Sukses

Salah Satu Tokoh Belanda yang Menentang Sistem Tanam Paksa Adalah Eduard Douwes Dekker, Simak Profilnya

Salah satu tokoh Belanda yang menentang sistem tanam paksa adalah Eduard Douwes Dekker, yang juga dikenal dengan nama pena Multatuli.

Liputan6.com, Jakarta Tanam paksa disebut juga dengan Cultuurstelsel, yakni suatu kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Meski tanam paksa merupakan kebijakan pemerintah kolonial Belanda, kebijakan tersebut ditentang oleh beberapa tokoh Belanda sendiri.

Salah satu tokoh Belanda yang menentang sistem tanam paksa adalah Eduard Douwes Dekker. Dia pernah menjadi asisten residen di Lebak (Banten), sehingga memiliki pengetahuan mendalam tentang tindakan tidak benar yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dalam kerangka sistem tanam paksa.

Eduard Douwes Dekker menulis sebuah karya buku berjudul "Max Havelaar" (lelang kopi perdagangan Belanda) yang diterbitkan pada tahun 1860. Dalam karya tersebut, ia menggambarkan penderitaan rakyat Indonesia yang diakibatkan oleh penerapan sistem tanam paksa.

Selain Eduard Douwes Dekker, salah satu tokoh Belanda yang menentang sistem tanam paksa adalah Baron Van Hoevell dan Mr. Van Deventer. Untuk mengenal lebih dalam siapa saja mereka, simak penjelasan selengkapnya berikut ini seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Senin (14/8/2023).

2 dari 5 halaman

Apa yang dimaksud dengan sistem tanam paksa?

Salah satu tokoh belanda yang menentang sistem tanam paksa adalah Eduard Douwes Dekker. Selain itu, tokoh lain yang menentang sistem tanam paksa adalah Baron Van Hoevell dan Mr. Van Deventer. Namun sebelum mengenal lebih dalam mengenai tokoh-tokoh Belanda yang menentang sistem tanam paksa, penting bagi kita untuk memahami terlebih dahulu apa yang membuat sistem tanam paksa ditentang oleh tokoh Belanda sendiri.

Sistem tanam paksa, juga dikenal dengan nama Cultuurstelsel, merujuk pada kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mengharuskan desa-desa untuk menyisihkan sebagian lahan mereka (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan nila.

Sistem tanam paksa mulai diberlakukan pada tahun 1830, kebijakan tanam paksa bertujuan untuk membayar utang Belanda yang muncul setelah Perang Jawa tahun 1830 dan mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia. Meskipun berhasil mencapai tujuan pemerintah kolonial, dengan menghasilkan pendapatan yang signifikan dan membantu membayar utang, dampaknya bagi masyarakat pribumi sangat berat.

Kebijakan ini mengharuskan petani menanam tanaman ekspor seperti kopi dan tebu. Mereka juga diwajibkan mencapai target produksi yang ditentukan pemerintah. Namun, dampak buruknya sangat terasa bagi petani. Pada tahun 1840, penderitaan mencapai puncaknya dengan wabah penyakit dan kelaparan yang melanda, sementara pajak dinaikkan, memberatkan rakyat.

Pada akhirnya, setelah dua dekade berlalu, sistem tanam paksa dihapus secara radikal. Sistem ini dihentikan di Jawa pada tahun 1870. Meskipun ada aturan yang diatur oleh Johannes van den Bosch, yang menjadi pimpinan dalam penerapan kebijakan ini, aturan tersebut lebih menguntungkan pihak kolonial dan merugikan para petani.

Aturan tersebut menyediakan mekanisme pengambilan hasil tanaman dagang dengan nilai yang lebih tinggi daripada pajak yang harus dibayar oleh rakyat, serta memberikan wewenang yang signifikan kepada pihak Eropa dalam pengawasan dan pelaksanaan kebijakan.

Kebijakan tanam paksa, meskipun berhasil mendatangkan pendapatan bagi pihak kolonial, namun membawa penderitaan yang besar bagi masyarakat pribumi. Ini adalah contoh nyata eksploitasi yang terjadi selama era kolonial dan berdampak buruk terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pribumi di Indonesia pada masa itu.

