Liputan6.com, Jakarta - Haya adalah sifat pemalu yang harus dimiliki umat Muslim. Istilah haya adalah berasal dari bahasa Arab al-haya, yang secara etimologis berarti taubat dan menahan diri. Dalam agama Islam, sifat haya adalah mencerminkan kesadaran dan penghormatan terhadap Allah serta kesadaran akan batasan-batasan yang ditetapkan-Nya.
"Rasa malu adalah cabang dari keimanan." (Shahih: HR. Bukhari 24, 6118, Muslim 36, Ahmad II/9, Abu Dawud 4795, at-Tirmidzi 2516, an-Nasa-i VIII/121, Ibnu Majah 58, dan Ibnu Hibban 610).
Seorang yang memiliki sifat haya, pasti akan menghindari perilaku dosa, melanggar norma agama, atau berbuat sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sifat pemalu ini juga mendorong individu untuk menjaga reputasi dan integritas diri, serta berusaha untuk selalu bertindak dengan penuh kesadaran atas akibat perbuatan yang dilakukannya.
Advertisement
Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang haya adalah sifat pemalu, Selasa (1/8/2023).
Sifat Pemalu
Haya atau al-haya, merupakan sifat pemalu yang sangat dihargai dan dianjurkan dalam ajaran agama. Istilah ini berasal dari bahasa Arab al-haya, yang secara etimologis berarti taubat dan menahan diri. Konsep haya artinya memiliki peran penting dalam membentuk karakter seorang mukmin yang kuat, teguh, beradab, dan tenang.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari hadits Anas, Nabi Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan pesan sebagai berikut: "Setiap agama memiliki ciri khas akhlaknya, dan ciri khas akhlak dalam Islam adalah rasa malu." (HR. Ibnu Majah).
Menurut Ibnu Fadl Hamaluddin dalam kitab Lisaanul Arab, Jilid 14, sifat haya adalah lumrah atau hal yang wajar dalam tarbiyah (pembinaan spiritual). Haya adalah rasa malu yang didorong oleh rasa hormat dan segan terhadap Allah, sehingga seseorang menghindari perbuatan yang dapat membuatnya terhina atau melanggar prinsip syariat.
Cabang dari Keimanan
"Rasa malu adalah cabang dari keimanan." (Shahih: HR. Bukhari 24, 6118, Muslim 36, Ahmad II/9, Abu Dawud 4795, at-Tirmidzi 2516, an-Nasa-i VIII/121, Ibnu Majah 58, dan Ibnu Hibban 610).
Dalam jurnal penelitian berjudul "Al-Haya’ Dalam Perspektif Psikologi Islam: Kajian Konsep Dan Empiris (2020)" oleh Cintami Farmawati, al-haya’ dijelaskan sebagai karakter malu yang mendorong seseorang untuk mengurungkan niatnya dalam melakukan suatu perbuatan karena menyadari akibat buruk yang dapat merendahkan harkat dirinya di mata orang yang dihormati. Al-haya’ berfungsi sebagai penjaga moral dan etika, memastikan individu berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsip agama.
Keutamaan Memilikinya
Pentingnya malu atau haya dalam Islam tercermin dalam keyakinan bahwa Allah dipercayai memiliki rasa malu. Rasulullah SAW sangat menekankan umat Islam untuk menghiasi diri dengan rasa malu, karena hal ini merupakan ciri keutamaan dan kemuliaan karakter seorang mukmin.
"Allah sungguh Maha Hidup dan Maha Mulia, Dia merasa malu jika seseorang mengangkat kedua tangannya dalam doa kepada-Nya, kemudian kembali dengan tangan kosong tanpa membawa hasil." (HR. Tirmidzi & Baihaqi).
Haya adalah sebagai akibat dari melanggar aturan agama, kurang bersungguh-sungguh dalam menyembah Allah, rasa hormat terhadap-Nya, ingin memuliakan orang lain, kekerabatan, merasa hina dan kecil di hadapan-Nya, cinta kepada Allah, dalam rangka beribadah, dan sebagai wujud penghargaan terhadap kemuliaan dan harga diri.
Kepemilikan sifat haya, individu dapat mengembangkan kesadaran diri yang lebih baik, menghindari perbuatan dosa, dan memperkuat hubungan spiritual dengan Allah. Haya juga berperan dalam membangun tata kelola masyarakat yang lebih santun dan beradab, karena individu yang memiliki sifat haya akan berusaha untuk tidak melanggar norma-norma sosial yang berlaku.
