Liputan6.com, Jakarta Bulan Muharram atau dalam penanggalan Jawa disebut bulan Suro akan segera datang. Bulan Muharram atau bulan Suro sering kali dikaitkan dengan kepercayaan mistis dan berbagai pantangan karena dipercaya dapat membawa malapetaka.
Baca Juga
Advertisement
Salah satu pantangan yang sering dibicarakan adalah larangan menikah di bulan Muharram. Beberapa kepercayaan turun-temurun meyakini bahwa pasangan yang menikah di bulan Muharram akan menghadapi nasib buruk.
Nasib buruk ini beragam, mulai dari masalah keuangan, kecelakaan, penyakit serius, hingga kematian. Maka tidak mengherankan jika biasanya menjelang bulan Dzulhijjah berakhir, akan ada banyak pesta pernikahan.
Namun, dalam perspektif Islam, apakah benar-benar ada larangan untuk menikah di bulan Muharram? simak penjelasan selengkapnya berikut ini seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai Sumber, Rabu (12/7/2023).
Keyakinan tentang Adanya Hari Sial
Sebagian masyarakat ada yang masih percaya bahwa ada hari atau waktu-waktu tertentu yang dinilai buruk karena dapat mendatangkan malapetaka. Misalnya saja bulan Muharram atau bulan Suro.
Sebagian masyarakat di Indonesia, khususnya Jawa meyakini bahwa bulan Muharram atau bulan Suro terdapat pantangan untuk melakukan hajatan, ini termasuk pantangan untuk menikah. Pasangan yang menikah di bulan Muharram diyakini akan menghadapi nasib buruk.
Kepercayaan terhadap hari sial seperti pantangan menikah di bulan Muharram ternyata tidak hanya ada di tengah masyarakat Jawa saja. Keyakinan akan adanya hari-hari yang membawa kesialan atau petaka dapat ditelusuri sejak zaman jahiliyah.
Beberapa hari tertentu dianggap sebagai hari yang membawa kesialan, seperti Rabu terakhir setiap bulan. Meskipun Islam telah datang, kepercayaan ini masih ada dan bertahan hingga saat ini.
Dalam interaksi sosial, seringkali kita mendengar tentang kejadian-kejadian yang dianggap sebagai kesialan sesuai dengan tanda-tandanya, yang kemudian menyarankan untuk menghindarinya.
Berbagai pendapat tentang bahaya hari-hari sial dan tanda-tandanya semakin memperkuat keyakinan bahwa hari-hari sial benar-benar ada. Namun, di sisi lain, ada juga orang-orang yang sama sekali tidak mempedulikan atau terpengaruh oleh hari-hari sial atau tanda-tanda kesialan tersebut.
Advertisement
Meyakini Adanya Hari Sial Seolah Mencela Allah
Dalam pandangan Islam, menganggap adanya hari sial, termasuk pantangan menikah di bulan Muharram, sama saja mencela Allah. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لا تَسُبُّوا الدَّهْرَ، فإنَّ اللَّهَ هو الدَّهْرُ
“Jangan mencela ad-dahr (waktu), karena Allah adalah ad-dahr” (HR. Muslim no. 2246).
Maksud dari “Allah adalah ad-dahr” dijelaskan dalam hadis lain. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لا تسبوا الدهر، فإن الله عز وجل قال: أنا الدهر: الأيام والليالي لي أجددها وأبليها وآتي بملوك بعد ملوك
“Jangan mencela ad-dahr (waktu), karena Allah ‘azza wa jalla berfirman: Aku adalah ad-dahr, siang dan malam adalah kepunyaan-Ku, Aku yang memperbaharuinya dan membuatnya usang. Dan Aku pula yang mendatangkan para raja yang saling bergantian berkuasa” (HR. Ahmad no.22605, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 532).
Meyakini Adanya Hari Sial Dapat Merusak Akidah
Tidak hanya dianggap sebagai bentuk celaan kepada Allah, meyakini adanya hari sial juga dapat merusak akidah. Sebab, kesialan atau keberuntungan itu hanya bisa diberikan oleh Allah semata berdasarkan sifat irâdah atau sifat Maha Berkehendak Bebas.