Maka tidak mengherankan jika sistem tanam paksa ini juga ditentang oleh kalangan tokoh belanda sendiri. Salah satu tokoh Belanda yang menentang sistem tanam paksa adalah Eduard Douwes Dekker. Tidak hanya Douwes Dekker, sistem tanam paksa juga ditentang oleh tokoh Belanda lainnya, yakni Baron Van Hoevell dan Mr. Van Deventer.

3 dari 5 halaman

Eduard Douwes Dekker

Salah satu tokoh Belanda yang menentang sistem tanam paksa adalah Eduard Douwes Dekker. Dilansir dari laman Kemdikbud, Eduard Douwes Dekker, yang lebih dikenal dengan nama pena Multatuli, adalah seorang penulis Belanda terkenal yang lahir pada 2 Maret 1820 di Amsterdam, Belanda, dan meninggal pada 19 Februari 1887 di Ingelheim am Rhein, Jerman, pada usia 66 tahun. Salah karya terkenalnya adalah novel satiris "Max Havelaar" (1860), yang mengkritik perlakuan buruk kolonial Belanda terhadap masyarakat pribumi di Hindia-Belanda.

Eduard pernah menjadi asisten residen di Lebak, Banten, pada 1856. Selama masa tugasnya, ia menemukan bahwa situasi di Lebak jauh lebih buruk daripada yang ia dengar sebelumnya. Bupati Lebak, yang memerintah selama 30 tahun, terjebak dalam kesulitan keuangan dan memaksa penduduk distriknya untuk bekerja rodi dengan imbalan hasil bumi dan ternak yang murah. Eduard melaporkan kejadian-kejadian ini kepada atasan dan meminta tindakan, tetapi tidak mendapat dukungan yang memadai.

Pandangan Eduard tentang tanam paksa terungkap dalam karyanya "Max Havelaar". Dalam buku ini, ia mengkritik keras praktik tanam paksa dan pemerasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dan pejabatnya. Eduard menyuarakan keadilan bagi masyarakat pribumi dan mengecam eksploitasi yang dilakukan oleh pihak kolonial. Melalui karyanya, Eduard berusaha mengungkap kebenaran dan ketidakadilan yang terjadi di Hindia-Belanda.

Setelah meninggalkan pekerjaannya sebagai asisten residen, Eduard menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan dan mengalami masa sulit. Namun, tekadnya untuk menjadi pengarang terwujud ketika ia menulis "Max Havelaar". Karya ini memberikan suara kepada rakyat Indonesia yang menderita akibat sistem tanam paksa dan pemerintahan kolonial yang tidak adil. Dengan menggunakan nama pena "Multatuli," Eduard memilih ungkapkan keprihatinannya terhadap penderitaan yang dialami baik oleh dirinya sendiri maupun rakyat Indonesia.

Buku "Max Havelaar" mengguncang masyarakat Eropa dan membuka mata terhadap kondisi yang sebenarnya terjadi di Hindia-Belanda. Pandangan Eduard tentang tanam paksa dan eksploitasi kolonial melalui karyanya ini menjadi penting dalam memahami perlawanan terhadap penjajahan dan semangat perubahan di masa itu.

4 dari 5 halaman

Baron Van Hoevell

Salah satu tokoh Belanda yang menentang sistem tanam paksa adalah Baron Van Hoevell. Dilansir dari Britannica, Wolter Robert, Baron van Hoëvell, merupakan seorang negarawan dan anggota Parlemen Belanda yang memiliki peran penting dalam mengakhiri Sistem Kebudayaan kolonial yang eksploitatif di Hindia Belanda. Sistem ini dikenal dengan nama "Sistem Tanam Paksa" atau Dutch Cultuurstelsel, yang diperkenalkan pada tahun 1830 oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch.

Van Hoëvell, setelah menempuh pendidikan teologi, pergi ke Hindia Belanda sebagai pendeta pada tahun 1836. Ia mendirikan kembali Batavia Society for Arts and Sciences dan mendirikan surat kabar Het Tijdschrift, yang berhasil mengkritik pemerintah kolonial meskipun dihadapkan pada sensor yang berat. Pada tahun 1848, ia kembali ke Belanda dan menjadi anggota Parlemen. Di sana, ia mampu meyakinkan berbagai kelompok politik bahwa Sistem Budaya yang eksploitatif tersebut tidak etis dan seharusnya dihentikan.

