Sukses

Hakikat Manusia Menurut Islam, Ini Tujuan Kita Hidup dan Diciptakan

Dengan memahami hakikat manusia menurut Islam, kita bisa memahami tujuan kita hidup dan diciptakan.

Liputan6.com, Jakarta Sebagian dari kita mungkin pernah bertanya-tanya untuk apakah kita hidup di dunia ini, dan apa tujuan kita hidup. Untuk menjawab pertanyaan itu, sangat penting bagi kita untuk memahami hakikat manusia menurut Islam.

Sebagai seorang muslim, sangat penting bagi kita untuk memahami secara mendalam tentang hakikat manusia menurut Islam. Dengan memahami hakikat manusia menurut Islam, kita bisa memahami tentang bagaimana seharusnya manusia hidup, termasuk untuk apa manusia diciptakan.

Untuk memahami hakikat manusia menurut Islam, tentunya kita harus merujuk Alquran. Dalam Alquran sendiri terdapat empat kata yang merujuk pada manusia, yakni al Basyar, al Insan, An Nas, dan Bani Adam.

Untuk memahami hakikat manusia menurut Islam, penting bagi kita untuk memahami makna dari keempat kata tersebut. Berikut penjelasan tentang hakikat manusia menurut Islam seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Minggu (25/6/2023).

2 dari 6 halaman

Apa yang dimaksud Al-Basyar?

Dalam artikel berjudul "Hakekat Manusia dan Implikasinya pada Pendidikan Islam" (Jurnal Al-Thariqah Vol. 2, No. 2, December 2017), dijelaskan bahwa kata Al-Basyar dalam Alquran memiliki makna kulit, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut.

Hal itu menunjukkan perbedaan biologis manusia dengan hewan yang didominasi oleh bulu atau rambut. Al-Basyar juga mencerminkan persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan. Manusia adalah makhluk yang memiliki sifat-sifat kemanusiaan dan keterbatasan seperti makan, minum, seks, keamanan, dan kebahagiaan. Istilah ini mencakup semua manusia tanpa terkecuali, termasuk para rasul yang juga dianggap manusia biasa yang diberi wahyu oleh Allah.

Allah SWT berfirman,

قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا ࣖ

Artinya: Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatupun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahf: 110)

Kata al-basyar juga digunakan Allah dalam Al-Quran untuk menjelaskan proses penciptaan Nabi Adam sebagai manusia pertama, yang berbeda dengan proses kejadian manusia setelahnya, sebagaimana Allah SWT berfirman,

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ خَالِقٌۢ بَشَرًا مِّنْ صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَاٍ مَّسْنُوْنٍۚ

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh, Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk.

Dengan dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hakikat manusia menurut Islam merupakan jasad, tubuh, atau raga, yang mengalami proses reproduksi seksual dan berusaha memenuhi kebutuhan biologisnya. Manusia membutuhkan ruang, waktu, dan tunduk pada hukum alam (sunnatullah). Semua ini adalah konsekuensi logis dari pemenuhan kebutuhan tersebut.

3 dari 6 halaman

Apa yang dimaksud manusia dalam istilah al-Insan?

Memahami pengertian manusia berdasarkan makna kata Al-Basyar tentu tidak cukup untuk mengambil kesimpulan mengenai hakikat manusia menurut Islam. Kita perlu memahami manusia dari berbagai pengertian menurut Al-Quran. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam Al-Quran, manusia disebut juga sebagai al-Insan.

Secara etimologi, al-Insan dapat diartikan sebagai harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa. Jika al-Basyar memiliki makna manusia sebagai jasad yang perlu memenuhi kebutuhan biologisnya, kata al-Insan digunakan dalam Al-Quran untuk menggambarkan manusia secara totalitas, baik dari segi jasmani maupun rohani.

Harmonisasi kedua aspek ini menjadikan manusia sebagai makhluk unik, istimewa, sempurna, dan memiliki perbedaan individu antara satu dengan yang lain. Manusia juga memiliki dinamika yang memungkinkannya menjadi khalifah Allah di muka bumi. Gabungan antara aspek fisik dan psikis memungkinkan manusia mengekspresikan dirinya sebagai makhluk berbudaya, mampu berbicara, memahami nilai baik dan buruk, mengembangkan ilmu pengetahuan, peradaban, dan sebagainya.

