Liputan6.com, Jakarta Pertambahan jumlah penduduk mengiringi sejarah bertambahnya sampah sulit diurai. Salah satunya yang menjadi tantangan ialah sampah plastik yang bisa dijadikan gunung di berbagai tempat pembuangan sampah akhir. Tak hanya masyarakat yang dituntut untuk mengurangi sampah plastik. Para ilmuwan tak hentinya mencari temuan baru kemasan ramah lingkungan.
Melansir dari jurnal Society of Chemical Industry, para peneliti di Chinese University of Hong Kong telah menggunakan selulosa bakteri (BC) untuk membuat bahan kemasan sekali pakai. Tidak hanya ramah lingkungan, kemasan organik ini juga dapat dimakan. Harapannya, temuan baru ini bisa membantu mengurangi pemakaian plastik.
Mengingat, bahan plastik membutuhkan waktu antara 50 hingga 200 tahun untuk terurai. Selama beberapa dekade terakhir, penggunaan plastik berbahan dasar minyak bumi dalam kemasan telah menyebabkan polusi yang serius. Hal ini mendorong pengembangan bahan kemasan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Advertisement
Lantas seperti apa bakteri yang digunakan sebagai kemasan dan seperti apa cara kerjanya? Berikut Liputan6.com merangkum temuan unik kemasan dari bahan bakteri melansir dari berbagai sumber, Selasa (4/7/2023).
Kombinasi Selulosa Bakteri Jadi Kemasan Gantikan Plastik
Melansir dari New Atlas, para peneliti telah beralih ke selulosa yang diproduksi oleh bakteri untuk menciptakan bahan kemasan komposit guna menggantikan plastik. Bahan ini tidak hanya memiliki kekuatan dan sifat yang berkelanjutan untuk diproduksi, tetapi juga dapat terurai secara alami dan yang lebih menarik dapat dikonsumsi.
Dengan demikian, kita mungkin akan segera menghabiskan sekotak sereal dan kemudian memakan kemasannya.
“Studi ini menunjukkan potensi BC sebagai pengganti bahan kemasan plastik sekali pakai, menjadikannya titik awal yang logis untuk penelitian kami,” kata To Ngai, penulis studi terkait.
Selulosa bakteri merupakan jaringan serat nanoselulosa yang sangat halus yang disintesis oleh bakteri. Bahan ini memiliki sifat yang lebih baik daripada selulosa tanaman dalam kapasitas menahan air yang lebih tinggi. Kekuatan tarik yang lebih tinggi, tekstur yang sangat lembut dan kandungan serat yang tinggi.
“Penelitian ekstensif telah dilakukan pada BC, termasuk penggunaannya dalam kemasan cerdas, film pintar, dan bahan fungsional yang dibuat melalui pencampuran, pelapisan, dan teknik lainnya,” imbuh To Ngai
Advertisement
Gunakan Protein Kedelai dan Bakteri Khusus
Sebagai bahan dasar, para peneliti menggunakan selulosa yang disekresikan oleh bakteri Komagataeibacter xylinus, penghasil BC. Bakteri jenis ini ramah lingkungan yang terkenal tidak beracun. Tidak seperti selulosa tumbuhan, BC diproduksi melalui proses fermentasi. Bakteri Komagataeibacter sering difermentasi untuk membuat kombucha minuman teh tradisional.
Para peneliti kemudian memasukkan protein kedelai yang diisolasi dari kedelai ke dalam struktur selulosa dan melapisinya dengan komposit tahan minyak yang terbuat dari kalsium alginat. Secara keseluruhan, kata mereka, proses yang relatif sederhana.
“Tidak memerlukan kondisi reaksi tertentu seperti reaksi kimia, melainkan metode sederhana dan praktis dengan pencampuran dan pelapisan,” kata Ngai.
Dan, yang terpenting, komponen bahannya berarti aman untuk dimakan manusia dan hewan.
“Bahan yang dikembangkan dalam penelitian ini benar-benar dapat dimakan, sehingga aman untuk dikonsumsi oleh penyu dan hewan laut lainnya tanpa menyebabkan keracunan air di lautan,” imbuh Ngai.
“Plastik” Bakteri Terurai Dua Bulan
Para peneliti menemukan bahwa bahan baru itu transparan, tahan minyak, tidak beracun bagi sel manusia, dan terurai sepenuhnya dalam satu hingga dua bulan. Mereka menemukan bahwa, dibandingkan dengan plastik polietilen densitas rendah.
Bahan tersebut memiliki kinerja yang sebanding sebagai tas sekali pakai untuk menyimpan makanan ringan, permen, makanan jalanan, roti, atau makanan serupa. Sedotan yang terbuat dari bahan bakteri plastik ini cukup kuat untuk menembus membran plastik bubble tea yang tersedia secara komersial. Bahkan tetap terjaga keutuhannya setelah direndam dalam air selama 24 jam.
“Pendekatan ini menawarkan solusi yang menjanjikan untuk tantangan pengembangan kemasan ramah lingkungan dan berkelanjutan yang dapat menggantikan plastik sekali pakai dalam skala besar,” kata Ngai.
Para peneliti berencana untuk terus mengerjakan bahan kemasan baru mereka, meningkatkan keserbagunaannya dan mengatasi salah satu kelemahan penggunaan BC, termoplastisitasnya atau kemampuannya untuk dicetak pada suhu tinggi dan kemudian mengeras saat mendingin.
Advertisement