Liputan6.com, Jakarta Hukum waris dalam Islam memiliki peran sentral dalam mengatur pembagian harta benda dan properti seseorang setelah meninggal dunia. Prinsip-prinsip hukum waris dalam Islam didasarkan pada ajaran Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW, dan mengatur hak dan kewajiban penerima waris serta besaran pembagian yang adil.
Penting untuk mengetahui tentang apa itu hukum waris dalam Islam, termasuk syarat-syarat yang harus dipenuhi, rukun-rukun utama yang harus diperhatikan, serta besaran pembagian harta warisan. Dengan memahami lebih dalam mengenai hukum waris dalam Islam, kita akan memiliki wawasan yang lebih baik tentang prinsip-prinsip yang mendasari pembagian harta warisan
Lebih lengkapnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber tentang hukum waris dalam Islam dan prinsip-prinsipnya, serta syarat, rukun dan besaran pembagian dalam hukum waris Islam, Selasa (8/8/2023).
Advertisement
Hukum waris dalam Islam
Hukum waris dalam Islam mengacu pada peraturan dan aturan yang mengatur pembagian harta benda dan properti seseorang setelah meninggal dunia. Waris dalam Islam mencakup anggota keluarga tertentu yang memiliki hak untuk menerima bagian dari harta peninggalan seseorang. Hukum waris dalam Islam didasarkan pada ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad.
Prinsip-prinsip utama dalam hukum waris Islam adalah sebagai berikut:
Penerima Waris Utama (Asabah)
Asabah adalah kelompok waris yang memiliki prioritas dalam menerima bagian harta peninggalan. Ini termasuk anak-anak, orang tua, suami/istri, dan cucu. Penerimaan harta warisan didasarkan pada tingkat hubungan darah dengan almarhum.
Â
Porsi dan Pembagian Waris
Hukum waris Islam mengatur pembagian harta warisan menjadi bagian-bagian yang tetap dan telah ditentukan sebelumnya. Bagian ini dapat berbeda-beda tergantung pada hubungan dan status keluarga anggota waris. Pada umumnya, ada perbedaan dalam bagian yang diterima oleh laki-laki dan perempuan. Anak perempuan biasanya menerima setengah dari bagian yang diterima oleh anak laki-laki.
Â
Wasiat
Al-Qur'an memungkinkan seseorang untuk meninggalkan wasiat yang mencakup maksimal sepertiga dari harta peninggalan, dengan persetujuan penerima waris lainnya. Wasiat ini harus dilaksanakan setelah kematian dan pembayaran utang-utang.
Â
Penyelenggaraan Amanah
Hukum waris Islam juga menegaskan tanggung jawab dan kewajiban waris dalam mengelola harta peninggalan dengan keadilan dan kejujuran. Penerima waris harus mengelola harta tersebut untuk kepentingan bersama dan harus memenuhi kewajiban agama, seperti zakat dan sedekah.
Penting untuk dicatat bahwa praktik hukum waris dalam Islam dapat berbeda-beda di berbagai negara dan mazhab (paham) Islam. Ada perbedaan pendekatan dan interpretasi dalam mazhab-mazhab yang berbeda. Oleh karena itu, dalam praktiknya, pelaksanaan hukum waris bisa bervariasi tergantung pada konteks dan hukum lokal suatu negara.
Jika Anda ingin memahami lebih lanjut tentang hukum waris dalam Islam, disarankan untuk berkonsultasi dengan ulama atau ahli hukum Islam yang kompeten.
Advertisement
Syarat hukum waris dalam Islam
Syarat-syarat hukum waris dalam Islam melibatkan berbagai aspek, termasuk status hubungan keluarga, agama, dan beberapa faktor lainnya. Berikut adalah beberapa syarat utama dalam hukum waris Islam:
- Kematian Pemilik Harta: Warisan hanya diberikan setelah kematian pemilik harta. Hukum waris berlaku saat pemilik harta meninggal dunia.
-
Status Islam: Penerima waris haruslah seorang Muslim. Orang non-Muslim biasanya tidak berhak menerima warisan dari seorang Muslim.
-
Hubungan Darah: Penerima waris harus memiliki hubungan darah langsung dengan almarhum. Ini melibatkan anggota keluarga seperti anak-anak, cucu, orang tua, dan saudara kandung.
-
Ketidakadilan Terhadap Orang Lain: Warisan tidak boleh diberikan kepada penerima yang telah melakukan kejahatan terhadap almarhum, seperti membunuhnya. Jika seseorang terbukti bersalah atas kematian almarhum, mereka biasanya dilarang menerima bagian dari harta warisan.
-
Ketidaktahuan Terhadap Kematian Almarhum: Penerima waris harus memiliki pengetahuan tentang kematian almarhum. Mereka tidak dapat menerima warisan jika tidak tahu tentang kematian tersebut.
-
Prioritas Penerima Waris (Asabah): Penerima waris utama (asabah) memiliki prioritas dalam menerima bagian warisan. Penerima waris utama meliputi anak-anak, orang tua, suami/istri, dan cucu. Namun, tidak semua anggota asabah menerima bagian yang sama; bagian tergantung pada tingkat hubungan darah.
-
Ketentuan Bagi Laki-laki dan Perempuan: Hukum waris Islam memberikan bagian yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Anak perempuan biasanya menerima setengah dari bagian yang diterima oleh anak laki-laki. Namun, prinsip ini dapat bervariasi berdasarkan situasi dan mazhab.
