Liputan6.com, Jakarta Arab Spring adalah sebuah serangkaian gerakan anti-pemerintah, di mana terdapat aksi protes, pemberontakan, dan pemberontakan bersenjata, yang menyebar di Jazirah Arab hingga di Afrika Utara pada awal 2010-an.
Arab Spring dimulai dengan aksi protes yang terjadi di Tunisia dan Mesir, yang berupaya untuk menggulingkan pemerintah yang berkuasa. Aki itu pun menginspirasi negara-negara di sekitarnya untuk melakukan aksi yang sama.
Adapun keinginan untuk menggulingkan pemerintah yang berkuasa pada masa itu dilatarbelakangi oleh sikap pemerintah sendiri yang dinilai abai dan selalu melakukan tindakan represif ketika masyarakat melakukan unjuk rasa terkait masalah politik, sosial, dan ekonomi.
Advertisement
Aksi pretes yang dimulai di Tunisia dan Mesir itu pun akhirnya meluas dan memicu revolusi di negara-negara sekitarnya seperti Revolusi Melati (Tunisia), Pemberontakan Mesir 2011, Pemberontakan Yaman 2011–12, Pemberontakan Libya 2011, dan Perang Saudara Suriah.
Untuk lebih memahami apa yang terjadi tentang Arab Spring, berikut penjelasan selengkapnya seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Santu (13/5/2023).
Asal Mula Istilah Arab Spring
Arab Spring adalah serangkaian aksi protes yang menyebar luas di negara-negara Arab, yang pada akhirnya mengakibatkan perubahan rezim di negara-negara seperti Tunisia, Mesir, dan Libya.
Tujuan dari aksi Arab Spring ini adalah untuk meningkatkan demokrasi dan kebebasan berpendapat di negara-negara Arab. Meski Arab Spring sendiri secara umum dapat mengakibatkan pergantian rezim di sejumlah negara, akan tetapi tidak setiap negara berhasil mencapai tujuan dalam hal peningkatan demokrasi.
Tentu bukan tanpa alasan mengapa gerakan atau kelompok ini disebut sebagai Arab Spring. Nama "Arab Spring" sebenarnya merujuk pada Revolusi yang terjadi 1848 ketika pergolakan politik melanda Eropa. Revolusi tersebut dikenal sebagai People's Spring atau Musim Semi Rakyat.
Sejak saat itu, "Spring" digunakan untuk menggambarkan gerakan menuju demokrasi seperti "Prague Spring" Cekoslowakia pada tahun 1968 .” Media Barat kemudian mempopulerkan istilah “Arab Spring” pada tahun 2011 ketika aksi protes di sejumlah negara Arab terjadi.
Advertisement
Revolusi Melati Tunisia
Gerakan aksi protes Arab Spring ini dimulai oleh suatu gerakan di Tunisia yang kemudian lebih dikenal sebagai Revolusi Melati Tunisia. Revolusi ini dipicu oleh Mohamed Bouazizi, seorang pedagang kaki lima berusia 26 tahun yang melakukan aksi bakar diri, sebagai bentuk protes terhadap sikap pejabat setempat. Sejak saat itu, sebuah gerakan protes yang disebut oleh media sebagai Revolusi Melati, dengan cepat menyebar ke seluruh negeri.
Pemerintah Tunisia pun berusaha untuk mengakhiri kerusuhan dengan tindakan represif terhadap para demonstran yang memenuhi jalan. Selain itu, mereka juga menawarkan konsesi politik dan ekonomi.
Namun, banyaknya demonstran membuat aparat keamanan merasa kewalahan, hingga memaksa Presiden Zine al-Abidine Ben Ali mundur dan melarikan diri dari negara itu pada 14 Januari 2011.
Pada Oktober 2011, warga Tunisia berpartisipasi dalam pemilihan umum untuk memilih anggota dewan yang bertugas menyusun konstitusi baru. Seorang presiden dan perdana menteri yang dipilih secara demokratis mulai menjabat pada Desember 2011, dan sebuah konstitusi baru diumumkan pada Januari 2014. Pada Oktober–November 2019, Tunisia menjadi negara pertama dalam serangkaian aksi Arab Spring, yang menjalani pemindahan kekuasaan secara damai.
Revolusi 25 Januari Mesir
Terinspirasi dari Revolusi Melati di Tunisia, aksi protes serupa mulai berkembang di kalangan anak muda di Mesir. Mereka mengorganisasi aksi protes tersebut melalui sosial media. Kemudian pada 25 Januari 2011, massa dalam jumlah besar melakukan aksi protes dan aksi demonstrasi besar-besaran.
Massa yang berjumlah besar dan tersebar di seluruh negeri ini pun membuat aparat keamanan Mesir merasa kewalahan. Hingga pada akhirnya setelah demonstrasi yang terjadi selama beberapa hari, dan serangkaian bentrokan yang terjadi di beberapa kota di Mesir, militer Mesir akhirnya mengumumkan bahwa mereka akan menolak untuk menggunakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa yang menyerukan pencopotan Presiden Husni Mubarok.
Setelah kehilangan dukungan militer, Mubarok meninggalkan jabatannya pada 11 Februari setelah berkuasa hampir 30 tahun. Dia menyerahkan kekuasaan kepada dewan perwira militer senior. Militer menikmati persetujuan publik yang tinggi untuk sementara sebelum pemerintahan baru.
