Sukses

Hukum Kurban untuk Orang yang Sudah Meninggal, Ini Pendapat Para Ulama

Berikut adalah perbedaan pendapat para ulama tentang hukum kurban untuk orang yang sudah meninggal.

Liputan6.com, Jakarta Hukum ibadah kurban adalah sunnah muakkad. Artinya ibadah kurban sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Rasulullah SAW pernah menjelaskan bahwa ibadah kurban bersifat wajib bagi beliau, tetapi sunnah bagi umatnya.

Dalam sebuah hadis riwayat At-Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda: "Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk berkurban, dan hal itu merupakan sunnah bagi kalian."

Namun demikian, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa hukum ibadah kurban adalah wajib. Hal ini didasarkan pada Surat Al Kautsar ayat 2 yang artinya:

“Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).”

Pendapat lain menyebutkan bahwa ibadah kurban adalah wajib bagi yang mampu, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda,

“Barang siapa yang mempunyai kemampuan, tetapi ia tidak berkurban maka janganlah ia mendekati (menghampiri) tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Mengingat bagaimana hukum kurban yang sangat dianjurkan bahkan ada yang berpendapat hukumnya wajib, tentu penting bagi kita untuk menjalankan ibadah tersebut. Lalu bagaimana jika kurban dilaksanakan untuk orang lain, misalnya untuk orang tua yang sudah meninggal?

Berikut penjelasan selengkapnya seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Jumat (2/6/2023).

2 dari 5 halaman

Pendapat yang Mengatakan Kurban untuk Orang yang Sudah Meninggal Tidak Sah

Ada perbedaan pendapat di antara para ulama terkait hukum kurban untuk orang yang telah meninggal. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa hukum kurban untuk orang yang telah meninggal adalah tidak sah. Pendapat ini berdasarkan mazhab syafi'i yang menjelaskan bahwa tidak adanya dalil yang menjadi dasar bahwa ibadah kurban dapat dikerjakan atau diwakilkan oleh orang lain. Karena itu, disimpulkan bahwa hukum dari kurban untuk orang yang sudah meninggal adalah tidak sah.

Alasan yang mendasari bahwa hukum kurban untuk orang yang sudah meninggal tidak sah karena ibadah kurban dianggap membutuhkan izin dari orang yang bersangkutan, sehingga tidak dapat dilakukan begitu saja. Namun, ada pengecualian jika orang yang telah meninggal tadi memiliki nazar untuk berkurban namun sudah terlebih dulu meninggal sebelum dapat melaksanakannya.

Situasi lainnya adalah ketika orang yang telah meninggal tersebut sebelumnya telah meninggalkan wasiat kepada ahli waris atau anggota keluarga yang telah ditinggalkan untuk berkurban atas nama orang tersebut. Tanpa adanya nazar atau wasiat maka kurban yang dilakukan ahli waris dianggap tidak sah.

Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath- Thalibin tegas menyatakan bahwa tidak ada kurban untuk orang yang sudah meninggal, kecuali ia ketika masih hidup berwasiat.

وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا

Artinya: “Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang sudah meninggal apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani.’’

3 dari 5 halaman

Pendapat yang Mengatakan Hukum Kurban untuk Orang yang Sudah Meninggal Sah

Sebagian ulama ada pula yang berpendapat bahwa hukum kurban untuk orang yang sudah meninggal adalah sah. Alasan hukum kurban untuk orang yang telah meninggal adalah sah, meski orang yang bersangkutan tidak meninggalkan wasiat, karena adanya anggapan bahwa ibadah kurban termasuk amalan sedekah.

Padahal amalan sedekah yang diatasnamakan orang meninggal tetap sah dan memberikan kebaikan kepada sang mayit. Sehingga kurban untuk orang yang sudah meninggal tetap sah. Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi mengatakan,

"Jikalau orang yang sudah meninggal dunia belum pernah wasiat untuk dikurbani lantas ahli waris atau orang lain mengurbani orang yang sudah meninggal tersebut dari hartanya sendiri, maka menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali memperbolehkannya. Namun begitu, menurut mazhab Maliki boleh tetapi makruh. Alasan mereka adalah kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber- taqarrub kepada Allah, sebagaimana dalam ibadah sedekah dan ibadah haji."