-
Persetujuan Terhadap Wasiat: Jika ada wasiat, maka persetujuan penerima waris lainnya diperlukan untuk melaksanakan wasiat. Wasiat biasanya terbatas hingga sepertiga dari harta peninggalan.
Penting untuk diingat bahwa implementasi hukum waris dapat bervariasi berdasarkan konteks budaya, negara, dan mazhab Islam. Konsultasi dengan ahli hukum Islam yang kompeten atau ulama sangat dianjurkan bagi yang ingin memahami lebih dalam mengenai syarat-syarat hukum waris dalam Islam.
Rukun hukum waris dalam Islam
Rukun hukum waris dalam Islam merujuk pada elemen-elemen penting yang harus dipenuhi agar proses pembagian warisan dapat dilakukan secara sah dan sesuai dengan ajaran Islam. Berikut adalah lima rukun hukum waris dalam Islam:
Pemilik Warisan (Ma'al)
Merupakan orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta yang akan diwariskan. Pemilik warisan ini bisa berupa orang tua, suami/istri, atau anggota keluarga lainnya yang memiliki harta yang akan diwariskan.
Penerima Waris (Warith)
Merupakan orang yang berhak menerima bagian dari harta warisan. Penerima waris ini terdiri dari kelompok-kelompok yang memiliki hak waris sesuai dengan urutan prioritas dalam hukum waris Islam, seperti anak-anak, orang tua, suami/istri, dan lain-lain.
Harta Warisan (Mawarith)
Merupakan harta yang ditinggalkan oleh pemilik warisan dan akan dibagi antara penerima waris. Harta warisan ini dapat mencakup properti, uang, dan aset lainnya yang dimiliki oleh almarhum.
Pembagian Waris (Al-Faraid)
Merupakan proses pembagian harta warisan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Hadis Nabi. Pembagian waris ini mengatur berapa bagian yang akan diterima oleh masing-masing penerima waris berdasarkan hubungan keluarga dan jenis kelamin.
Pembagian Menurut Jumlah Penerima (Al-'Asaba)
Merupakan prinsip bahwa penerima waris haruslah anggota keluarga tertentu yang memiliki hubungan darah dengan pemilik warisan. Prinsip ini mengutamakan penerima waris utama (asabah) seperti anak-anak, orang tua, suami/istri, dan cucu dalam menerima bagian harta warisan.
Penting untuk diingat bahwa setiap rukun memiliki implikasi dan aturan khusus yang harus dipahami dengan baik dalam konteks hukum waris Islam. Rukun-rukun ini membentuk dasar bagi pelaksanaan hukum waris dan harus diperhatikan dengan seksama untuk memastikan pembagian harta warisan dilakukan secara adil dan sesuai dengan ajaran Islam.
Advertisement
Besaran pembagian dalam hukum waris Islam
Besaran pembagian dalam hukum waris Islam diatur berdasarkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad. Besaran ini tergantung pada jenis hubungan keluarga, jenis kelamin, dan status perorangan yang terlibat dalam pembagian warisan. Namun, perlu diingat bahwa besaran ini dapat bervariasi tergantung pada mazhab (paham) Islam yang diikuti dan peraturan hukum waris yang berlaku di berbagai negara.
Berikut adalah beberapa prinsip umum mengenai besaran pembagian dalam hukum waris Islam:
- Anak Laki-laki dan Perempuan: Biasanya, anak laki-laki menerima dua kali lipat dari apa yang diterima oleh anak perempuan. Ini berdasarkan ayat Al-Qur'an (Surah An-Nisa, ayat 11) yang menyebutkan bahwa anak laki-laki menerima dua bagian, sementara anak perempuan menerima satu bagian.
-
Orang Tua: Jika hanya ada satu orang tua yang masih hidup, ia berhak menerima sepertiga harta peninggalan anaknya. Jika kedua orang tua masih hidup, mereka berdua masing-masing menerima sepertiga. Ini berdasarkan ayat Al-Qur'an (Surah An-Nisa, ayat 11).
-
Suami/Istri: Jika almarhum meninggalkan suami atau istri, maka pasangan hidupnya memiliki hak menerima bagian tertentu dari harta warisan, tergantung pada apakah almarhum meninggalkan anak-anak atau tidak.
-
Cucu: Cucu berhak menerima bagian dari harta warisan, tetapi jumlahnya dapat bervariasi tergantung pada keberadaan penerima waris lainnya seperti anak-anak atau orang tua.
-
Saudara Kandung: Saudara kandung, baik laki-laki maupun perempuan, juga memiliki hak menerima bagian dari harta warisan. Bagian mereka dapat bervariasi tergantung pada keberadaan penerima waris lainnya.
-
Penerimaan Maksimal Sepertiga: Seseorang dapat meninggalkan wasiat yang mencakup maksimal sepertiga dari harta peninggalan. Wasiat ini harus diberikan dengan persetujuan dari penerima waris lainnya.
-
Orang Asing atau Non-Keluarga: Biasanya, orang-orang yang tidak memiliki hubungan darah langsung dengan almarhum (misalnya, teman, tetangga, atau organisasi) tidak berhak menerima warisan.
Penting untuk dicatat bahwa besaran pembagian harta warisan dapat bervariasi berdasarkan mazhab yang dianut dan peraturan hukum waris yang berlaku di negara masing-masing. Juga, beberapa negara memiliki peraturan hukum waris yang mengakomodasi perubahan sosial dan keadaan modern. Karena itu, disarankan untuk berkonsultasi dengan ulama atau ahli hukum Islam yang kompeten untuk memahami lebih lanjut mengenai besaran pembagian harta warisan dalam konteks tertentu.