Advertisement
Macam-Macamnya
Pengadilan Agama Tasikmalaya melalui Dedi Jamaludin, Lc., menjelaskan ada tiga macam sifat pemalu atau sifat haya yang perlu dimiliki umat Muslim. Di antaranya:
1. Malu kepada Allah SWT
Malu adalah sifat yang seharusnya dimiliki oleh setiap makhluk Allah. Rasa malu kepada Allah mengajarkan kita untuk selalu berperilaku dengan taat dan tulus ikhlas dalam melaksanakan segala perintah-Nya. Melalui ibadah seperti sholat dan puasa, serta meninggalkan segala bentuk maksiat, kita mengekspresikan rasa malu kepada Allah sebagai bentuk penghormatan dan ketaatan.
Menariknya, Allah juga memiliki sifat malu terhadap hamba-Nya yang berdoa dengan tulus dan sungguh-sungguh. Allah merasa malu untuk menolak permohonan dari hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya dalam doa, sekecil apapun itu. Ini menunjukkan betapa Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang terhadap hamba-Nya yang berdoa dengan ikhlas.
"Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Allah sangat malu untuk menolak permohonan seorang hamba-Nya yang menengadahkan kedua tangan sambil berdoa kepada-Nya sekecil apa pun itu." (HR. Tirmidzi)
Sifat malu Allah juga tercermin dalam anjuran-Nya bagi kita untuk selalu berpakaian dengan sopan dan menutup aurat. Allah Maha Pemalu dan Maha Penutup segala kejelekan, sehingga kita diajarkan untuk senantiasa menjaga kesopanan dalam berpakaian sebagai bentuk penghormatan kepada-Nya.
2. Malu kepada diri sendiri
Selanjutnya, malu terhadap diri sendiri adalah sifat malu ketika kita dihadapkan pada hal-hal pribadi dan tersembunyi. Seorang yang memiliki rasa malu terhadap dirinya sendiri akan berusaha untuk menghindari perbuatan maksiat, baik di tempat umum maupun di tempat tersembunyi. Malu terhadap diri sendiri adalah bentuk introspeksi diri yang membuat kita lebih sadar dan berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Orang yang memiliki rasa malu terhadap diri sendiri dapat diibaratkan seperti malaikat dan iblis yang saling membisikkan. Malaikat mengajak kita untuk berbuat baik dan mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan iblis menggoda kita untuk berbuat maksiat dan menjauhkan diri dari-Nya. Saat seseorang memilih untuk menahan diri dari perbuatan maksiat, itu menandakan bahwa ia memiliki rasa malu terhadap diri sendiri dan mencoba mengalahkan godaan iblis.
Malu terhadap diri sendiri juga mengajarkan kita untuk tidak memperlihatkan aib dan kesalahan kita kepada orang lain. Ketika kita melakukan perbuatan maksiat, Allah mengetahuinya dan Dia menutupi kesalahan kita. Oleh karena itu, sepatutnya kita tidak membuka aib sendiri kepada orang lain. Dengan demikian, kita juga tidak ikut mengajak orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama.
3. Malu kepada sesama makhluk
Malu terhadap sesama makhluk adalah sifat terpuji yang akan diampuni dosanya oleh Allah. Ketika kita mengetahui perbuatan maksiat seseorang, sepatutnya kita tidak membeberkannya kepada khalayak umum. Menceritakan aib dan maksiat orang lain hanya akan menyebabkan kerugian bagi diri kita dan masyarakat. Selain itu, mengungkapkan aib orang lain adalah tindakan buruk yang dapat merusak hubungan sosial dan mencemarkan reputasi seseorang.
"Sesungguhnya seluruh umatku akan diampuni (pada hari kiamat) kecuali al-Mujahirun. (Apakah al-Mujahirun itu?), al-Mujahirun adalah orang yang melakukan perbuatan maksiat di malam hari (sampai terbitlah pagi). Sesungguhnya Allah telah mengetahui perbuatan (fulan tersebut) dan Allah juga yang menutupi perbuatan maksiatnya, akan tetapi justru (fulanlah) membuka satir yang telah Allah berikan kepadanya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis, disebutkan bahwa orang yang membeberkan aib orang lain adalah orang yang tidak akan diampuni dosanya. Oleh karena itu, kita diajarkan untuk senantiasa menjaga rasa malu terhadap sesama makhluk dan tidak ikut menyebarkan aib orang lain. Sebagai Muslim, kita harus berusaha untuk selalu mengembangkan sifat malu yang benar dalam segala aspek kehidupan kita, baik dalam hubungan dengan Allah, diri sendiri, maupun sesama makhluk.