Hal ini didukung oleh  salah satu hadist yang menceritakan bahwa Sayyidina Ali RA pernah berkurban 2 ekor kambing kibasy untuk Rasulullah SAW ketika Rasul telah wafat. Hadist ini sendiri diriwayatkan oleh beberapa ahli hadist seperti Ahmad, Baihaqi, Hakim, Abu Dawud, dan Tirmidzi.

4 dari 5 halaman

Ketentuan Kurban untuk Orang Lain yang Bukan Keluarga

Hukum berkurban untuk orang lain, namun yang hubungannya bukan keluarga bisa tidak sah jika tanpa persetujuan orang yang bersangkutan. Jika orang yang bersangkutan mengizinkan atau setuju, maka boleh berkurban untuknya atau atas namanya.

Lain halnya, jika tidak diizinkan maka berkurban sangat dilarang tanpa persetujuan. Hal ini sebagaimana riwayat Syaikh Wahbah Azzuhaili dalam kitabnya Alfiqhul Islami wa Adillatuhu berikut:

قال الشافعية: لا يضحي عن الغير بغير اذنه

Artinya:

“Ulama Syafiiyah berkata; ‘Tidak boleh berkurban untuk orang lain tanpa seizin dari orang tersebut.”

5 dari 5 halaman

Ketentuan Kurban untuk Orang Lain yang Masih Keluarga

Rasulullah SAW selalu berkurban setiap tahun, niat kurban tersebut beliau niatkan untuk dirinya dan keluarganya. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Anas nin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah SAW,

ضحَّى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بكبشَيْنِ أقرنيْنِ أملحيْنِ أحدِهما عنهُ وعن أهلِ بيتِه والآخرِ عنهُ وعمَّن لم يُضَحِّ من أمَّتِه

Artinya: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan dua domba gemuk yang bertanduk, salah satunya untuk diri beliau dan keluarganya dan yang lain untuk orang-orang yang tidak berqurban dari umatnya.” (HR. Ibnu Majah no.3122)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak sah kurban orang lain tanpa seizin orang tersebut. Akan tetapi, jika berkurban untuk orang lain yang masih anggota keluarga, termasuk untuk orang tua, suami, istri atau saudara kita, sangat dibolehkan tanpa harus meminta izin terlebih dahulu kepada mereka.

Sebab, Rasulullah SAW pernah berkurban atas nama istri-istrinya tanpa harus meminta izin terlebih dahulu. Diriwayatkan dalam hadits Imam Bukhari dari Sayidah Aisyah, dia mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ عَلَيْهَا وَحَاضَتْ بِسَرِفَ ، قَبْلَ أَنْ تَدْخُلَ مَكَّةَ وَهْىَ تَبْكِى فَقَالَ : مَا لَكِ أَنَفِسْتِ . قَالَتْ نَعَمْ قَالَ : إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ ، فَاقْضِى مَا يَقْضِى الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ . فَلَمَّا كُنَّا بِمِنًى أُتِيتُ بِلَحْمِ بَقَرٍ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا قَالُوا ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ

“Nabi SAW pernah  menemui Sayyidah Aisyah di Sarif sebelum masuk Mekkah dan ketika itu Sayyidah Aisyah sedang menangis. Kemudian Nabi Saw. bertanya, ‘Kenapa? Apakah engkau sedang haid?.’ Sayidah Aisyah menjawab; ‘Iya’. Beliau pun bersabda, ‘Ini adalah ketetapan Allah bagi para wanita. Tunaikanlah manasik sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang berhaji namun jangan thawaf di Ka'bah.’Tatkala kami di Mina, saya didatangkan daging sapi. Saya pun berkata, ‘Apa ini?.’ Mereka (para sahabat) menjawab, ‘Rasulullah SAW melakukan udhiyah (berkurban) atas nama istri-istrinya dengan sapi.”