Pandangan van Hoëvell tentang sistem tanam paksa adalah bahwa sistem ini merugikan dan tidak bermoral. Ia berpendapat bahwa kontrol ekonomi sewenang-wenang yang dilakukan oleh pemerintah kolonial seharusnya digantikan oleh kontrol hukum yang dilakukan oleh Parlemen. Van Hoëvell berusaha untuk memperjuangkan pemberian kontrak gula pada tahun 1860, sebagai langkah menuju penghapusan sistem tanam paksa. Upaya ini ditujukan untuk memberikan kontrol yang lebih adil terhadap ekonomi Hindia Belanda dan mengakhiri eksploitasi terhadap rakyat pribumi.

Sistem tanam paksa, yang diperkenalkan oleh Johannes van den Bosch, mewajibkan penduduk desa untuk menyisihkan sebagian dari tanah mereka atau bekerja dalam pertanian pemerintah untuk mendapatkan hasil panen ekspor seperti gula, kopi, dan nila. Namun, dalam praktiknya, sistem ini memberatkan rakyat dengan persyaratan yang berlebihan dan hasil yang tidak memadai. Van Hoëvell dan kritikus lainnya, seperti penulis Eduard Douwes Dekker (Multatuli), menyuarakan kecaman terhadap sistem ini dan menyoroti kerugian yang dialami oleh penduduk pribumi.

Meskipun kritik terhadap sistem tanam paksa semakin kuat pada pertengahan 1850-an, praktik ini baru dihapuskan pada tahun 1870. Meskipun terbukti merugikan rakyat pribumi, sistem ini memberikan keuntungan besar bagi kas pemerintah Belanda. Wolter Robert, baron van Hoëvell, dengan tekadnya untuk mengubah kebijakan kolonial yang eksploitatif, berkontribusi dalam mengakhiri praktik yang merugikan tersebut.

5 dari 5 halaman

Mr. Van Deventer

Salah satu tokoh Belanda yang menentang sistem tanam paksa adalah Mr. Van Deventer. Dilansir dari Britannica, Mr. Van Deventer atau Conrad Theodor van Deventer adalah seorang ahli hukum dan negarawan Belanda yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan Kebijakan Etis kolonial di Hindia Belanda. Ia lahir pada 29 September 1857 di Dordrecht, Belanda, dan meninggal pada 27 September 1915 di Den Haag.

Van Deventer memiliki latar belakang pendidikan hukum dan pergi ke Hindia Belanda pada tahun 1880. Di sana, ia bekerja sebagai seorang pengacara dan menduduki berbagai jabatan yudisial, terutama di pulau-pulau terluar di luar Jawa. Setelah kembali ke Belanda pada tahun 1897, ia bergabung dengan Partai Demokrat Liberal dan memainkan peran penting dalam menyusun program kolonial baru yang dikenal sebagai Kebijakan Etis.

Salah satu kontribusi terbesar Van Deventer terhadap Kebijakan Etis adalah artikelnya yang berjudul "Een eereschuld" atau "Utang Kehormatan." Artikel ini diterbitkan pada tahun 1899 di majalah progresif De Gids. Dalam artikel tersebut, Van Deventer menyatakan bahwa Belanda memiliki tanggung jawab moral untuk membayar kembali atas apa yang telah diambil dari Hindia Belanda sejak tahun 1867. Hal ini sejalan dengan gagasan bahwa Belanda harus menggelontorkan dana untuk pendidikan dan pembangunan ekonomi di Hindia. Pandangan ini menjadi dasar bagi Kebijakan Etis yang kemudian diadopsi pada tahun 1901.

Kebijakan Etis mengedepankan kesejahteraan masyarakat adat, desentralisasi administrasi, dan pemberian peluang bagi orang Indonesia dalam posisi pemerintahan yang tinggi. Tujuannya adalah untuk mengakui tanggung jawab moral Belanda sebagai wali di Hindia Belanda dan mengakhiri sistem eksploitatif yang telah ada sebelumnya.

Van Deventer juga pernah menjabat sebagai anggota Parlemen pada periode 1905-1909 dan dari tahun 1913 hingga kematiannya pada tahun 1915. Kontribusinya dalam memajukan Kebijakan Etis dan pandangannya yang mendukung kesejahteraan rakyat pribumi Hindia Belanda membantu membentuk arah baru dalam hubungan kolonial antara Belanda dan wilayah jajahannya.