Liputan6.com, Jakarta Bagaimana pemikiran pembaruan yang digagas oleh Jamaluddin Al Afghani mempengaruhi masyarakat Islam menjadi salah satu topik yang banyak dibahas dalam konteks berbagai konteks kehidupan muslim. Jamaluddin Al Afghani merupakan salah satu tokoh pembaharu pada era Islam modern yang pemikirannya banyak diterapkan hingga sekarang.
Baca Juga
Advertisement
Jamaluddin Al Afghani memang dikenal sebagai seorang pemikir yang sangat berpengaruh. Bagaimana pemikiran pembaruan yang digagas oleh Jamaluddin Al Afghani memberikan dampak yang signifikan pada transformasi masyarakat Islam saat ini. Pemikiran tersebut secara keseluruhan mengajarkan agar semua umat Islam seluruh dunia bersatu, untuk membebaskan mereka dari perbudakan asing.
Pemikiran Jamaluddin Al Afghani kemudian dikenal sebagai Pan-Islamisme. Berikut ulasan tentang bagaimana pemikiran pembaruan yang digagas oleh Jamaluddin Al Afghani memberi dampak pada masyarakat Islam modern, dirangkum Liputan6.com dari Jurnal Diskursus Islam Volume 7 Nomor 1 yang terbit pada April 2019 berjudul “Jamaluddin Al Afghani (Pan-Islamisme dan Ide Lainnya)”, Selasa (8/8/2023).
Mengenal Jamaludin Al Afgani
Jamaluddin Al Afghani, adalah seorang tokoh intelektual dan politik terkenal dari dunia Muslim pada abad ke-19. Ia dilahirkan dengan nama lengkap Sayyid Jamaluddin al Afghani bin Safar. Ia memiliki silsilah keturunan yang terhubung dengan Sayyid Ali al Tirmidzi, yang merupakan garis keturunan yang dapat ditelusuri hingga pada Husain bin Ali bin Abi Thalib. Gelar "Sayyid" menunjukkan bahwa ia berasal dari garis keturunan Nabi Muhammad SAW.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai tempat lahir Jamaluddin Al Afghani. Ada dua versi yang berbeda. Harun Nasution menyatakan bahwa ia lahir di Afghanistan pada tahun 1839 dan wafat di Istanbul pada tahun 1897. Namun, Nurcholish Madjid, Cyrill Glasse, dan Jamil Ahmad menyebutkan bahwa ia lahir di Asadabi, Iran (Persia).
Pendidikan awal Jamaluddin Al Afghani diberikan oleh ayahnya sendiri. Sejak kecil, ia diajarkan untuk mengaji Al-Qur'an, memahami bahasa Arab, sejarah, dan agama. Ayahnya juga membawa seorang guru yang mengajarkan ilmu Tafsir, Hadis, Fiqih, Tasawwuf, dan aspek-aspek spiritualitas.
Dengan kecerdasan yang luar biasa, pada usia sekitar 18 tahun, Jamaluddin Al Afghani telah menguasai berbagai cabang ilmu Islam dan pengetahuan lainnya, termasuk filsafat, ushul fiqh, sejarah, metafisika, tasawwuf, kedokteran, sains, mistisisme, astronomi, dan astrologi. Ia juga fasih berbicara dalam beberapa bahasa, termasuk Arab, Persia, Turki, Rusia, Inggris, dan Rushton.
Advertisement
Pemikiran Jamaludin Al Afgani
Meskipun Al Afghani banyak terlibat dalam kegiatan politik, pemikirannya berangkat dari motivasi agama. Meskipun beberapa pandangan menyebutkan bahwa ia lebih fokus pada politik daripada agama, pernyataan ini disanggah dengan alasan bahwa keseriusan dan kesungguhannya dalam politik berasal dari keyakinannya terhadap agama.
Al Afghani menganggap penjajahan Barat sebagai musuh utama, yang ia lihat sebagai kelanjutan dari perang salib. Pemikiran ini mengarah pada keyakinannya bahwa umat Islam perlu bersatu untuk melawan penjajahan di mana pun dan kapan pun. Konsep utama dalam pemikiran Al Afghani adalah Pan-Islamisme, yang mendorong persatuan seluruh umat Islam di seluruh dunia. Ini bukan hanya tentang menggabungkan kerajaan-kerajaan Islam, tetapi lebih tentang memiliki pandangan hidup yang seragam dan solidaritas di antara semua umat Muslim.
Selain menentang penetrasi Eropa dan penjajahan, Al Afghani juga memiliki aspek reformasi internal. Ia menyerukan agar para ulama dan negara-negara Islam muncul sebagai ekspresi politik yang mengajarkan ajaran Islam yang ortodoks dan memperbarui pemahaman terhadap ajaran-ajaran Al-Qur'an.