Ketentuan beruntung atau sialnya seseorang sudah ditulis di Lauh Mahfudz sejak alam belum tercipta. Sama sekali tak ada hubungannya dengan hari atau momen tertentu.
Orang yang mempercayai adanya hari-hari sial biasanya mengandalkan ramalan dukun, peramal, perhitungan weton, perhitungan primbon, atau praktik serupa yang terkait dengan kegiatan perdukunan. Namun, perlu diingat bahwa praktik perdukunan secara jelas bertentangan dengan ajaran agama dan dianggap sebagai tindakan kekufuran.
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau mendatangi tukang ramal, kemudian ia membenarkannya, maka ia telah kufur pada apa yang telah diturunkan kepada Muhammad” (HR. Ahmad no. 9536, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5939).
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa meyakini adanya hari sial seperti pantangan atau larangan menikah di bulan Muharram adalah salah satu bentuk kekufuran. Oleh karena itu, penting bagi seorang Muslim untuk menempatkan keyakinannya kepada takdir Allah dalam menghadapi segala nikmat dan cobaan, bukan pada ramalan-ramalan.
Kita sebaiknya hanya bersandar kepada Allah, memohon kemudahan dan pertolongan-Nya dalam setiap urusan. Jika Allah menghendaki kelancaran dan kemudahan, maka hendaknya kita bersyukur.
Advertisement
Adakah larangan menikah di waktu tertentu dalam pandangan Islam?
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Islam tidak meyakini adanya hari baik atau hari sial. Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang produk halal Amidhan Shaberah, seperti dikutip dari Merdeka.com, bahwa Tidak ada larangan menikah di bulan manapun, termasuk bulan Suro.
Larangan tersebut hanya merupakan tradisi yang berlaku di beberapa wilayah, seperti di masyarakat Jawa. Sebenarnya tidak ada bulan yang dianggap haram, semua bulan memiliki kebaikan sendiri.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa memang ada beberapa hari di mana seseorang tidak diperbolehkan untuk menikah, tapi tidak di dalam bulan Muharram atau bulan Suro.
Dalam ajaran agama Islam, seseorang dilarang menikah ketika dia sedang melaksanakan ibadah haji atau berihram. Larangan untuk menikah tersebut bukan karena adanya malapetaka yang mengancam, melainkan karena menikah adalah salah satu hal yang dapat membatalkan ibadah haji.
Aturan pernikahan dalam Islam tidak pernah terkait dengan waktu tertentu. Tidak ada petunjuk atau dalil yang melarang pernikahan pada waktu-waktu tertentu. Dengan kata lain, dapat dipastikan bahwa pernikahan yang dilakukan pada bulan Muharram atau bulan Suro tetap diperbolehkan dalam Islam.
Pernikahan yang Dilarang Oleh Islam
Dalam ajaran agama Islam, memang tidak ada larangan menikah yang terkait dengan waktu. Dengan kata lain, Islam mengizinkan pemeluknya untuk melangsungkan pernikahan kapan saja, di bulan atau hari apa pun, termasuk bulan Muharram. Kendati demikian, dalam Islam memang ada sejumlah larangan menikah, selain karena sedang berihram. Adapun larangan menikah ini lebih berkaitan pada kondisi yang menyebabkan pernikahan tidak diperbolehkan.
Ada beberapa jenis pernikahan yang dilarang dalam Islam. Pertama, nikah asy Syighar, yaitu pernikahan di mana seorang pria menikahi gadis dengan syarat ia juga harus menikahi gadis yang diurusnya. Pernikahan semacam ini dianggap tidak sah dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam Islam.
Kedua, nikah mut'ah, yaitu pernikahan sementara dengan batasan waktu tertentu yang bertentangan dengan konsep pernikahan yang abadi dalam Islam. Ketiga, nikah muhallil, yaitu pernikahan yang dilakukan setelah seorang suami menceraikan istrinya tiga kali dan sang istri menikah dengan pria lain, namun mereka bercerai sebelum melakukan hubungan suami-istri. Jenis pernikahan ini digunakan untuk menghalalkan apa yang sebelumnya diharamkan oleh Allah. Semua jenis pernikahan ini dilarang dan bertentangan dengan ajaran Islam.
Advertisement