Sukses

1 Muharram Apakah Sama dengan 1 Suro? Simak Penjelasannya

1 Muharram dan 1 Suro merujuk pada sistem penanggalan yang sama, yaitu tahun Hijriah.

Liputan6.com, Jakarta - Apakah 1 Muharram sama dengan 1 Suro? 1 Muharram dan 1 Suro merujuk pada sistem penanggalan yang sama, yaitu tahun Hijriah. Ini menandai waktu Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah. Begitu pula menandai pertama kalinya pihak keraton memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa.

Namun, meskipun memiliki kesamaan dalam sistem penanggalan, amalan yang dilakukan oleh umat Muslim di 1 Muharram berbeda dengan masyarakat Jawa di 1 Suro. Umat Muslim mengistimewakan bulan Muharram secara keseluruhan, bukan hanya tanggal 1 Muharram saja. Bulan Muharram dianggap istimewa dan berpahala tinggi, sehingga umat Muslim lebih menekankan pentingnya berpuasa di bulan ini secara keseluruhan.

Di sisi lain, masyarakat Jawa lebih mengistimewakan malam 1 Suro daripada hari-hari lainnya dalam bulan Suro. Malam 1 Suro dianggap sebagai momen yang sakral dan penuh makna, sehingga masyarakat Jawa melakukan upacara dan ritual khusus untuk menghormati peringatan ini.

Perbedaan lainnya terletak pada amalan-amalan yang dilakukan di 1 Muharram dan 1 Suro. Umat Muslim, terutama dalam agama Islam, cenderung tidak menekankan adanya amalan khusus pada tanggal 1 Muharram, namun lebih menitikberatkan pada ibadah puasa di seluruh bulan Muharram. Di sisi lain, masyarakat Jawa memiliki larangan-larangan khusus di malam 1 Suro, seperti larangan menikah, membangun rumah, dan berbicara, yang dipercaya akan membawa kesialan bagi yang melanggar.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang apakah 1 Muharram sama dengan 1 Suro yang dimaksudkan, Selasa (18/7/2023).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Persamaan dan Perbedaannya

1 Muharram dan 1 Suro adalah sistem penanggalan yang sama, yakni penanggalan Hijriah. Akan tetapi memiliki perbedaan dalam amalan-amalan yang dilakukan meskipun keduanya bertujuan untuk memperingati tahun baru Islam. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menjelaskan bahwa malam 1 Suro dalam kalender Jawa berawal dari inisiatif pihak keraton untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa.

Sementara itu, 1 Muharram adalah peringatan tahun baru Islam dalam kalender Hijriah yang menggunakan penamaan bulan Islam.

Perhitungan kalender Hijriah atau tahun baru Hijriah dengan nama bulan Islam, termasuk Muharram, didasarkan pada rotasi bulan yang berlawanan dengan rotasi matahari. Akibatnya, hari-hari besar Islam, termasuk 1 Muharram, dapat terjadi pada musim-musim yang berbeda. Hal ini dijelaskan dalam buku "Mengenal Nama Bulan dalam kalender Hijriyah" karya Ida Fitri Shohibah.

Malam 1 Suro pertama kali diterbitkan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo dengan mengacu pada penanggalan Hijriyah (Islam). Saat ini beberapa daerah di Pulau Jawa seperti Keraton Surakarta dan Yogyakarta masih merayakan malam 1 Suro dengan laku atau lampah bathin dan prihatin.

Amalan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dalam memperingati 1 Suro memiliki perbedaan dengan amalan-aman yang dilakukan oleh umat Islam pada umumnya untuk menyambut tahun baru 1 Muharram. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Solo menggambarkan malam 1 Suro sebagai malam yang sakral dan penuh refleksi. Namun, dalam pandangan Islam, bukanlah tanggal 1 Muharram yang istimewa, melainkan bulan Muharram secara keseluruhan yang memiliki nilai dan keutamaan.

Puasa di bulan Muharram dianggap sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan, menurut hadis riwayat Muslim. “Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram, dan sebaik-baik sholat setelah sholat fardhu adalah sholat malam.” (HR Muslim)

Dalam buku "Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa" karya Muhammad Solikhin, dijelaskan bahwa peringatan malam 1 Suro masing-masing rutin dilakukan oleh masyarakat Jawa dari keraton Solo dan Yogyakarta dengan melibatkan upacara dan ritual yang sarat makna sakral.

Di malam 1 Suro, masyarakat Jawa meyakini adanya larangan tertentu, seperti larangan menikah, membangun rumah, pindah rumah, dan berbicara. Mereka percaya bahwa melanggar larangan ini akan mendatangkan kesialan dalam hidup.

Sementara itu, dalam kitab "Al-Mu'jamus Saghir," yang mengutip hadis yang diriwayatkan oleh At-Thabarani, dijelaskan =seseorang yang berpuasa sehari di bulan Muharram akan mendapatkan pahala puasa selama 30 hari. Hal ini menegaskan bahwa puasa pada tanggal 1 Muharram secara khusus tidak ditekankan, melainkan puasa sepanjang bulan Muharram secara keseluruhan yang memberikan pahala besar.

