Liputan6.com, Jakarta Dalam beberapa ayat Al-Quran, puasa nazar adalah puasa wajib yang dilakukan untuk memenuhi janji yang diucapkan kepada Allah. Salah satu contoh yang dapat diambil dari Surat Al-Insan (76:7), yang menyatakan, "Mereka memenuhi nazar dan takut kepada suatu hari yang kesusahannya merata-rata."
Tujuan utama dari puasa nazar adalah untuk menjaga komitmen, dan kesetiaan terhadap janji yang diucapkan kepada Allah. Dalam banyak kasus, seseorang yang berada dalam situasi tertentu seperti kesulitan atau tantangan, mungkin berjanji kepada Allah bahwa jika masalahnya teratasi, ia akan berpuasa sebagai tanda rasa syukur dan penghormatan.
Pelaksanaan puasa nazar relatif fleksibel, tergantung pada kesepakatan atau janji yang dibuat. Hal mengenai nazar juga telah dituliskan pada hadis riwayat Bukhari, di mana Rasulullah SAW berkata, “Siapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barang siapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah maka janganlah bermaksiat kepada-Nya.” (H.R. Bukhari).
Advertisement
Islam sangat memperbolehkan umatnya untuk melakukan nazar. Bahkan Allah SWT juga memuji orang-orang yang bernazar, dan menunaikan nazarnya. Secara keseluruhan, puasa nazar adalah bentuk penghormatan terhadap janji dan kesetiaan terhadap Allah. Berikut ini hukum dan dalil puasa nazar yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (18/8/2023).
Niat
Niat puasa nazar dapat diucapkan dalam hati, maupun lisan bagi seseorang yang telah melakukan nazar sebelumnya. Dalam hal ini, puasa nazar termasuk amaliyah ibadah. Seorang muslim yang ingin melaksanakannya harus membaca niatnya terlebih dahulu. Berikut adalah niat puasa nazar.
نَوَيْتُ صَوْمَ النَّذَرِ لِلّٰهِ تَعَالىَ
Nawaitu shaumannadzri lillâhi ta’aala
Artinya: Saya niat puasa nazar karena Allah ta’aala
Niat puasa nazar diharuskan untuk dibaca pada malam hari, yaitu malam sebelum melakukan puasa nazar. Menurut pendapat Fuqaha Syafii mengatakan bahwa puasa nazar tidak akan sah jika seseorang membaca niatnya pada siang hari.
Rasulullah menegaskan bahwa nazar hanya berlaku pada perbuatan yang mengandung ketaatan, dan tidak berlaku pada hal-hal yang mengandung kemaksiatan. Dalam salah satu haditsnya beliau bersabda:
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah maka taatlah. Dan barangsiapa yang bernazar untuk durhaka (melakukan maksiat) pada Allah maka jangan durhaka pada-Nya” (HR Bukhari).
Ketika seseorang bernazar tentang hal yang menjurus untuk melakukan maksiat, maka hal yang harus dilakukan olehnya untuk memenuhi nazarnya adalah tidak melakukan hal yang ia nazarkan dan menebus perkataannya dengan denda sumpah (kafarat). Melansir dari laman pecihitam.org, nazar tidak akan sah apabila hanya diniatkan dalam hati tanpa diucapkan, seperti ketika seseorang dalam hati niat akan bernazar puasa daud ketika selesai urusannya. Nazar hanya sebatas niat tersebut tidaklah sah karena hanya diniatkan dalam hati tidak diucapkan dalam perkataan.
Mengenai hal ini, dalam kitab al-Muhadzab dijelaskan:
ولا يصح النذر إلا بالقول
“Nazar tidak sah kecuali dengan sebuah ucapan” (Abu Ishaq as-Syairazi, al-Muhadzab, juz 1, hal. 443).