Dengan kemampuan ini, manusia dapat membentuk dan mengembangkan diri serta komunitasnya sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang memiliki nuansa ilahiah. Integralitas ini tercermin dalam iman dan amal perbuatan manusia, sesuai dengan firman Allah,

فَاِنْ اَعْرَضُوْا فَمَآ اَرْسَلْنٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا ۗاِنْ عَلَيْكَ اِلَّا الْبَلٰغُ ۗوَاِنَّآ اِذَآ اَذَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً فَرِحَ بِهَا ۚوَاِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ ۢبِمَا قَدَّمَتْ اَيْدِيْهِمْ فَاِنَّ الْاِنْسَانَ كَفُوْرٌ

Artinya: Jika mereka berpaling, maka (ingatlah) Kami tidak mengutus engkau sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Dan sungguh, apabila Kami merasakan kepada manusia suatu rahmat dari Kami, dia menyambutnya dengan gembira; tetapi jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar), sungguh, manusia itu sangat ingkar (kepada nikmat).

Penggunaan kata al-insan dalam Al-Quran juga menggambarkan proses penciptaan manusia setelah Nabi Adam. Proses ini melibatkan perkembangan secara bertahap dan sempurna di dalam rahim.

Kata al-Insan memiliki dua makna terkait proses penciptaan manusia. Pertama, secara biologis, manusia berasal dari unsur tanah melalui makanan yang dikonsumsi dan melalui proses pembuahan. Kedua, secara psikologis, manusia ditiupkan ruh dan diberikan berbagai potensi oleh Allah. Makna pertama menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk dinamis yang berproses dan terikat dengan pengaruh alam serta kebutuhan fisiknya. Keduanya saling berpengaruh satu sama lain. Sementara itu, makna kedua menekankan bahwa manusia, meskipun memiliki kebutuhan materi, juga dituntut untuk sadar akan tujuan spiritualnya.

Manusia diperintahkan untuk mengarahkan seluruh aspek kehidupannya kepada Allah tanpa batas, cacat, dan akhir. Sikap seperti ini mendorong manusia untuk berbuat baik dan tunduk pada ajaran Allah.

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa hakikat manusia menurut Islam tidak hanya sebatas aspek jasad saja, melainkan juga ada unsur ruh juga yang perlu dipenuhi kebutuhannya.

4 dari 6 halaman

Apa yang dimaksud manusia dalam istilah Al-Nas?

Dalam pengertian manusia, kata al-Nas memiliki maknya yang lebih umum daripada kata al-Insan. Keumuman ini dapat dilihat dari penekanan makna yang terkandung.

Kata al-Nas mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial dan sering digambarkan sebagai kelompok manusia tertentu yang melakukan kerusakan dan merupakan penghuni neraka, bersama dengan iblis, sebagaimana firman Allah SWT,

فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا وَلَنْ تَفْعَلُوْا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِيْ وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ اُعِدَّتْ لِلْكٰفِرِيْنَ

Artinya: "Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir." (QS. Al-Baqarah: 24).

Secara umum, penggunaan kata al-Nas memiliki arti peringatan Allah kepada manusia terkait tindakan-tindakannya, seperti bersikap kikir, mengingkari nikmat, riya, dan sebagainya.

5 dari 6 halaman

Makna Manusia dalam istilah Bani Adam

Selain memahami makna al-Insan, al-Basyar, dan al-Nas, untuk mengetahui hakikat manusia menurut Islam, pentinmg bagi kita untuk memahami apa yang dimaksud dengan bani Adam.

Secara etimologi, bani Adam mengacu pada keturunan Nabi Adam AS. Dalam ungkapan lain, kadang juga menggunakan istilah dzuriyat Adam. Seperti yang dinyatakan oleh Allah, "Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A'raaf: 31).

Dan dalam firman Allah, "Mereka itulah orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu dari (golongan) para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang yang Kami bawa (dalam kapal) bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil (Yakub) dan dari orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pengasih kepada mereka, maka mereka tunduk sujud dan menangis." (QS. Maryam: 58).

Menurut al-Thabathaba'i yang dikutip oleh Ramayulis, penggunaan kata bani Adam mengacu pada makna manusia secara umum. Ada tiga aspek yang diperhatikan dalam hal ini: pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, termasuk berpakaian untuk menutupi aurat.

