Liputan6.com, Jakarta - Kitab Al-Hikam adalah sebuah karya monumental yang ditulis oleh Ibnu 'Athaillah as-Sakandari antara tahun 1250 M hingga 1310 M. Kitab ini disusun dengan menggunakan untaian kata yang penuh dengan rima. Meskipun kalimatnya singkat dan bersifat singkat dan padat, namun terkadang juga terurai dan terjalin. Kitab ini banyak mengandung gaya bahasa figuratif, metaforis, kiasan, dan sindiran.
Belakangan ini, Kitab Al-Hikam tidak hanya dikaji oleh para santri di pondok pesantren, tetapi juga diminati oleh para eksekutif Muslim dan kalangan sosialita di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan kota-kota besar lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kitab ini telah melampaui batasan lingkup tradisional dan menjadi sumber inspirasi dan pembelajaran bagi berbagai kalangan masyarakat.
Daya tarik Kitab Al-Hikam terletak pada kekayaan hikmah dan pesan-pesan spiritual yang disampaikan melalui bahasa yang indah dan pengalaman penulis yang dalam. Kitab Al-Hikam telah menjadi panduan bagi banyak individu yang ingin memperdalam pemahaman tentang spiritualitas dan tasawuf dalam kehidupan mereka yang sibuk dan modern.
Advertisement
Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang isi Kitab Al-Hikam dan sosok pengarangnya, Sabtu (24/6/2023).
Warga Banyuwangi memiliki tradisi unik yang rutin digelar selama bulan suci ramadhan. Salah satu masjidnya memiliki Al-quran raksasa yang hanya dikeluarkan dan dibaca saat ramadhan,
Isinya
Kitab Al-Hikam berisi tentang apa? Guru Besar Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Syihabuddin Qalyubi, melalui situs website resmi uin-suka.ac.id, menjelaskan isi Kitab Al-Hikam tersebut:
Kitab Al-Hikam merupakan sebuah karya yang kaya akan ajaran-ajaran penting tentang pengelolaan diri.
- Pertama, Kitab Al-Hikam mengajarkan bahwa orang yang benar-benar arif adalah orang yang tidak membanggakan amal ibadahnya. Mereka yang merasa bangga dengan amal ibadah yang mereka lakukan cenderung memiliki pengharapan yang kurang tepat kepada Allah. Mereka berpikir bahwa segala sesuatu yang mereka peroleh adalah hasil dari amal ibadah mereka, bukan karena rahmat dan kasih sayang Allah. Sebaliknya, orang yang benar-benar bijaksana dan arif dalam menjalani kehidupannya, selalu menyadari dan mengakui bahwa segala kekuatan dan iradah ada pada Allah SWT.
- Kedua, Kitab Al-Hikam mengajarkan, amal ibadah yang kuat dan kokoh hanya bisa terwujud jika dilakukan dengan ikhlas. Ikhlas adalah ruh dari setiap amal ibadah, dan amal yang dilandasi oleh keikhlasan menunjukkan kekuatan dan keteguhan iman seseorang. Namun, jika amal ibadah tidak didasari oleh keikhlasan, maka amal tersebut hanya akan membuat seseorang menjadi angkuh dan lupa diri.
- Selanjutnya, Kitab Al-Hikam juga mengajarkan hati yang hidup dengan keimanan akan merasakan sedih ketika iman dan ketaatan kepada Allah hilang darinya. Hati yang penuh iman akan sangat senang dan gembira setiap kali melaksanakan kebaikan atau ketaatan kepada Allah. Kehadiran iman dalam hati memberikan kepuasan dan kebahagiaan yang mendalam.
- Selain itu, Kitab Al-Hikam memberikan pelajaran tentang pentingnya memanfaatkan waktu dengan baik. Orang yang terus menunda-nunda untuk beramal pada saat-saat senggang seolah-olah sedang dipermainkan oleh waktu. Waktu terus berjalan, sementara waktu luang yang diharapkan untuk beramal belum juga tiba, akibatnya peluang untuk beramal menjadi terbatas dan mungkin tidak mencukupi.
- Terakhir, Kitab Al-Hikam mengajarkan bahwa ketika seseorang memahami cobaan yang datang dari Allah adalah sesuatu yang harus diterima dengan keridhaan hati, maka beban cobaan tersebut akan terasa ringan baginya. Allah memberikan cobaan kepada hamba-hamba-Nya bukan sebagai tanda kebencian, tetapi sebagai bentuk kasih sayang dan perhatian-Nya terhadap hamba yang sedang diuji. Dalam pemahaman ini, cobaan menjadi sarana untuk memperkuat iman dan mendekatkan diri kepada Allah.
Advertisement
Dikarang oleh Ibnu 'Athaillah as-Sakandari
Kitab Al-Hikam adalah sebuah karya monumental yang ditulis oleh Ibnu 'Athaillah as-Sakandari antara tahun 1250 M hingga 1310 M. Dalam penjelasan dari Universitas Darussalam Gontor atau UNIDA Gontor, kitab ini disusun dengan menggunakan untaian kata yang penuh dengan rima. Meskipun kalimatnya singkat dan bersifat singkat dan padat, namun terkadang juga terurai dan terjalin.
Kitab ini banyak mengandung gaya bahasa figuratif, metaforis, kiasan, dan sindiran, dengan pengaturan yang teratur namun tetap bebas dari kesan berlebihan. Kadang-kadang, kitab ini juga menggunakan perbandingan dan sering kali mengajukan pertanyaan keheranan untuk menggambarkan makna yang ingin disampaikan.
