Sukses

Cancel Culture adalah Fenomena Menghukum Pelanggar Norma, Ketahui Dampaknya

Cancel culture adalah fenomena sosial yang melibatkan hukuman atau boikot.

Liputan6.com, Jakarta - Cancel culture adalah fenomena sosial yang melibatkan hukuman atau boikot terhadap individu, merek, acara, atau produk yang dianggap melanggar norma sosial atau nilai-nilai masyarakat. Ketika seseorang atau sesuatu menjadi target cancel culture, mereka dapat mengalami penurunan dukungan publik, penarikan sponsor, dan bahkan penghentian kontrak kerja.

Fenomena cancel culture ini sering kali terjadi dalam ranah hiburan, politik, dan dunia digital. Dalam cancel culture, umumnya masyarakat menggunakan kekuatan media sosial dan platform digital lain untuk mengekspresikan ketidaksetujuan mereka terhadap individu atau entitas yang mereka anggap melanggar norma.

Boikot atau penolakan publik ini bertujuan untuk memberikan sanksi sosial kepada pelaku yang melanggar norma, dengan harapan mereka akan belajar dari kesalahannya atau menghadapi konsekuensi yang serius. Cancel culture mencerminkan dinamika kekuasaan dalam masyarakat modern, di mana individu dan kelompok memiliki kemampuan secara kolektif mempengaruhi reputasi dan karier orang lain melalui media sosial.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang fenomena cancel culture dan dampaknya, Selasa (16/5/2023).

2 dari 3 halaman

Boikot Pelanggar Norma

Cancel culture adalah fenomena sosial untuk menolak individu, merek, acara, dan film, seperti yang dilaporkan oleh The New York Post. Menurut profesor sosiologi dan kriminologi di Universitas Villanova, Dr. Jill McCorkel, cancel culture adalah fenomena ketika masyarakat menghukum seseorang karena perilaku yang dianggap melanggar norma sosial yang berlaku.

Dr. McCorkel menjelaskan bahwa cancel culture adalah perpanjangan atau evolusi dari serangkaian proses sosial yang lebih berani, yang terlihat dalam bentuk pengusiran dan bertujuan untuk memperkuat seperangkat norma.

Menurut Vox, istilah cancel culture dalam dunia hiburan mulai dikenal sejak tahun 1991 melalui film New Jack City yang menggunakan lelucon misoginis. Dalam adegan tertentu film tersebut, seorang karakter preman bernama Nino Brown mengatakan "Cancel that bitch. I will buy another one," yang merujuk pada pacarnya yang terlibat dalam tindakan kekerasan. Dari sinilah istilah cancel culture mulai tersebar luas di industri hiburan.

Cancel culture adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat untuk mengungkapkan sikap mereka terhadap individu yang melanggar norma dan nilai-nilai sosial serta hukum. Ungkapan ini biasanya dilakukan melalui boikot terhadap individu tersebut.

Istilah cancel culture juga lebih sering digunakan untuk memboikot selebriti, perusahaan, dan politikus, yang memaksa mereka untuk mundur dari pekerjaan mereka.

Meski sebenarnya, terdapat banyak perdebatan mengenai makna sebenarnya dari cancel culture, termasuk apakah itu merupakan cara untuk meminta pertanggungjawaban individu atau taktik untuk menghukum orang lain, atau bahkan keduanya secara bersamaan.

Dilaporkan dalam Jurnal Communication and the Public, cancel culture adalah fenomena yang dapat ditemukan dalam konsep Habermas tentang ruang publik yang memandang wacana publik sebagai ranah elit. Cancel culture muncul dari bentuk wacana publik, baik di dunia daring (online seperti media sosial) maupun di dunia nyata.

3 dari 3 halaman

Dampaknya

Meredith D. Clark dari University of Virginia menjelaskan dalam jurnalnya yang berjudul DRAG THEM: A Brief Etymology of So-Called 'Cancel Culture bahwa istilah 'canceling' digunakan untuk mengalihkan perhatian seseorang dari individu atau hal yang dianggap menyakitkan karena tindakan atau ucapan yang sangat menyinggung.

Akibatnya, orang-orang enggan memberikan dukungan mereka dalam bentuk kehadiran, waktu, dan uang kepada mereka.

Dampak cancel culture di Korea Selatan dapat dirasakan dengan kuat dalam industri hiburan. Para selebritas di Korea Selatan sering kali menjadi target cancel culture ketika terungkap atau diduga melakukan tindakan yang tidak dapat diterima oleh masyarakat, seperti melakukan kekerasan fisik atau perilaku yang tidak pantas.

Konsekuensi yang dirasakan sebagaimana Liputan6.com lansir dari berbagai sumber, ada penurunan drastis dalam kategori popularitas dan dukungan publik bagi selebritas yang terkena dampak cancel culture.

Mereka bisa kehilangan kontrak iklan, peran dalam drama atau film, dan bahkan dipecat oleh agensi mereka. Cancel culture juga dapat mempengaruhi mental dan kesejahteraan individu yang terkena dampak, karena mereka mengalami tekanan dan penolakan yang kuat dari masyarakat.

Dalam tahun 2020, dampak budaya cancel culture terasa signifikan. Menurut Cato Institute, sebanyak 62 persen masyarakat Amerika Serikat merasa takut untuk menyuarakan pendapat mereka karena takut kehilangan pekerjaan. Banyak yang menganggap cancel culture adalah budaya yang menakutkan.

Sebagai contoh, seorang psikolog sosial, John Drury menyatakan bahwa kelompok orang yang tidak sejalan dengan norma sosial sering kali digambarkan sebagai sesuatu yang menakutkan, dan hal ini menjadi pemicu dari fenomena cancel culture.

Cancel culture di Singapura, dampaknya juga dapat dirasakan dalam dunia hiburan dan politik. Dalam beberapa kasus, individu yang diduga melakukan tindakan yang tidak pantas atau melanggar norma sosial mendapat kecaman luas di media sosial dan dikecam oleh masyarakat.

Hasilnya, mereka berisiko mengalami penurunan popularitas, kehilangan kesempatan kerja, dan penolakan publik secara menyeluruh. Cancel culture juga mempengaruhi lingkungan politik, di mana politikus atau pejabat yang terlibat dalam skandal atau dituduh melakukan tindakan yang tidak etis bisa mendapat dan harus menghadapi serangan yang keras dari masyarakat dan tekanan untuk mundur dari jabatannya.

Maka dengan adanya cancel culture, individu dan institusi di Singapura harus lebih berhati-hati dengan tindakan dan ucapannya, karena akan ada konsekuensi yang serius serta memengaruhi reputasi dan karier mereka.