Sukses

Apatride adalah Status Tanpa Kewarganegaraan, Ini Penyebabnya

Apatride adalah status seseorang tanpa kewarganegaraan yang mungkin terjadi karena asas kewarganegaraan yang dianut suatu negara.

Liputan6.com, Jakarta Kewarganegaraan adalah status hukum yang menandakan hubungan antara individu dengan negara. Status kewarganegaraan menentukan hak dan kewajiban sipil seseorang dalam negara tersebut. Apatride adalah status seseorang tanpa kewarganegaraan yang mungkin terjadi karena asas kewarganegaraan yang dianut suatu negara.

Penentuan kewarganegaraan secara umum dilakukan berdasarkan dari dua asas, yaitu asas ius soli dan asas ius sanguinis. Ius berarti hukum atau dalil, sedangkan Soli berasal dari kata Solum yang artinya tanah. Sanguinis berasal dari kata sanguis yang berarti darah. Asas ius sanguinis adalah asas kewarganegaraan yang ditentukan berdasarkan keturunan orang tersebut. Sedangkan asas ius soli adalah kewarganegaraan seseorang yang ditentukan berdasarkan tempat kelahirannya.  

Apatride adalah kondisi yang dapat menjadi masalah dan hambatan bagi warga negara yang mengalaminya. Berikut ulasan Liputan6.com tentang apatride adalah status tanpa kewarganegaraan yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Kamis (6/7/2023).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Apa itu Apatride?

Apatride adalah istilah yang merujuk pada seseorang yang tidak memiliki kewarganegaraan atau negara yang diakui secara hukum. Istilah ini berasal dari kata "a-" yang berarti "tidak" dan "patrida" yang berarti "tanah air" dalam bahasa Yunani. Oleh karena itu, apatride dapat diartikan sebagai seseorang yang tidak memiliki tanah air atau negara tempat ia secara sah diakui sebagai warga negara.

Apatride adalah kondisi yang dapat menimbulkan berbagai masalah dan hambatan bagi individu yang mengalaminya. Tanpa kewarganegaraan, seseorang mungkin tidak memiliki akses ke hak-hak dasar seperti pendidikan, perumahan, kesehatan, dan keamanan sosial. Mereka juga mungkin menghadapi kesulitan dalam bepergian, bekerja, atau mendapatkan dokumen resmi.

Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berupaya untuk mengurangi jumlah apatride di dunia melalui inisiatif dan konvensi. Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1954 dan Konvensi tentang Kewarganegaraan tahun 1961 adalah dua perjanjian internasional yang memberikan kerangka hukum untuk mengatasi masalah apatride dan melindungi hak-hak mereka.

Kenapa Seseorang Memiliki Status Apatride

Penerapan status apatride berbeda di setiap negara karena aturan dan kebijakan kewarganegaraan berbeda di setiap yurisdiksi. Berikut adalah kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan seseorang memiliki status apatride.

1. Perubahan Batas Negara

Jika terjadi perubahan batas negara atau pembubaran negara, seseorang dapat kehilangan kewarganegaraannya tanpa diberikan kewarganegaraan baru oleh negara yang terbentuk. Misalnya, jika negara tempat seseorang tinggal terpecah menjadi beberapa negara yang baru, individu tersebut dapat kehilangan kewarganegaraannya.

2. Konflik Bersenjata

Dalam situasi konflik bersenjata atau perang, seseorang dapat kehilangan dokumen identitas atau negara tempat tinggalnya. Tanpa dokumen yang sah, mereka mungkin tidak dapat membuktikan kewarganegaraan mereka dan akhirnya menjadi apatride.

3. Kebijakan Kewarganegaraan yang Diskriminatif

Beberapa negara menerapkan kebijakan kewarganegaraan yang membatasi atau diskriminatif, seperti mengabaikan kelompok etnis atau agama tertentu. Akibatnya, individu dari kelompok tersebut mungkin tidak diakui sebagai warga negara dan menjadi apatride.