Keindahan sajak dalam Kitab Al-Hikam tidak merusak maknanya. Penggunaan kata ganti dalam kalimatnya memperkuat kesan yang disampaikan, dan pengulangan pertanyaan bukanlah tindakan pemborosan tetapi merupakan pilihan yang sengaja digunakan. Pilihan kata-kata dalam kitab ini juga demikian, dengan memperhatikan penggunaan kata-kata yang tidak sengaja menggambarkan keburukan perbuatan, tetapi lebih kepada kesalahan atau kekeliruan. Inilah salah satu daya tarik dari kitab ini.
Menurut Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Ibnu 'Athaillah as-Sakandari adalah seorang ulama yang telah menerima cahaya ilmu dari Allah SWT. Kitab Al-Hikam, salah satu karya beliau, menjadi sumber kebijaksanaan yang tidak pernah habis untuk digali. Kitab ini berisi kalimat-kalimat pendek namun sarat dengan pelajaran, dan menjadi rujukan bagi berbagai kalangan dalam membimbing nurani.
Karya monumental ini, menurut UNIDA Gontor, tidak biasa seperti karya tasawuf lainnya. Syaikh Muhammad Abduh bahkan menyebut Kitab Al-Hikam sebagai "Nyaris seperti Al-Qur'an" karena keindahan gaya sastra dalam kalimat-kalimatnya. Kitab ini menonjolkan keindahan bahasa dan penyampaian yang menggugah hati, sehingga mendapat perbandingan dengan al-Qur'an.
Kitab Al-Hikam merupakan hasil tulisan dari seorang pemuda yang mampu merangkum empat jilid buku tebal menjadi beberapa catatan tipis, mengubah ribuan bab menjadi ratusan kata singkat, dan mengubah gaya filosofis menjadi sangat estetis. Kitab ini lahir dari kepiawaian dan keahlian penulis dalam mengolah kata-kata sehingga menjadi karya yang padat, indah, dan sarat dengan makna yang mendalam.
Sosoknya
Kitab Al-Hikam merupakan karya monumental dari mursyid ketiga tarekat As-Syadziliyyah, demikian yang dijelaskan oleh Syihabuddin Qalyubi. Kitab ini menjadi sumber utama dalam pemahaman ajaran tarikat As-Syadziliyyah dan juga menjadi disiplin ilmu yang penting dalam mempelajari kajian tasawuf.
Oleh karena itu, kitab ini dianggap sebagai karya terbaik dan komprehensif yang ditulis oleh Ibn 'Athaillah As-Sakandari.
Dalam penulisan Kitab Al-Hikam, penulisnya secara "hemat" tidak mencantumkan rujukan berupa dukungan ayat Al-Qur'an, Al-Hadits, atau argumentasi lainnya. Lebih dari itu, kitab ini merupakan hasil refleksi atas pengalaman spiritualitas yang dialami oleh penulisnya. Dalam menyampaikan ajarannya, kitab ini tidak mengandalkan pembenaran dari teks-teks agama secara eksplisit, melainkan lebih mengutamakan penjabaran penghayatan spiritual penulisnya.
Ibn 'Atha'illah adalah seorang ulama yang sangat terampil dalam bidang tasawuf pada zamannya, namun demikian, dia tidak mengabaikan ilmu-ilmu lain seperti tafsir, hadis, dan ushul fiqih. Dia merupakan seorang yang berpengetahuan luas dan mampu menguasai berbagai disiplin ilmu. Dalam perjalanan mengembangkan pengetahuannya tentang tasawuf, Ibn 'Atha'illah memiliki dua guru yang memiliki pengaruh besar terhadap dirinya.
Guru pertamanya adalah Syekh Abu al Abbas Ahmad Ibn Umar Ibn Muhammad al Mursi, yang memberikan kontribusi yang signifikan dalam membimbing Ibn 'Atha'illah dalam mempelajari ilmu tasawuf. Syekh al Mursi sendiri adalah seorang tokoh penting dalam Thariqah al-Syadziliyyah, suatu tarekat yang memiliki pengaruh kuat dalam dunia tasawuf. Dengan bimbingan dari Syekh al Mursi, Ibn 'Atha'illah mendapatkan landasan yang kokoh dalam pengembangan keilmuannya.
Guru kedua Ibn 'Atha'illah adalah Syekh Abu al Hasan Ali Ibn Abdillah As Syadzili, pendiri Thariqah al-Syadziliyyah. Syekh Ali Ibn Abdillah As Syadzili adalah seorang yang sangat dihormati dalam dunia tasawuf dan memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan tarekat ini. Melalui bimbingan dan ajaran dari Syekh As Syadzili, Ibn 'Atha'illah semakin mendalami dan menguasai ilmu tasawuf, serta menerima warisan spiritual yang berharga.
Kehadiran kedua guru ini dalam kehidupan Ibn 'Atha'illah memberikan pengaruh yang kuat dalam pengembangan dirinya sebagai ulama tasawuf yang terkemuka. Menggabungkan pengetahuan dan bimbingan dari kedua guru tersebut, Ibn 'Atha'illah berhasil menghasilkan karya-karya yang mempengaruhi banyak orang dan menjadi warisan berharga dalam tradisi tasawuf.
Advertisement