang yang ahli dalam memutarkan usaha atau dagang mengelola modal tersebut. Keuntungan dari usaha tersebut kemudian dibagi sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya antara kedua belah pihak.

“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. al-Jumuah ayat 10)

2. Hadis

Landasan hukum akad Mudharabah dalam Islam adalah berdasarkan hadis nabi sebagai berikut. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib:

“Jika memberikan dana ke mitra usahanya secara Mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, munuruni lembah yang berbahaya atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggungjawab atas dana tersebut. Disampaikan syarat-syarat tersebut kepada Rasullullah SAW dan Rasullullah pun membolehkannya.” (HR.Thabrani)

Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasullullah SAW bersabda:

“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (Mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majjah)

3. Ijma

Praktik Mudharabah telah ada sejak masa jahiliyah dan masih diperbolehkan dalam Islam. Ibnu Hajar menyatakan bahwa praktek Mudharabah telah ada pada masa Nabi SAW dan beliau mengetahuinya serta mengakui keberadaannya.

“Yang kita pastikan adalah bahwa Mudharabah telah ada pada masa Nabi SAW. Beliau mengetahui dan mengakuinya. Seandainya tidak demikian, niscaya ia sama sekali tidak boleh.”

Para sahabat juga melakukan akad Mudharabah dengan memberikan harta anak yatim sebagai modal kepada pihak lain. Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa para sahabat menolak atau mempertanyakan praktik Mudharabah tersebut. Oleh karena itu, praktik Mudharabah dapat dijadikan sebagai ijma atau kesepakatan umat Islam.