Liputan6.com, Jakarta Ki Bagus Hadikusumo merupakan salah seorang tokoh Muhammadiyah yang sangat terkenal. Ki Bagus Hadikusumo adalah ketua umum kelima pimpinan pusat Muhammadiyah dari tahun 1942 hingga 1953. Banyak orang mengenal Ki Bagus sebagai orang di balik penyusunan Pancasila, konstitusi, dan sebagai tokoh kunci dalam Badan Penyelidikan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).Â
Baca Juga
Advertisement
Namun banyak juga yang tidak tahu apa yang dilakukan Ki Bagus saat menjadi aktivis dan pimpinan Muhammadiyah. Muhammad Hisyam menyatakan dalam bukunya Terjebak di Antara Tiga Api, Pangulu Jawa Di Bawah Pemerintahan Kolonial Belanda 1882-1942 (2001) bahwa ketika KH. Ahmad Dahlan meninggal pada tahun 1923, Ki Bagus Hadikusumo menggantikan gurunya pada Dewan Pemuka Agama Hindia Belanda.Â
Keinginan utama Ki Bagus Hadikusumo saat itu adalah memperkuat posisi syariat Islam dan berusaha meningkatkan status syariat Islam di pemerintahan, sayangnya Ki Bagus harus kecewa karena rekomendasinya kepada pemerintah diabaikan. Meski gagal, sosok Ki Bagus Hadikusumo sebagai pelindung bangsa Indonesia agar Indonesia tidak menjadi teokrasi atau negara sekuler, masih dikenang hingga kini.
Untuk lebih mengenal sosok Ki Bagus Hadikusumo, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber biografi Ki Bagus Hadikusumo dan peran pentingnya dalam kemerdekaan Indonesia, pada Jumat (19/5/2023).
Biografi Singkat Ki Bagus Hadikusumo
Ki Bagus Hadikusumo merupakan seorang tokoh BPUPKI. Ia dilahirkan R. Hidayat di desa Kauman pada tanggal 11 Rabi'ul Akhir 1308 H atau 24 November 1890 dan meninggal pada 4 November 1954 pada umur 63 tahun di Jakarta. Ki Bagus adalah anak ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem (pejabat) muslim di kraton Yogyakarta.
Ki Bagus Hadikusumo mengenyam pendidikan sekolah umum (sekarang SD) dan pelajaran agama di pesantren tradisional Muslim Wonokromo di Yogyakarta. Pengetahuannya tentang sastra Jawa, Melayu dan Belanda berasal dari seorang bernama Ngabehi Sasrasoeganda, dan Ki Bagus juga belajar bahasa Inggris dari tokoh Ahmadiyah bernama Mirza Wali Ahmad Baig.
Selain itu, Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, Anggota MPM Komisi Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926), dan Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Ia juga aktif terlibat dalam pendirian klub judi bernama Stambul. Selain itu, bersama teman-temannya, ia mendirikan perkumpulan bernama Kauman Voetbal Club (KVC) yang kemudian dikenal dengan nama Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PSHW).
Pada tahun 1937, Mas Mansoer mengundang Ki Bagus menjadi Wakil Presiden PP Muhammadiyah. Ketika Jepang memaksa KH Mas Mansur menjadi presiden Putera (Pusat Rakyat) pada tahun 1942, Ki Bagus menggantikan posisi presiden umum yang ditinggalkannya. Posisi ini dipegang hingga tahun 1953.
Sebagai pimpinan Muhammadiyah ia pernah menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Ki Bagus Hadikusumo berperan sangat besar dalam penyusunan UUD Mukadimah 1945, meletakkan dasar ketuhanan, kemanusiaan, keadaban dan keadilan. Semua anggota PPKI menerima gagasan dasar pendirian basis-basis tersebut dalam Mukadimah UUD 1945.
Ki Bagus Hadikusumo juga aktif menulis esai, karyanya antara lain "Islam Sebagai Dasar Negara" dan "Achlaq Sang Pemimpin". Karya-karyanya yang lain antara lain Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941) dan Poestaka Iman (1954).
