Sukses

Hukum Melakukan Pungli yang Wajib Diketahui, Kenali Penyebab dan Contohnya

Hukum melakukan pungli diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTKP).

Liputan6.com, Jakarta Pungutan liar atau pungli adalah praktik tidak etis dan ilegal, di mana seseorang meminta uang dari orang lain sebagai imbalan, atas layanan atau hak yang seharusnya diberikan secara gratis atau dengan biaya tetap. 

Hukum melakukan pungli di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTKP). Menurut Pasal 12 ayat 1 UU PTKP, setiap pegawai negeri atau pihak swasta yang melakukan pungutan liar, dapat dijerat dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Selain itu, hukum melakukan pungli juga terdapat di Pasal 13 UU PTKP yang menyatakan bahwa setiap orang yang memberikan, atau menjanjikan uang atau barang kepada pihak yang melakukan pungutan liar, juga dapat dijerat dengan pidana penjara paling lama 5 tahun, dan denda paling banyak Rp250 juta.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) merupakan pengadilan yang memiliki kewenangan, untuk mengadili tindak pidana korupsi, termasuk tindak pidana pungutan liar. Namun, meskipun ada hukum yang melarang pungutan liar, praktik ini masih terjadi di banyak sektor dan bidang di Indonesia. Berikut ini  hukum melakukan pungli dan penyebabnya yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (12/5/2023).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Penyebab

Ketidakpuasan atas Gaji atau Penghasilan

Salah satu penyebab utama terjadinya praktik pungli, adalah ketidakpuasan atas gaji atau penghasilan yang diterima oleh pejabat atau pegawai publik. Sejumlah pejabat atau pegawai publik merasa bahwa gaji yang mereka terima tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka, sehingga mereka tergoda untuk mencari sumber penghasilan tambahan melalui praktik pungli. Dalam hal ini, upaya untuk meningkatkan penghasilan melalui pungli bisa menjadi cara yang mudah dan cepat. Meskipun tindakan tersebut melanggar hukum dan berisiko kehilangan pekerjaan, beberapa orang masih merasa hal itu wajar karena mereka telah membantu memfasilitasi sesuatu, atau menyelesaikan masalah bagi orang yang meminta bantuan.

Kultur Nepotisme dan Koneksi

Kultur nepotisme dan koneksi di lingkungan birokrasi, menjadi faktor penting dalam terjadinya praktik pungli. Hal ini karena orang yang memiliki koneksi atau jaringan yang luas di lingkungan birokrasi, dapat memanfaatkan posisi atau jabatannya untuk mengambil keuntungan pribadi, termasuk melalui pungli. Ketika sebuah sistem membiarkan orang untuk memanfaatkan posisi atau jabatan mereka untuk kepentingan pribadi, maka hal tersebut akan menjadi sangat mudah dilakukan. Sistem yang tidak menghargai meritokrasi atau kemampuan yang sebenarnya, juga akan menghasilkan orang yang tidak berkualitas dan tidak profesional menduduki posisi atau jabatan yang penting.

Tidak Adanya Sanksi yang Tegas

Tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelaku praktik pungli, dapat memicu terjadinya praktik tersebut. Jika pelaku merasa bahwa tindakan mereka tidak akan dihukum atau dijatuhi sanksi yang berat, maka peluang terjadinya praktik pungli akan semakin besar.Sebagian besar pelaku pungli adalah orang yang memiliki jabatan atau posisi yang cukup tinggi. Mereka berpikir bahwa mereka akan lolos dari hukuman karena pengaruh atau koneksi yang dimilikinya. Hal ini juga dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat pada sistem hukum dan negara.

Kurangnya Kesadaran Masyarakat

Kurangnya kesadaran masyarakat mengenai hak-haknya, serta cara-cara melapor jika menjadi korban pungli juga menjadi faktor penyebab terjadinya praktik pungli. Masyarakat yang tidak mengetahui hak-haknya cenderung lebih mudah menjadi korban praktik pungli. Kurangnya edukasi atau informasi yang diberikan kepada masyarakat, tentang bagaimana cara melawan praktik pungli menjadi salah satu penyebab rendahnya kesadaran masyarakat dalam hal ini. Masyarakat yang merasa takut atau tidak tahu cara melapor atau meminta bantuan, akan lebih mudah menjadi korban pungli. 