Advertisement
Arab Spring di Yaman
Kesuksesan aksi protes di Tunisia dan Mesir yang berhasil menggulingkan rezim yang berkuasa, memicu gerakan protes serupa di Yaman, Bahrain, Libya, dan Suriah pada akhir Januari, Februari, dan Maret 2011.
Hanya saja, aksi protes berikutnya ini tidak mengalami kesuksesan sebagaimana yang terjadi di Tunisia dan Mesir. Sebagian besar justru malah berujung pada pertumpahan darah antara kelompok oposisi dan rezim yang berkuasa.
Di Yaman, aksi protes pertama kali muncul pada akhir Januari 2011 untuk menuntut Presiden Ali Abdullah Saleh untuk turun dari jabatannya. Sempat terjadi negosiasi antara penguasa dan oposisi, namun gagal dan malah terjadi bentrok.
Akibat bentrokan tersebut Presiden Saleh pun terpaksa meninggalkan Yaman untuk mendapatkan perawatan medis, karena luka yang diakibatkan oleh serangan bom. Saleh tiba-tiba kembali ke negara itu empat bulan kemudian, menambah ketidakpastian dan kebingungan tentang masa depan politik Yaman.
Pada November 2011 Saleh menandatangani perjanjian yang dimediasi secara internasional yang menyerukan pengalihan kekuasaan secara bertahap kepada wakil presiden, Abd Rabbuh Mansur Hadi. Sesuai dengan kesepakatan, Hadi segera mengambil alih tanggung jawab pemerintahan dan secara resmi menjabat sebagai presiden setelah mencalonkan diri sebagai calon tunggal dalam pemilihan presiden pada Februari 2012.
Namun, karena tidak dapat memperbaiki kondisi atau menjaga stabilitas, pemerintahan Hadi menghadapi konfrontasi dan pemberontakan bersenjata yang pada tahun 2014 berubah menjadi perang saudara.
Arab Spring di Bahrain
Arab Spring kemudian berlanjut ke Bahrain. Protes massal yang menuntut reformasi politik dan ekonomi meletus di Bahrain pada pertengahan Februari 2011, Aksi protes itu dipimpin oleh aktivis hak asasi manusia Bahrain dan anggota mayoritas Syiah yang terpinggirkan di Bahrain.
Aki tersebut mendapat tindakan represif dari pasukan keamanan Bahrain, dibantu oleh pasukan keamanan Dewan Kerjasama Teluk (terdiri dari sekitar 1.000 tentara dari Arab Saudi dan 500 petugas polisi dari Uni Emirat Arab) yang memasuki negara itu pada bulan Maret.
Pada akhir bulan, gerakan protes massa telah dilumpuhkan. Sebagai buntut dari protes, puluhan pemimpin aksi protes tersebut dihukum karena aktivitas antipemerintah dan dipenjarakan. Sementara itu, ratusan pekerja Syiah yang diduga mendukung aksi protes itu dipecat, dan puluhan masjid Syiah dihancurkan oleh pemerintah.
Pada November 2011, hasil penyelidikan menyimpulkan bahwa pemerintah telah menggunakan kekerasan dan penyiksaan yang berlebihan terhadap pengunjuk rasa. Pemerintah melaksanakan beberapa rekomendasi komisi untuk reformasi tetapi lebih menekan kelompok oposisi di tahun-tahun berikutnya.
Advertisement
Arab Spring di Libya
Gerakan Arab Spring juga terjadi di Libya. Di Libya protes terhadap rezim Muammar al-Qaddafi pada pertengahan Februari 2011 dengan cepat meningkat menjadi pemberontakan bersenjata. Ketika pasukan pemberontak tampaknya berada di ambang kekalahan pada bulan Maret, sebuah koalisi internasional yang dipimpin oleh NATO meluncurkan kampanye serangan udara yang menargetkan pasukan Gaddafi.
Meski demikian, Qaddafi mampu mempertahankan kekuasaan di ibu kota, Tripoli, selama beberapa bulan. Setelah pasukan pemberontak menguasai Tripoli, Gaddafi kemudian terbunuh di Sirte pada Oktober 2011 saat pasukan pemberontak menguasai kota. Dewan Transisi Nasional, yang dibentuk oleh pasukan pemberontak dan diakui secara internasional, mengambil alih kekuasaan, tetapi perjuangannya untuk menggunakan otoritas atas negara memicu pecahnya perang saudara pada tahun 2014.
Arab Spring di Suriah
Dampak Arab Spring juga sampai di Suriah. Aksi protes besar-besaran juga terjadi di Suriah untuk menuntut Presiden Bashar al-Assad untuk mengundurkan diri. Aksi protes tersebut terjadi pada Maret 2011 dan menyebar ke seluruh negeri.
Rezim Assad menanggapi aksi protes tersebut dengan penumpasan brutal terhadap pengunjuk rasa. Hal itu jelas menuai kecaman dari para pemimpin internasional dan kelompok hak asasi manusia.
Sebuah dewan kepemimpinan untuk oposisi Suriah kemudian dibentuk di Istanbul pada bulan Agustus, dan milisi oposisi mulai melancarkan serangan terhadap pasukan pemerintah.
Akhirnya kelompok oposisi dan penguasa terlibat bentrok. bentrokan di antara keduanya semakin parah, apalagi setelah disuapi oleh dana dan senjata dari beberapa negara saingan yang tertarik dengan hasil dari situasi tersebut, memuncak dalam perang saudara yang menghancurkan dan krisis pengungsi besar-besaran yang mempengaruhi jutaan orang.