Sukses

Rukun Jual Beli Dalam Islam Agar Transaksi Sah Sesuai Syariat, Lengkap Syaratnya

Jual beli merupakan perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hal atas sesuatu barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli.

Liputan6.com, Jakarta Rukun jual beli dalam Islam sangat penting untuk diketahui oleh setiap umat Muslim. Jual beli merupakan aktivitas yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Setiap harinya, manusia melakukan aktivitas tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Jual beli yang sesuai dengan syariat Islam harus memenuhi rukun dan syarat dari jual beli sementara rukun dan syarat adalah sesuatu yang harus dipenuhi agar jual beli itu dipadang sah. Sebab jual beli merupakan suatu akad, maka harus dipenuhi rukun dan syaratnya.

Mengetahui rukun jual beli dalam Islam menjadi salah satu pengetahuan yang penting diketahui oleh masyarakat secara umum. Hal ini agar traksaksi semakin mudah dan sesuai dengan anjuran agama Islam.

Berikut Liputan6.com ulas mengenai rukun jual beli dalam Islam dan syaratnya yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Jumat (9/5/2023).

2 dari 4 halaman

Rukun Jual Beli dalam Islam

Dalam buku yang berjudul Pengantar Fiqih Jual Beli dan Harta Haram oleh Ammi Nur Baits, menjelaskan bahwa transaksi jual beli merupakan perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hal atas sesuatu barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka dengan sendirinya dalam perbuatan hukum itu harus terpengaruhi rukun dan syaratnya.

Arkan adalah bentuk jamak dari rukn. Rukun sesuatu berarti sisinya yang paling kuat, sedangkan arkan berarti hal-hal yang harus ada untuk terwujudnya satu akad dari sisi luar. Menurut istilah, rukun diartikan dengan sesuatu yang terbentuk (menjadi eksis) sesuatu yang lain dari keberadaannya, mengingat eksisnya sesuatu itu dengan rukun (unsurnya) itu sndiri, bukan karena tegaknya.

Menurut mazhab Hanafiyah rukun jual beli hanya satu yaitu ijab qabul atau shigat yang menunjukkan atas perpindahan hal milik antara penjual dan pembeli baik dari perkataan ataupun perbuatan. Dan sebagian dari mereka berpendapat bahwa rukun jual beli dalam Islam ada dua yakni ijab qabul dan serah terima.

Sedangkan secara umum, rukun jual beli dalam Islam terbagi menjadi tiga bagian yakni:

  1. Al-Aqidan (pelaku akad), yaitu dua pihak yang melakukan akad yaitu penjual dan pembeli.
  2. Al-Ma’qud ‘alaih (yang diakadkan), yaitu alat akad, seperti uang, barang, dan jasa.
  3. Shighat akad, yaitu ucapan atau isyarat dari penjual dan pembeli yang menunjukkan keinginan mereka untuk melakukan akad secara saling ridha.

Diperlukan shighat, karena transaksi ini melibatkan dua pihak. Sehingga shighat menjadi komunikasi yang menghubungkan kedua subjek akad.

3 dari 4 halaman

Syarat Jual Beli dalam Islam

Sedangkan syarat jual beli dibedakan menjadi tujuh syarat, yakni:

1. Adanya rida dari kedua belah pihak

Kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli dalam Islam harus saling rida atas barang atau sesuatu yang dijual. ika barang dagangan diambil tanpa keridaan pemiliknya, maka jual-beli seperti ini batal. Karena penjualnya tidak rida. Demikian juga karena penjualnya belum ridha dengan harganya.

2. pelaku jual-beli adalah orang yang dibolehkan untuk bertransaksi

Artinya adalah orang yang baligh dan berakal sehat. Baik penjualnya maupun pembelinya. Jika pelakunya orang yang safih (dungu), atau anak kecil, atau orang gila, atau hamba sahaya, maka tidak sah jual-belinya.

3. Yang dijual adalah harta yang bermanfaat dan mubah

Barang yang diperjual-belikan haruslah berupa al-maal. Dan suatu hal disebut dengan al-maal, jika ia memiliki nilai manfaat dan mubah (boleh digunakan). al-maal adalah semua yang mengandung manfaat dan mubah. Maka tidak boleh menjual sesuatu yang tidak bermanfaat. Atau, yang bermanfaat namun haram digunakan, seperti khamr.

4. Barangnya dimiliki atau diizinkan untuk dijual

Maka barang yang diperjual-belikan haruslah dimiliki terlebih dahulu atau ia milik orang lain namun diizinkan untuk dijual. Contoh yang tidak memenuhi syarat ini adalah jika seseorang menjual barang yang bukan miliknya. Maka janganlah seseorang menjual kambing milik orang lain, atau rumah milik orang lain, walaupun rumah itu milik ayahnya atau ibunya. Kecuali jika ia dijadikan sebagai wakil dan diizinkan untuk menjualnya.

5. Barang harus bisa diserahkan

Barang yang diperjual-belikan harus bisa diserahkan. Jika tidak bisa diserahkan, maka tidak sah akadnya. Para ulama mencontohkan dengan jual beli unta yang kabur. Secara umum, unta yang kabur itu tidak bisa ditemukan lagi. Terkadang bisa dikejar dengan kuda, namun tidak bisa ditangkap. Andaikan bisa dikejar dengan kuda, biasanya unta akan mengalahkan kudanya. Terkadang unta akan menendangnya sampai terjatuh. Maka para ulama mengatakan: tidak boleh menjual unta yang kabur.

6. Barangnya jelas, tidak samar

Jual beli gharar adalah jual beli yang terdapat unsur ketidak-jelasan. Maka barang yang diperjual-belikan harus jelas. Barang yang dijual harus bisa dilihat atau jelas sifat-sifatnya. Contoh barang yang bisa dilihat seperti unta, dia bisa dilihat dan diperhatikan. Selain itu ada pakaian yang dapat dicoba hingga dibolak-balik.

7. Harganya jelas

Harga barang harus diketahui. Karena harga adalah salah satu dari al-‘iwadh (yang ditukarkan dalam jual-beli). Dan al-‘iwadh itu harus jelas bagi kedua pihak. Maka uang yang harus dibayarkan oleh pembeli haruslah jelas.

4 dari 4 halaman

Dalil Tentang Jual Beli

Berikut ini terdapat beberapa dalil-dalil tentang jual beli dalam Islam, yakni:

1. Surat Fathir ayat 29

Berikut ini bacaan surat Fathir ayat 29 yang berbunyi:

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ

Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,"

2. Surat Al-Baqarah ayat 275

Berikut ini bacaan surat Al-Baqarah ayat 275, yang berbunyi:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Artinya: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusan (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."