Budaya yang Menyokong Praktik Pungli

Beberapa masyarakat dan budaya, memiliki pandangan yang menyokong praktik pungli sebagai hal yang wajar dalam melakukan bisnis atau mengurus urusan pemerintah. Dalam budaya seperti ini, praktik pungli seringkali dianggap sebagai cara yang efektif, untuk mendapatkan layanan yang diinginkan terlepas dari kualitas layanan yang diberikan. Budaya seperti ini akan sulit diubah, tanpa perubahan pola pikir dan tindakan dari pemerintah dan masyarakat. Kebijakan yang transparan, sanksi yang tegas dan kampanye sosialisasi akan menjadi kunci dalam mengubah budaya yang menyokong praktik pungli.

Sistem Pemerintahan yang Kurang Transparan

Sistem pemerintahan yang kurang transparan, juga menjadi faktor penyebab praktik pungli. Ketika proses pengambilan keputusan dan pengelolaan dana publik tidak dilakukan secara transparan dan terbuka, maka hal itu akan memberikan peluang bagi oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan praktik pungli. Pemerintah yang transparan dan akuntabel, akan memudahkan masyarakat untuk memonitor dan mengawasi tindakan pemerintah. Hal ini juga dapat mengurangi peluang terjadinya praktik pungli, karena para pelaku akan lebih berhati-hati dalam melanggar hukum.

3 dari 4 halaman

Contoh Tindakan

Pungli di Kepolisian

Tindakan pungli di kepolisian merupakan salah satu bentuk pungutan liar, yang sering terjadi di Indonesia. Pungli di kepolisian dapat terjadi pada saat pengurusan surat-surat kendaraan bermotor, atau pada saat pendaftaran polisi milik. Pelaku pungli biasanya adalah oknum polisi atau calo yang berkedok petugas kepolisian. Mereka meminta uang kepada masyarakat untuk mempercepat proses pengurusan, atau untuk menghindari peraturan tertentu. Akibatnya, masyarakat yang membutuhkan layanan kepolisian terpaksa harus membayar uang tambahan untuk mendapatkan layanan, yang seharusnya sudah menjadi hak mereka.

Pungli di Sekolah

Pungli di sekolah juga merupakan salah satu bentuk pungutan liar yang sering terjadi di Indonesia. Tindakan pungli di sekolah sering terjadi pada saat pendaftaran siswa baru atau pengambilan rapor. Pelaku pungli biasanya adalah oknum guru atau petugas sekolah, yang meminta uang kepada orangtua siswa agar anak mereka bisa diterima di sekolah tertentu atau mendapatkan nilai yang baik. Akibatnya, orangtua siswa terpaksa membayar uang tambahan, untuk memastikan anak mereka dapat bersekolah di sekolah yang diinginkan atau agar mendapatkan nilai yang baik.

Pungli di Rumah Sakit

Tindakan pungli di rumah sakit sering terjadi pada saat pasien mengurus administrasi, untuk masuk rumah sakit atau pada saat pengambilan obat. Pelaku pungli biasanya adalah oknum pegawai rumah sakit atau calo yang berkedok petugas rumah sakit. Mereka meminta uang kepada pasien, untuk mempercepat proses administrasi atau untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik. Akibatnya, pasien atau keluarga pasien terpaksa membayar uang tambahan, untuk mempercepat proses administrasi atau mendapatkan pelayanan yang lebih baik.

Pungli di Pemerintahan Daerah

Tindakan pungli di pemerintahan daerah sering terjadi pada saat pengurusan izin usaha atau proyek pembangunan. Pelaku pungli biasanya adalah oknum pegawai pemerintahan daerah, atau calo yang berkedok petugas pemerintahan daerah. Mereka meminta uang kepada pengusaha atau kontraktor, agar proses pengurusan lebih mudah atau proyek tersebut bisa dikerjakan. Akibatnya, pengusaha atau kontraktor terpaksa membayar uang tambahan untuk memastikan proyek tersebut bisa dikerjakan atau pengurusan izin usaha bisa selesai. 

