Sukses

Sensor Mungil Ini Bisa Pantau Pembusukan Makanan, Tak Perlu Khawatir Lagi

Meski terdengar sepele, sensor mungil pendeteksi pembusukkan makanan ini punya dampak yang besar.

Liputan6.com, Jakarta Meskipun sudah ada mesin lemari pendingin, namun tak menghilangkan kodrat makanan tetap basi. Tak terkecuali daging yang harus segera diolah agar tetap bergizi. Namun faktanya, sering terjadi daging atau makanan yang kelewat busuk usai disimpan terlalu lama. Kekurangannya lagi, orang sering lupa kapan makanan melewati tanggal kadaluarsa. 

Namun kini tak perlu khawatir, kini para peneliti di Koç University, Turki, telah mengembangkan sebuah sensor kecil yang dapat memonitor kesegaran makanan secara real-time. Bahkan secara nirkabel dan tanpa baterai, yang mengirimkan hasilnya ke smartphone. Data ini akan memberikan notifikasi kepada pemilik makanan perihal proses pembusukan.

“Kami telah menguji sensor menggunakan sampel ayam dan daging sapi yang disimpan dalam berbagai kondisi penyimpanan untuk mendemonstrasikan aplikasi sensor di kehidupan nyata,” kata para peneliti. 

Temuan ini lantas menjadi perhatian tersendiri. Pasalnya data menunjukkan, setiap tahunnya, sekitar sepertiga dari total produksi makanan di seluruh dunia hilang atau terbuang dengan sia-sia. Jumlah ini diperkirakan mencapai sekitar 1,4 miliar ton (1,3 miliar ton) makanan. 

Meski terdengar sepele, sensor mungil pendeteksi pembusukan makanan ini punya dampak yang signifikan. Mengingatkan orang untuk tidak mengabaikan makanan yang mulai membusuk. Lantas seperti apa cara kerjanya?

Berikut Liptuan6.com merangkum temuan sensor mungi pendeteksi pembusukan makanan melansir dari New Atlas, Rabu (14/6/2023).

2 dari 3 halaman

Cara Kerja Detektor Pembusukan Makanan

Saat makanan yang mengandung banyak protein seperti daging, ayam, dan ikan mulai mengalami kerusakan, mereka menghasilkan amina biogenik, yaitu senyawa organik yang digunakan sebagai indikator kualitas makanan dan memiliki potensi beracun bagi manusia.

Meskipun amina biogenik merupakan metode standar untuk memantau kerusakan makanan, pengukurannya membutuhkan instrumen non-portable yang mahal dan harus dioperasikan oleh tenaga terlatih.

Untuk mengatasi hal tersebut, telah dikembangkan sebuah sensor yang terbuat dari polimer yang mudah disintesis. Sensor ini dilaminasi pada elektroda dan menggunakan teknologi penginderaan kapasitif untuk mendeteksi amina biogenik yang dihasilkan oleh makanan kaya protein. Sensor ini memiliki berat sekitar 2 gram dan ukurannya sekitar 0,3 inci persegi (2 cm persegi).

Sensor ini menggunakan teknologi near-field communication (NFC) dan dilengkapi dengan sebuah chip yang dapat dipasangkan dengan smartphone. Pengukuran secara real-time dapat dikirimkan secara nirkabel melalui antena dengan menggunakan chip tersebut. Chip ini juga mendapatkan daya yang diperlukan saat smartphone yang kompatibel dengan NFC ditempatkan di dekat sensor.

3 dari 3 halaman

Bisa Bekerja di Lemari Es hingga Suhu Ruangan

Peneliti telah melakukan pengujian sensor mereka dengan menggunakan kemasan dada ayam dan steak iga untuk menggambarkan penggunaan perangkat dalam kehidupan nyata. Sampel daging yang berbeda disimpan dalam kondisi yang berbeda, yaitu di dalam freezer, di dalam lemari es, dan pada suhu kamar.

Selama tiga hari, kapasitansi sensor yang memantau suhu ruangan mengalami peningkatan, menunjukkan bahwa amina biogenik dilepaskan dari daging saat daging membusuk. Hal ini menunjukkan bahwa sensor berhasil mendeteksi pembusukan dengan efisien.

“Sensor menyajikan kinerja yang andal. Pada hari ketiga, sampel yang disimpan dalam suhu ruangan menunjukkan 700% perubahan respons sensor dibandingkan dengan sampel yang disimpan dalam freezer, yang membuktikan pengoperasian sensor untuk mendeteksi pembusukan.” terang peneliti Koç University.

Para peneliti mengatakan sensor mereka mudah digunakan, murah untuk dibuat, dan memungkinkan pemantauan berkelanjutan terhadap makanan kaya protein di rak supermarket atau di rumah.

“Perangkat yang diusulkan dapat digunakan oleh produsen daging, pemasok, otoritas, dan pelanggan akhir untuk memantau kesegaran/kebusukan makanan kaya protein secara real-time,” kata para peneliti.