Sukses

Keutamaan Puasa Tarwiyah di Bulan Zulhijah bagi Umat Islam, Kenali Sejarahnya

Keutamaan puasa Tarwiyah tidak kalah baik dari ibadah sunah lainnya.

Liputan6.com, Jakarta Keutamaan puasa Tarwiyah perlu dikenali oleh setiap umat Islam. Puasa Tarwiyah merupakan salah satu puasa sunah yang dilaksanakan pada bulan Zulhijah. Setelah selesai dengan ibadah puasa sunah 7 hari di awal bulan Zulhijah, muslim yang masih ingin memperoleh keberkahan dari Allah SWT bisa melanjutkan dengan puasa Tarwiyah.

Puasa Tarwiyah dilaksanakan pada 8 Zulhijah, sehari sebelum puasa Arafah pada 9 Zulhijah. Puasa Tarwiyah dilaksanakan pada hari Tarwiyah dan menjadi salah satu pelengkap ibadah di bulan yang Zulhijah sebelum hari raya Idul Adha. Tahun ini, puasa Tarwiyah bisa dilaksanakan pada Selasa, 27 Juni 2023. Puasa Tarwiyah termasuk dari puasa 10 hari pertama Dzulhijjah yang sangat dianjurkan.

Keutamaan puasa Tarwiyah tidak kalah baik dari ibadah sunah lainnya. Puasa ini dapat menghapuskan dosa seorang muslim dalam suatu periode tertentu. Jadi, melaksanakan ibadah puasa Tarwiyah dan puasa Arafah di bulan Zulhijah akan banyak mengurangi dosa seorang muslim.

Berikut Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (23/6/2023) tentang keutamaan puasa Tarwiyah.

2 dari 5 halaman

Keutamaan Puasa Tarwiyah

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, keutamaan puasa Tarwiyah dapat menghapuskan dosa seorang muslim dalam suatu periode tertentu. Puasa Tarwiyah adalah puasa yang dilaksanakan pada hari Tarwiyah yang jatuh pada tanggal 8 Dzulhijjah atau dua hari sebelum Idul Adha.

1. Penggugur dosa setahun sebelumnya

Melansir laman Kemenag, keutamaan puasa Tarwiyah yang pertama yaitu dapat menghapus dosa setahun sebelumnya. Hal ini dijelaskan oleh ulama Malikiyah dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah.

2. Mendapatkan pahala seperti pahala yang didapat Nabu Ayyub

Keutamaan puasa Tarwiyah selanjutnya yaitu mendapatkan pahala seperti pahala yang didapatkan oleh Nabi Ayyub. Sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah dalam kitab Nuzhah Al-Majalis wa Muntakhab Al-Nafais,

“Barangsiapa yang berpuasa pada hari Tarwiyah, maka Allah akan memberikan pahala seperti pahala kesabaran Nabi Ayyub alaihissalam atas musibahnya. Barangsiapa yang berpuasa pada hari Arafah, maka Allah akan memberikan pahala kepadanya seperti pahala Nabi Isa alaihissalam.”

3 dari 5 halaman

Niat Puasa Tarwiyah

Niat puasa Tarwiyah diucapkan pada tanggal 8 Dzulhijjah, tepat setelah puasa 7 hari selesai. Puasa Tarwiyah ini dilaksanakan dua hari sebelum Hari Raya Idul Adha dan sehari sebelum puasa Arafah.

Niat puasa Tarwiyah:

"Nawaitu shauma ghadin 'an adaai sunnati yaumit Tarwiyyati lillaahi ta'aalaa".

Artinya: Aku niat puasa sunnah Tarwiyah besok hari karena Allah.

Setelah membaca niat puasa Tarwiyah, kamu bisa menjalankan sahur pada dini hari dan menjalankan puasa Tarwiyah. Pelaksanaan puasa Tarwiyah sama seperti puasa pada umumnya. Ini dilakukan dengan menahan lapar dan hawa nafsu dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

4 dari 5 halaman

Sejarah Hari Tarwiyah

Hari Tarwiyah jatuh tiap tanggal 8 Dzulhijjah dalam kalender Hijriyah. Hari Tarwiyah menandai perjalanan jemaah haji dari Makkah ke Mina. Dalam bahasa Arab kata "tarwiya" berarti "melepaskan dahaga". Hari tersebut dinamai hari Tarwiyah karena pada hari ini jemaah haji mengisi air di Makkah sebelum berangkat ke Mina. Jemaah haji juga dianjurkan untuk minum agar bisa dengan lancar menjalankan perjalanan Haji sampai akhir.

Mina terletak di padang pasir sekitar tujuh kilometer timur laut Mekah. Jemaah akan berdoa selama mereka tinggal di Mina. Saat fajar pada hari kesembilan bulan Zulhijah, para peziarah berdoa dan meninggalkan Mina menuju Arafah, untuk hari yang dianggap sebagai hari paling penting dari pelaksanaan haji.

Hari Tarwiyah berkaitan erat dengan peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim AS yang bermimpi diperintah Allah untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail AS. Di tanggal 8 Dzulhijjah, ia merenung dan berpikir (rawwa-yurawwi-tarwiyah) tentang takwil mimpi menyembelih putranya. Pada hari ke-9, ia mendapati takwil mimpi yang membuatnya tahu (‘arafa) akan makna mimpi tersebut, sehingga disebut dengan Hari Arafah. Sedangkan pada hari ke-10, ia melaksanakan perintah dalam mimpi itu, yakni menyembelih putranya, sehingga disebut hari Nahr.

5 dari 5 halaman

Hukum Puasa Tarwiyah

Dalil yang menjadi landasan dalam melaksanakan puasa tarwiyah di tanggal 8 Dzulhijjah ada pada Hadis yang diriwayatkan oleh Abusy Syaikh dan Ibnu An Najjar dari Ibnu ‘Abbas.

“Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu. Sedangkan puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) akan mengampuni dosa dua tahun.”

Namun, setelah ditelusuri, hadis ini tergolong dalam hadis yang tidak shahih. Asy Syaukani juga mengatakan bahwa hadis ini tidak shahih karena dalam riwayatnya terdapat perowi yang pendusta. Sedangkan Syaikh Al Albani berpendapat bahwa hadis ini adalah dho’if (lemah).

Namun, bukan berarti umat Islam tidak diperbolehkan berpuasa di tanggal 8 Zulhijah. Puasa ini bisa dijalankan dengan mengingat keutamaan di awal-awal bulan Zulhijah. Karena pada waktu tersebut, ibadah puasa adalah sebaik-baiknya amalan yang dikerjakan pada saat itu. Bulan ini termasuk ke dalam salah satu bulan haram yang disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadisnya, yang artinya:

“Sesungguhnya waktu itu berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun ada 12 bulan. Di antara bulan-bulan tersebut ada 4 bulan yang haram (berperang di dalamnya) 3 bulan berturut-turut, yaitu: Zulqaidah, Zulhijah, Al Muharram, (dan yang terakhir) Rajab Mudhar, yaitu bulan di antara bulan Jumaada dan Sya’ban.” (HR. Bukhari).

10 hari pertama dari bulan ini juga memiliki keutamaan. Hal ini dijelaskan dalam hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berikut,

“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Zulhijah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.“ (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).