Kedua, mengingatkan keturunan Adam agar tidak terjerumus dalam godaan syaitan yang mengajak pada kemungkaran. Ketiga, memanfaatkan segala sesuatu yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan penghambaan kepada Allah. Semua ini adalah anjuran dan peringatan dari Allah untuk memuliakan keturunan Adam dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain.

Kata bani Adam lebih menekankan pada aspek kehidupan manusia dan memberikan arah dalam bentuk apa dan bagaimana kegiatan tersebut dilakukan. Manusia diberi kebebasan untuk melakukan berbagai kegiatan dalam hidupnya untuk memanfaatkan semua fasilitas di alam ini dengan maksimal. Allah memberikan garis pembatas kepada manusia dengan dua alternatif, yaitu kemuliaan atau kesesatan. Ini menunjukkan kasih sayang dan demokrasi Allah terhadap manusia. Hukum kausalitas ini memungkinkan Allah meminta pertanggungjawaban dari manusia atas semua aktivitas yang dilakukan.

Hakikat manusia menurut Islam, seperti yang disebutkan sebelumnya dengan kata-kata seperti al-basyar, al-insan, al-nas, dan bani Adam atau dzuriyyat Adam, memberikan gambaran keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia sebagai individu, sosial, budaya, dan makhluk Allah SWT.

Keseimbangan seperti ini tercermin dalam penentuan nilai baik atau buruknya sifat dan perbuatan manusia, yang ditentukan secara syar'i dan tidak terlibat campur tangan manusia. Misalnya, mengenai pahala dan dosa, halal dan haram, surga dan neraka. Perbuatan manusia yang baik dipuji oleh Al-Quran, sedangkan yang buruk dicela, dan hal ini ditegaskan dalam berbagai ayat.

Manusia diberi tanggung jawab (taklif), sehingga manusia dapat menjadi makhluk yang berbuat baik atau buruk. Terungkapnya nilai baik dan buruk yang ada dalam diri manusia menunjukkan bahwa manusia, selain memiliki kelebihan dan keistimewaan, juga memiliki kelemahan dan kekurangan.

6 dari 6 halaman

Lalu apa sebenarnya hakikat manusia menurut Islam?

Dari serangkaian penjelasan di atas, hakikat manusia menurut Islam tidak lepas dari alasan manusia diciptakan, yakni untuk memenuhi tugas dan fungsinya hamba Allah dan sebagai khalifah Allah.

Sebagai seorang hamba, hakikat manusia menurut Islam adalah terikat oleh hukum-hukum Allah yang merupakan kodrat bagi setiap ciptaan-Nya. Manusia adalah bagian dari ciptaan Allah dan bergantung pada-Nya. Sebagai hamba Allah, manusia tidak dapat terlepas dari kekuasaan-Nya. Oleh karenanya, kita wajib memberikan ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada Allah SWT.

Allah memerintahkan manusia untuk menghadapkan wajahnya kepada agama yang lurus sesuai dengan fitrah yang Allah ciptakan. Hal ini berarti semua suku bangsa manusia dimanapun dan kapanpun mengakui adanya kekuasaan Tuhan di luar diri mereka. Manusia memiliki tanggung jawab mengabdi kepada Allah sebagai makhluk-Nya.

Dalam beberapa ayat Al-Quran, dinyatakan bahwa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi dan memberikan kelebihan kepada sebagian dari mereka. Hal ini sebagai ujian atas apa yang diberikan-Nya kepada mereka.

Pengertian khalifah dalam arti yang luas adalah sebagai pengganti atau perwakilan Allah di bumi. Manusia tidak menjalankan peran ini sebagai penakluk atau tuan, tetapi dalam hubungan kebersamaan dengan Allah dan sesamanya. Dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya, manusia juga harus menjunjung tinggi sikap moral dan etika.

Demikian adalah hakikat manusia menurut Islam, yaklni sebagai hamba dan sebagai khalifah di bumi. Sebagai hamba, manusia harus tunduk dan patuh pada ketentuan Allah SWT. Sedangkan sebagai khalifah, manusia menjadi utusan Allah untuk mengelola bumi demi kemaslahatan seluruh makhluk.