Sukses

Kisah Ibunya Nabi Musa yang Rela Menghanyutkan Bayinya di Sungai Nil

Selain Nabi Musa yang hidup pada zaman Firaun yang tamak dan kejam, ibunya Nabi Musa juga banyak menjadi tauladan karena ketabahannya menjalankan takdir yang sudah digariskan Allah SWT.

Liputan6.com, Jakarta Nabi Musa AS menjadi salah satu nabi yang namanya tercantum dalam Al-Quran. Selain sosoknya yang hidup pada zaman Firaun yang tamak dan kejam, ibunya Nabi Musa juga banyak menjadi tauladan karena ketabahannya menjalankan takdir yang sudah digariskan Allah SWT.

Ibunya Nabi Musa terkenal karena rela menghanyutkan putranya, Musa, saat masih bayi. Tujuan ibunya Nabi Musa melakukan hal tersebut adalah menyelamatkan bayinya dari Raja Firaun yang memerintahkan untuk membunuh semua bayi laki-laki kaum Bani Israil. Berikut kisang ibunya Nabi Musa yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Senin (7/8/2023).

2 dari 3 halaman

Silsilah Keluarga Nabi Musa

Nabi Musa lahir di Mesir sekitar tahun 1527 SM, pada masa kekuasaan Ramses II atau yang dikenal sebagai Firaun. Nama Nabi Musa disebutkan sebanyak 136 kali di dalam Al-Quran.

Nama lengkap Nabi Musa adalah Musa bin Imran bin Fahis bin ‘Azir bin Lawi bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim bin Azara bin Nahur bin Suruj bin Ra’u bin Falij bin ‘Abir bin Syalih bin Arfahsad bin Syam bin Nuh. Ini menunjukkan silsilah keluarga Nabi Musa yang berasal dari garis keturunan yang mulai dari Nuh (Noah) dalam tradisi agama Yahudi dan Islam.

Siapa nama ibunya nabi Musa masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Ada sumber yang mengatakan nama ibunda Nabi Musa adalah Yukabad, namun ada pendapat lain yang menyebutkan namanya adalah Yuhanaz Bilzal. Namun, nama Yukabad lebih umum dikenal dalam kisah tradisional.

Nabi Musa adalah seorang pemimpin dan nabi bagi orang Israel. Salah satu tugas utamanya adalah membawa Bani Israil (kaum Israel) keluar dari Mesir, yang dikenal sebagai peristiwa Keluar dari Mesir atau Paskah Yahudi. Nabi Musa memiliki peran penting dalam membimbing orang-orang Israel dalam perjalanan mereka menuju Tanah Perjanjian.

Nabi Musa menikah dengan putri Syu’aib yang bernama Shafura (dalam variasi penulisan lain seperti Shafrawa, Safora, Zepoporah). Mereka memiliki empat orang anak, Alozar, Fakhfakh, Mitha, Yasin, Ilyas.

Dalam kisah perjalanan Nabi Muhammad SAW melintasi langit-langit pada peristiwa Isra' Mi'raj (perjalanan malam dan naik ke langit), Beliau melihat Nabi Musa dengan ciri-ciri fisik tertentu. Nabi Musa digambarkan memiliki postur tinggi dan kekar, berambut lebat, berjenggot putih dan panjang hingga menutupi dadanya, serta memegang tongkat.

3 dari 3 halaman

Ibunda Nabi Musa Menghanyutkan Bayinya Agar Selamat

Pada suatu masa di Mesir, Firaun memegang kekuasaan mutlak dan dianggap sebagai entitas Tuhan. Namun, suatu ramalan menggegerkan suasana; ramalan ini meramalkan kelahiran seorang bayi laki-laki dari Bani Israil, yang kelak akan menjadi musuh Firaun dan menghadirkan ancaman bagi kekuasaannya. Terbawa oleh keyakinannya akan ramalan tersebut, Firaun mengeluarkan perintah kejam untuk membunuh semua bayi laki-laki yang dilahirkan pada tahun-tahun yang diindikasikan dalam ramalan.

Namun, kehendak Allah SWT tidak tergoyahkan oleh keputusan manusia. Ketika ibunda Nabi Musa melahirkan anaknya, ia menghadapi pilihan sulit. Namun, dengan bantuan Allah, ia berhasil merayu bidan yang membantunya, agar tidak melaporkan kelahiran bayi tersebut kepada Firaun. Ia memelihara bayi itu dan menyusui dengan rasa cemas yang tak terelakkan.

Dalam suasana ketidakpastian ini, Allah SWT memberikan ilham kepada ibu tersebut. Ilham tersebut mengarahkannya untuk meletakkan bayinya dalam sebuah peti dan melepaskannya di Sungai Nil. Allah menenangkan hatinya dengan janji-Nya bahwa bayi tersebut akan selamat, akan dikembalikan kepadanya, dan bahkan akan diangkat sebagai seorang rasul.

Bersama keberanian yang berasal dari kepercayaan kepada Allah, ibu Nabi Musa tunduk pada kehendak-Nya. Ia meletakkan peti yang berisi bayinya ke dalam Sungai Nil, mengikuti petunjuk Allah. Ia juga meminta kakak Nabi Musa untuk mengawasi perjalanan peti tersebut, agar ia dapat mengetahui takdir anaknya.

Peti tersebut kemudian ditemukan oleh Asiyah, istri Firaun. Tergerak oleh belas kasihan, Asiyah mengambil bayi tersebut. Ketika Firaun mendengar kabar ini, rasa takut pun menyergapnya. Ia menyadari bahwa bayi ini mungkinlah ancaman yang diramalkan. Namun, Asiyah memiliki pandangan yang berbeda. Dengan penuh empati, ia berbicara pada Firaun dan menyatakan bahwa bayi tersebut seharusnya tidak dibunuh. Ia mengusulkan agar mereka mengambil bayi sebagai anak, dengan harapan bayi itu kelak akan bermanfaat dan menciptakan perubahan positif.

Dengan kehendak Allah yang maha kuasa, jalan untuk melaksanakan takdir tersebut pun dibukakan. Bayi tersebut diberi nama Musa dan diangkat oleh keluarga Firaun. Kisah ini mengilustrasikan bagaimana kepercayaan kepada Allah melampaui ketidakpastian dan ketakutan manusia. Peristiwa ini juga menunjukkan bagaimana Allah menentukan takdir manusia dalam melindungi hamba-hamba-Nya dan membimbing mereka menuju peran yang telah ditentukan dalam perjalanan hidup mereka.

 

Â