3 dari 4 halaman

Amalan 1 Suro

Malam 1 Suro merupakan momen yang memiliki larangan-larangan khusus, terutama bagi masyarakat di Solo dan Yogyakarta. Mengapa larangan malam satu Suro ini ada? Dalam buku berjudul Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010) oleh Wahyana Giri, malam 1 Suro adalah malam yang suci serta bulannya penuh rahmat.

1. Dilarang Menikah

Salah satunya adalah larangan menikah di malam tersebut karena diyakini akan mendatangkan malapetaka bagi pasangan pengantin dan seluruh orang yang terlibat dalam acara pernikahan. Dalam buku "Panduan Syahadat" karya Taufiqurrohman menjelaskan bahwa mengadakan hajatan pernikahan di bulan Suro dapat membawa kesialan.

Selain itu, masyarakat juga mengaitkan larangan tersebut dengan keyakinan bahwa bulan Suro adalah bulan "menantu" bagi Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan. Maka dari itu, mengadakan pernikahan di malam satu Suro dapat membuat penguasa laut tersebut murka dan meminta tumbal.

2. Dilarang Berbicara

Larangan paling sakral di malam 1 Suro adalah "Tapa Bisu," yaitu larangan berbicara. Masyarakat di Solo dan Yogyakarta masih banyak yang mematuhi larangan ini, terutama di sekitar lingkungan keraton. Dipercayai bahwa selama bulan Suro, segala ucapan dikabulkan, sehingga masyarakat dilarang berbicara hal-hal yang tidak penting, buruk, bahkan memanjatkan doa buruk. Selain berbicara, larangan lainnya termasuk makan, minum, dan merokok.

3. Mubeng Benteng

Di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dalam peringatan malam 1 Suro, masyarakat melakukan ritual mubeng beteng dengan mengelilingi benteng kraton. Selama ritual ini, larangan berbicara seperti saat orang sedang bertapa diberlakukan, dan hal ini dikenal sebagai tapa mbisu mubeng beteng.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menjelaskan, di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada peringatan malam satu Suro, melakukan arak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual mubeng beteng inilah masyarakat tidak diperkenankan berbicara.

4. Tidak Boleh Membangun Rumah

Larangan lainnya adalah tidak diperkenankan membangun rumah di malam satu Suro karena dipercayai akan membawa kesialan, seperti sakit, penderitaan, dan seretnya rezeki. Pindah rumah juga dianggap sebagai pamali dan dapat mendatangkan kesialan serupa dengan melanggar larangan membangun rumah.

5. Tidak Boleh Keluar Rumah

Masyarakat Jawa juga meyakini larangan untuk keluar rumah di malam satu Suro. Mereka percaya bahwa arwah leluhur yang sudah meninggal akan datang kembali ke rumah keluarganya pada malam ini, dan banyak jin yang berkeliaran yang dapat mencelakai manusia.

6. Tidak Boleh Menggelar Hajatan Lainnya 

Selain larangan menikah, perayaan hajatan lainnya seperti sunatan atau kelahiran juga tidak diperbolehkan di malam satu Suro. Beberapa orang Jawa Islam percaya bahwa malam ini merupakan momen suci dan penuh rahmat. Ini karena di 1 Suro dianggap waktu tepat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan membersihkan diri dan melawan nafsu manusiawi.

 

4 dari 4 halaman

Amalan 1 Muharram

Bulan Muharram memiliki makna historis yang sangat penting bagi umat Islam karena menandai waktu Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah. Oleh karena itu, berpuasa di bulan Muharram dianggap sebagai ibadah yang sangat dianjurkan dan penuh keberkahan.

Puasa pada bulan ini memiliki pahala yang dilipatgandakan, dan ada dua puasa yang khusus dianjurkan dalam bulan ini, yaitu puasa Tasua pada tanggal 9 Muharram dan puasa Asyura pada tanggal 10 Muharram. Kedua puasa ini dianggap memiliki pahala besar dan dapat menghapus dosa-dosa masa lalu.

Menurut Al Mardawi dalam kitab Al Inshaf, puasa Tasua dan Asyura pada tanggal 9 dan 10 Muharram dianggap sebagai puasa yang paling utama di bulan ini.

Sangat penting untuk diingat bahwa puasa pada tanggal 1 Muharram dan hari-hari lainnya dalam bulan Muharram juga memiliki keutamaan dan pahala. Para jumhur ulama menyatakan bahwa hukum puasa pada tanggal 1 Muharram adalah boleh dilakukan, selama tidak ada niat untuk mengkhususkan 1 Muharram dan meyakini keistimewaannya dibandingkan dengan hari-hari lainnya.

Dalam hal ini, yang paling utama adalah menunaikan puasa di bulan Muharram secara keseluruhan, bukan hanya mengistimewakan tanggal 1 Muharram saja.

Hukum puasa pada tanggal 1 Muharram dan hari-hari lainnya dalam bulan Muharram adalah boleh, selama niatnya untuk melakukan puasa sunnah seperti puasa senin-kamis, puasa ayyamul bidh (puasa pada 3 hari tanggal 14, 15, dan 16 setiap bulan), puasa Qada, dan puasa sunnah lain yang memiliki dalil yang jelas. Demikian, para Muslim diberikan kebebasan untuk berpuasa pada tanggal 1 Muharram dan hari-hari lainnya dalam bulan Muharram sebagai bentuk ibadah sunnah.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.