4. Kelahiran dari Orangtua Apatride

Jika kedua orangtua seseorang adalah apatride dan negara tidak memberikan kewarganegaraan otomatis kepada anak yang lahir di wilayahnya, anak tersebut dapat menjadi apatride secara otomatis.

3 dari 4 halaman

Asas Kewarganegaraan yang Berlaku di Indonesia

Terdapat dua stelsel umum yang digunakan oleh pemerintah suatu negara untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang, stelsel aktif dan stelsel pasif. Stelsel aktif melibatkan tindakan hukum yang dilakukan secara aktif oleh seseorang untuk memperoleh kewarganegaraan tertentu. Contohnya adalah proses naturalisasi, di mana individu mengajukan permohonan dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh negara untuk menjadi warga negara.

Stelsel pasif berarti seseorang mendapatkan status kewarganegaraan secara otomatis atau tanpa melakukan tindakan hukum tertentu. Hal ini dapat terjadi berdasarkan hukum yang mengatur keturunan atau tempat kelahiran. Contohnya adalah naturalisasi istimewa, di mana individu memperoleh kewarganegaraan melalui keturunan atau kelahiran di negara tertentu tanpa perlu melakukan proses aktif.

Dalam konteks ini, seorang warga negara memiliki dua hak yang terkait dengan stelsel yang digunakan, yaitu hak opsi dan hak repudiasi. Hak opsi memungkinkan individu untuk memilih dan mengajukan permohonan untuk memperoleh kewarganegaraan tertentu melalui stelsel aktif. Mereka memiliki kebebasan untuk memilih kewarganegaraan yang diinginkan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperolehnya.

Hak repudiasi memungkinkan individu untuk menolak suatu kewarganegaraan yang diberikan secara otomatis atau tanpa tindakan hukum yang aktif. Dalam stelsel pasif, individu memiliki hak untuk menolak atau menolak kewarganegaraan yang diperoleh melalui keturunan atau tempat kelahiran. Penerapan stelsel ini dapat bervariasi di setiap negara, tergantung pada hukum dan kebijakan kewarganegaraan yang berlaku.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia memuat ketentuan mengenai asas-asas tersebut dan peraturan lebih lanjut terkait kewarganegaraan di Indonesia.

1. Asas Ius Sanguinis

Asas ini menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan atau darah, bukan tempat kelahirannya. Jadi, seseorang dapat menjadi warga negara Indonesia jika memiliki salah satu atau kedua orang tua yang merupakan warga negara Indonesia.

2. Asas Ius Soli secara terbatas

Asas ini digunakan dalam batasan tertentu di Indonesia. Artinya, seseorang dapat menjadi warga negara Indonesia jika mereka lahir di wilayah Indonesia, tetapi ketentuan ini dibatasi dan diatur dalam undang-undang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Asas Kewarganegaraan Tunggal

Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, yang berarti seseorang hanya dapat memiliki satu kewarganegaraan, yaitu kewarganegaraan Indonesia.

4. Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas

Indonesia mengakui adanya kewarganegaraan ganda dalam beberapa kasus terbatas, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Hal ini berarti anak-anak tertentu dapat memiliki dua kewarganegaraan, termasuk kewarganegaraan Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4 dari 4 halaman

Hukum Tentang Orang Tanpa Status Kewarganegaraan yang Berlaku di Indonesia

Hukum yang mengatur orang tanpa kewarganegaraan termasuk dalam UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 62 Tahun 1958. Pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh ada orang yang menjadi apatride di Indonesia.

Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 Pasal (10) huruf (f)  juga menjelaskan upaya untuk mencegah terjadinya apatride. Pasal tersebut menyatakan bahwa anak yang lahir di wilayah Indonesia akan dianggap sebagai warga negara Indonesia, selama orang tua anak tersebut tidak diketahui kewarganegaraannya.

Dengan demikian, UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 di Indonesia memberikan jaminan bahwa setiap orang memiliki hak atas status kewarganegaraan dan mengupayakan untuk mencegah status apatride dengan mengakui anak yang lahir di wilayah Indonesia sebagai warga negara Indonesia, meskipun orang tuanya tidak diketahui kewarganegaraannya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.