Al Afghani mengkritik pemahaman keliru umat Islam dan menginginkan mereka kembali ke ajaran Islam yang murni. Ia menolak pemahaman yang menyesatkan dan yang berasal dari luar Islam. Misalnya, ia menentang paham qada dan qadar yang diubah menjadi pemahaman fatalistik, dan ia berpendapat bahwa ajaran Islam yang benar mengandung konsep sebab-akibat yang alami.
Al Afghani percaya bahwa persatuan umat Islam sangat penting untuk kemajuan mereka. Ia menekankan pentingnya kerja sama dan solidaritas di antara kaum Muslimin, yang saat itu sudah terpecah-belah akibat kelemahan penguasa-penguasa mereka.
Al Afghani menekankan perlunya umat Islam memiliki pendidikan teknis dan ilmiah untuk mengimbangi kemajuan Barat. Ia juga mendorong kembali ke teologi sunnatullah dengan pendekatan rasional dan ilmiah, sehingga pemahaman Islam bisa lebih dinamis dan relevan dengan zaman modern.
Al Afghani menganggap pintu ijtihad tidak pernah tertutup dan bahwa reinterpretasi ajaran-ajaran Islam sesuai dengan zaman modern bisa dilakukan melalui ijtihad. Ini menunjukkan pandangannya terhadap kebaruan dan adaptasi dalam pemahaman agama.
Secara keseluruhan, bagaimana pemikiran pembaruan yang digagas oleh Jamaluddin Al Afghani mencakup persatuan umat Islam, perlawanan terhadap penjajahan Barat, reformasi internal, pendidikan ilmiah, dan kembali ke ajaran Islam yang murni. Pemikiran-pemikirannya mencerminkan upaya untuk menghadapi tantangan zaman dengan merangkul nilai-nilai agama dan adaptasi yang relevan.
Pengabdian Jamaludin Al Afgani
Jamaluddin Al Afghani adalah seorang pemikir yang berpengaruh dalam pergerakan politik dan intelektual di dunia Muslim pada masanya. Ia memainkan peran penting dalam menghadapi campur tangan asing dan mendorong gagasan modernisasi serta reformasi di dunia Islam.
Al Afghani memulai pengabdiannya di Afghanistan sebagai asisten Pangeran Dost Muhammad Khan saat usianya 22 tahun. Setelah itu, ia menjadi penasihat bagi Ali Khan pada tahun 1864 dan diangkat menjadi Perdana Menteri pada masa pemerintahan Azam Khan. Saat itu, Inggris campur tangan dalam urusan politik Afghanistan, dan selama masa ketidakstabilan tersebut, ia mendukung kelompok yang didukung Inggris. Akibat kekalahan kelompok tersebut, ia meninggalkan tanah kelahirannya menuju India pada tahun 1869, meskipun ia tidak lama tinggal di sana.
Pada tahun 1870, ia pindah dan menetap di Turki, di mana ia diangkat oleh Perdana Menteri Ali Pasha sebagai anggota Majelis Pendidikan Turki. Kemudian, ia pindah lagi ke Iran dan mendapatkan posisi sebagai Menteri Penerangan.
Pada tahun 1876, campur tangan Inggris dalam urusan politik di Mesir semakin meningkat. Untuk bergaul dengan kalangan politik Mesir, ia bergabung dengan perkumpulan Freemason Mesir. Kemudian, pada tahun 1879, ia mendirikan partai al-Hizb al-Wathani (Partai Nasional) untuk lebih mengkonsolidasikan perhatiannya terhadap situasi politik saat itu.
Setelah beberapa bulan di Mesir, al-Afghani pergi ke Paris. Di sana, ia mendirikan perkumpulan al-Urwāt al-Wutsqa, yang beranggotakan individu Muslim dari berbagai wilayah seperti India, Mesir, Suria, dan Afrika Utara.
Pada tahun 1892, atas undangan Sultan Abdul Hamid, ia pindah ke Istanbul. Sultan tersebut bersama Al-Afghani berkolaborasi dalam gagasan-gagasan demokratis terkait pemerintahan. Namun, kolaborasi ini tidak bisa terealisasi sepenuhnya karena Sultan masih ingin mempertahankan kekuasaan otokrasi. Karena pengaruh besar Al-Afghani, Sultan merasa khawatir. Akhirnya, kebebasan Al-Afghani dibatasi, dan ia tidak diizinkan meninggalkan Istanbul hingga ia meninggal pada tahun 1897.
Advertisement