Pungli di Pelayanan Publik

Tindakan pungli di pelayanan publik sering terjadi, adalah pada saat masyarakat mengurus administrasi kependudukan, kesehatan, atau keuangan. Pelaku pungli bisa saja adalah oknum pegawai pemerintah atau swasta, yang berkedok petugas pelayanan publik. Mereka meminta uang kepada masyarakat agar proses pengurusan bisa lebih cepat, atau agar bisa mendapatkan pelayanan yang lebih baik. Akibatnya, masyarakat terpaksa membayar uang tambahan, agar bisa mendapatkan pelayanan yang seharusnya sudah menjadi hak mereka.

4 dari 4 halaman

Perbedaan Suap dan Pungli

1. Definisi

Suap adalah tindakan memberikan atau menerima sesuatu yang berharga dalam bentuk uang, barang, atau jasa dengan tujuan mempengaruhi seseorang untuk melakukan, atau tidak melakukan sesuatu yang melanggar hukum atau etika. Dalam konteks hukum, suap dianggap sebagai bentuk tindakan korupsi yang melanggar ketentuan hukum dan etika. Penerima suap dianggap telah melanggar kode etik, dan/atau hukum dalam melaksanakan tugasnya, sedangkan pemberi suap dianggap telah merusak tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.

Pungli adalah tindakan meminta atau menerima suatu pungutan, atau gratifikasi yang tidak seharusnya diberikan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, pengurusan kepentingan, atau pelayanan publik. Dalam hal ini, pungli sering terjadi di lembaga pemerintahan yang memiliki kewenangan untuk memberikan layanan publik. Penerima pungli meminta sejumlah uang dari masyarakat, untuk mempermudah proses atau mendapatkan layanan yang seharusnya sudah menjadi hak mereka. Penerima pungli ini biasanya mengambil keuntungan dari kedudukannya, sebagai pejabat publik atau petugas layanan publik.

2. Subjek Pelaku

Suap melibatkan minimal dua orang, yaitu pemberi suap dan penerima suap. Suap seringkali dilakukan secara tertutup dan rahasia, sehingga sulit untuk diungkapkan dan dibuktikan. Pemberi suap biasanya adalah pihak swasta atau individu yang ingin memperoleh keuntungan, atau mempengaruhi keputusan yang menguntungkan mereka. Penerima suap biasanya adalah pejabat publik atau petugas pemerintah,  yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atau memberikan layanan publik. Sedangkan pungli melibatkan minimal satu orang, yaitu penerima pungli. Penerima pungli adalah pejabat publik atau petugas layanan publik, yang meminta sejumlah uang dari masyarakat untuk mempermudah proses atau mendapatkan layanan yang seharusnya sudah menjadi hak mereka. 

3. Cara Pelaksanaan

Suap biasanya dilakukan secara tertutup dan rahasia, antara pemberi suap dan penerima suap. Suap seringkali dilakukan melalui tindakan pengalihan uang, atau pemberian hadiah secara sembunyi-sembunyi. Suap juga bisa dilakukan melalui janji-janji atau iming-iming yang diucapkan oleh pemberi suap kepada penerima suap. Sedangkan pungli bisa dilakukan secara terbuka atau tertutup. Pungli yang dilakukan secara terbuka bisa terjadi, ketika masyarakat harus membayar sejumlah uang kepada petugas pelayanan publik agar bisa mendapatkan layanan yang seharusnya sudah menjadi hak mereka. Pungli juga bisa dilakukan secara tertutup, yaitu ketika penerima pungli meminta uang secara diam-diam dari masyarakat, untuk mempermudah proses atau mendapatkan layanan yang seharusnya sudah menjadi hak mereka.

4. Sanksi Hukum

Suap dan pungli merupakan tindakan yang dilarang oleh undang-undang dan melanggar hukum. Baik pemberi suap maupun penerima suap dapat dijerat dengan sanksi pidana yang berat, termasuk denda dan/atau hukuman penjara. Dalam konteks pungli, penerima pungli dapat dijerat dengan sanksi pidana yang sama, yaitu denda dan/atau hukuman penjara. Namun, pemberi pungli tidak selalu dijerat dengan sanksi pidana, tetapi biasanya hanya dikenai sanksi administratif atau denda.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.