Advertisement
Peran Ki Bagus Hadikusumo dalam Kemerdekaan Indonesia
Ketika Ki Bagus Hadikusumo berusia 32 tahun pada tahun 1922, ia menjadi Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah dan empat tahun kemudian menjadi Ketua Majelis Tarjih dan anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Aktif di berbagai organisasi dan menjadi figur publik, ia, Soekarno dan Hatta pergi ke Tokyo pada Februari 1945 untuk membicarakan upaya kemerdekaan Indonesia dengan Kaisar Hirohito.
Pasca kemerdekaan Indonesia, Ki Bagus Hadikusumo juga dianggap sebagai salah satu pendiri Angkatan Perang Sabil (APS). Pasukan Militer Sabil dibentuk untuk menghalau serangan militer Belanda di Yogyakarta pada tanggal 21 Juli 1947. Pasukan Militer Sabil adalah markas mereka. di Masjid Taqwa di desa Suronatan dan didukung oleh beberapa ulama Muhammadiyah, seperti dalam buku Muhammadiyah 100 Tahun Cemerlang Negeri (2013).
Bagi Muhammadiyah sendiri, pengabdian utama Ki Bagus adalah mendukung dan mengembangkan Muhammadiyah di masa-masa sulit. Sebagai salah satu tokoh utama MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) yang dibubarkan oleh pemerintah Jepang, Ki Bagus mengubah tujuan Muhammadiyah agar sesuai dengan misi pemerintah.
Syarifuddin Jurdi menyatakan dalam Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006 (2010), bahwa Muhammadiyah melalui Ki Bagus Hadikusumo sejalan dengan keyakinan akan terciptanya kemakmuran bersama di Asia Raya di bawah kepemimpinan Dai Nippon, merumuskan tujuan sebagai berikut:
- Ingin mengajarkan agama Islam dan mengamalkan kehidupan sesuai dengan tuntunannya.
- Ingin melakukan pekerjaan perbaikan umum.
- Ingin memajukan ilmu dan kecerdasan serta akhlak yang baik di kalangan anggotanya.
Pemerintah militer Jepang juga memberikan izin pendirian Muhammadiyah agar Muhammadiyah dapat melanjutkan kegiatannya
Pemberian Gelar Pahlawan
Pada 5 November 2015, Presiden Joko Widodo memutuskan melalui Keputusan Presiden Nomor 116/TK/2015 untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Ki Bagus Hadikusumo setelah Muhammadiyah mendaftarkan usulan tersebut pada November 2012. Ki Bagus juga menerima Penghargaan Bintang Mahaputra dari mendiang Presiden Soeharto 19 tahun sebelumnya pada tahun 1993.
A.M. Fatwa Ketua Tim Penyerahan Gelar memberikan tiga alasan utama kenapa Ki Bagus Hadikusumo pantas menyandang gelar pahlawan. Pertama, Ki Bagus adalah seorang pahlawan yang mendorong kemerdekaan dan kedua, Ki Bagus tercatat sebagai salah satu pendiri Republik Indonesia. Ketiga, Ki Bagus memiliki visi kenegaraan. Kesuksesan Ki Bagus Hero Award bukan berarti generasi penerus enggan mempelajari karakter Ki Bagus Hadikusumo.Â
Memang, hambatan terbesar datang dari para pembaca sejarah yang menafsirkan desakan Ki Bagus untuk melestarikan tujuh kata Piagam Jakarta sebagai upaya untuk mendirikan negara Islam. Menanggapi hal tersebut, Gunawan Budiyanto, cucu Ki Bagus Hadikusumo menjelaskan, bahwa niat kakeknya untuk melestarikan tujuh kata Piagam Jakarta hanya semacam penekanan pada prinsip menjadikan Islam sebagai pedoman etik kepala negara tanpa niat mendirikan negara Islam.Â
Â
Â
Â
Advertisement