Liputan6.com, Jakarta Selingkuh merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat merusak kepercayaan di antara pasangan. Tidak hanya menyakitkan, selingkuh juga dapat menimbulkan dampak negatif secara psikologis bagi korban. Bahkan dampaknya bisa bertahan hingga bertahun-tahun.
Lalu apakah tidak ada tindakan atau konsekuensi untuk memberikan efek jera pada pelaku selingkuh? Jawabannya ada. Di Indonesia sendiri, seseorang yang terbukti selingkuh dapat dipidanakan.
Bahkan dalam UU 1/2023 tentang KUHP, pelaku selingkuh dapat dipidana dengan ancaman penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak 10 juta rupiah. Namun perlu diketahui bahwa selingkuh termasuk dalam delik perzinahan, yakni perlu adanya pengaduan.
Advertisement
Adapun pihak yang berhak melakukan pengaduan adalah suami atau istri sah. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai konsekuensi hukum yang menanti pelaku selingkuh, berikut penjelasan selengkapnya seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Kamis (22/6/2023).
Definisi Selingkuh Menurut Hukum
Definisi Selingkuh Menurut Hukum
Selingkuh dapat dipahami sebagai sebuah tindakan yang merusak kepercayaan di antara pasangan suami istri. Selingkuh bisa selingkuh bisa berupa apa saja mulai dari menggoda seseorang yang bukan pasangan hingga tindakan seksual dengan orang lain.
Istilah selingkuh memang tidak dikenal dalam ranah hukum. Hukum pidana atau KUHP hanya mengenal istilah "gendak" atau "overspel". Sementara itu, gendak atau overspel merujuk pada perbuatan persetubuhan antara seorang laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan seseorang yang bukan pasangannya, atau dengan kata lain, merupakan bentuk perzinahan.
Menurut UU1/2023 Pasal 411 ayat (1), yang dimaksud dengan perzinahan adalah ketika seseorang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya.
Adapun yang dimaksud bukan suami atau istrinya adalah sebagai berikut:
a. Suami yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan selain istri dalam ikatan pernikahan mereka.
b. Istri yang melakukan hubungan seksual dengan pria selain suami dalam ikatan pernikahan mereka.
c. Pria yang tidak menikah melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita yang diketahui sudah menikah.
d. Wanita yang tidak menikah melakukan hubungan seksual dengan seorang pria yang diketahui sudah menikah.
e. Pria dan wanita yang keduanya tidak terikat dalam ikatan pernikahan melakukan hubungan seksual.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa selingkuh menurut hukum adalah perbuatan yang termasuk dalam golongan zina, yakni persetubuhan yang dilakukan seseorang dengan orang yang bukan suami atau istrinya. Jadi, untuk dianggap telah melakukan gendak (overspel) seseorang harus terlibat dalam hubungan seksual yang melibatkan penetrasi alat kelamin.
Advertisement
Konsekuensi Hukum bagi Pelaku Selingkuh
Pelaku yang terbukti gendak (overspel) atau perbuatan selingkuh dapat diancam dengan hukuman penjara paling lama sembilan bulan, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 ayat 91) KUHP. Laporan pasal 284 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana selama 9 bulan.
Pasal tersebut mengatur bahwa :
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
2. a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
Sedangkan dalam UU 1/2023 Pasal 411 ayat (1), pelaku selingkuh dapat dipidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak 10 juta rupiah. Berikut bunyi UU 1/2023 Pasal 411 ayat (1):
"Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II yaitu Rp10 juta."
Dari serangkaian penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa ada konsekuensi hukum yang menanti para pelaku selingkuh, mulai dari hukuman kurungan penjara hingga denda.
Proses Penuntutan atau Pelaporan
Penting untuk diketahui bahwa proses pidana pada pelaku selingkuh maupun zina hanya dapat ditindak jika ada pelaporan. adapun yang berhak melakukan pelaporan adalah suami atau istri dari terduga pelaku selingkuh atau gendak.
Pasalnya, tindak pidana tersebut termasuk dalam delik aduan (klacht delict). Pasal 284 KUHP ini merupakan suatu delik aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan dan atau yang dimalukan.
Selain itu, laporan pidana gendak (overspel) tidak dapat diproses lebih lanjut oleh Kepolisian apabila yang melaporkan bukanlah pasangan resmi pihak yang dirugikan.
Dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa proses penuntutan atau pelaporan tindak pidana gendak (overspel) hanya dapat dilakukan atas pengaduan suami atau istri.
Advertisement
Cara Melaporkan Pasangan yang Selingkuh
Jadi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melaporkan pasangan yang selingkuh kepada polisi. Pertama, baik laki-laki maupun perempuan yang terlibat dalam perselingkuhan harus masih dalam ikatan perkawinan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan. Jika status mereka adalah tunangan dan terjadi perselingkuhan, maka hal tersebut tidak dapat dilaporkan kepada polisi.
Syarat kedua, pelapor harus menjadi korban perselingkuhan, yang dalam hal ini bisa menjadi suami atau istri, karena Pasal 284 KUHP merupakan tindak pidana aduan.
Syarat ketiga, teman selingkuh pria atau wanita juga harus dilaporkan kepada polisi, sesuai dengan Pasal 284 ayat 2 (a) dan (b) sebagaimana disebutkan sebelumnya. Syarat keempat, perselingkuhan harus disertai dengan perzinahan.
Keempat syarat ini harus dipenuhi untuk melaporkan pasangan yang selingkuh. Oleh karena itu, sebelum melaporkan kepada polisi, suami atau istri minimal harus memiliki dua alat bukti. Bukti-bukti tersebut dapat berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan dari terdakwa, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).