Berdasarkan ketentuan tersebut nazar dalam hati atau di katakan sebatas niat tanpa dibarengi dengan sebuah perkataan yang jelas belum sah disebut sebagai nazar. Seperti yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi dalm kitabnya al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab:
قال أصحابنا يصح النذر بالقول من غير نية كما يصح الوقف والعتق باللفظ بلا نية. وهل يصح بالنية من غير قول – فيه الخلاف الذي ذكره المصنف (الصحيح) باتفاق الاصحاب انه لا يصح الا بالقول ولا تنفع النية وحدها
Para ashab atau murid-murid imam Syafi’i berkata, “nazar tetap sah meskipun tanpa adanya niat, seperti halnya sahnya wakaf dan memerdekakan budak dengan mengucapkan lafadz dengan tanpa adanya niat. Lalu apakah nazar akan sah dengan niat tanpa adanya ucapan? Dalam permasalahan ini terdapat perbedaan pendapat di antara ulama yang telah dijelaskan oleh pengarang kitab. Menurut pendapat yang sahih dengan disepakati para ashab bahwa nazar tidak sah kecualii dengan ucapan, dan niat dalam hati saja tidak bermanfaat atau tidak cukup untuk digunakan nazar”. (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 8, hal. 451)
Advertisement
Hukum dan Dalil
Memenuhi nazar adalah kewajiban yang disyareatkan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
ثُمَّ لْيَقْضُوْا تَفَثَهُمْ وَلْيُوْفُوْا نُذُوْرَهُمْ
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka” [Al-Hajj/22:29]
Imam Syaukani rahimahullah mengatakan, “Perintah menunjukkan akan kewajiban. Telah ada banyak hadits dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam larangan bernazar dan penjelasan kemakruhannya. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لا تَنْذِرُوا، فإنَّ النَّذْرَ لا يُغْنِي مِنَ القَدَرِ شيئًا، وإنَّما يُسْتَخْرَجُ به مِنَ البَخِيلِ
“Jangan kalian semua bernazar, karena nazar tidak berpengaruh terhadap takdir sedikitpun. Sesungguhnya ia keluar dari kebakhilan.” [HR. Muslim no. 3096]
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma berkata, “Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam mulai melarang kami bernazar seraya bersabda:
إنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئا، وَإنَّما يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Sesungguhnya ia (nazar) tidak dapat menolak sedikitpun. Sesungguhnya ia dikeluarkan dari kekikiran.” HR. Bukhori dan Muslim
Setelah memahami niat puasa nazar beserta hukum dan ketentuannya, kamu juga perlu memahami dalilnya di dalam Al-Quran dan hadis. Berikut beberapa dalil puasa nazar:
1. QS. Ad-Dahr Ayat 7
Dalam Surat Ad-Dahr ayat 7, nazar disebutkan sebagai salah satu hal yang wajib untuk dilaksanakan sesuai dengan apa yang disumpahkannya seorang diri. Adapun arti bacaan dari Surat Ad-Dahr ayat 7 tersebut yakni sebagai berikut:
"Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana" (QS. Ad-Dahr [76]: 7).
2. Hadis Riwayat Al-Bukhari
Sementara itu, Rasulullah SAW juga pernah menyinggung tentang nazar yang harus dipenuhi oleh seorang muslim. Adapun bunyi hadis tersebut yaitu sebagai berikut:
"Siapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah bermaksiat kepada-Nya." (HR al-Bukhari).
3. QS Al Maidah Ayat 89
Dalil puasa nazar berikut ini merupakan ketentuan bila seseorang tidak dapat menunaikan puasa yang telah dijanjikannya ini. Besarnya kafarat yang harus dibayarkan telah dijelaskan dalam firman Allah SWT melalui surat Al-Maidah ayat 89 berikut, yang artinya:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maidah: 89)
Macam
Pertama
Nazar harus dilaksanakan (Nazar Ketaatan) yaitu semua nazar dalam ketaatan kepada Allah Azza Wajallah seperti nazar shalat, puasa, umroh, haji, silaturrohim, I’tikaf, jihad, menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran seperti dia mengatakan ‘Demi Allah wajib atasku berpuasa atau bersedekah segini atau demi Allah wajib atasku menunaikan haji tahun ini atau shalat dua rakaat di masjidil haram sebagai rasa syukur kepada Allah terhadap nikmat kesembuhan dari penyakitku. Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda
مَن نَذَرَ أنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، ومَن نَذَرَ أنْ يَعْصِيَهُ فلا يَعْصِهِ.
“Siapa yang bernazar ketaatan kepada Allah, hendaknya dia melakukan ketaatannya. Dan siapa yang bernazar melakukan kemaksiatan, maka jangan melakukan kemaksiatannya.[HR. Bukhori, 6202]
Kalau seseorang bernazar melakukan ketaatan, kemudian datang kondisi yang menghalangi seperti terkena sakit yang menghalangi menunaikan puasa, haji, umroh atau bernazar untuk bersedekah, maka dalam kondisi seperti ini berpindah menebus nazarnya dengan tebusan (kaffarah) sumpah. Sebagaimana yang ada dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata:
وَمَنْ نَذَرَ نَذْرًا لَا يُطِيقُهُ فَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ
“Siapa yang bernazar dan tidak mampu (menunaikannya), maka menebus dengan tebusan (kaffarah) sumpah. [HR. Abu Dawud, Hafidz Ibnu Hajar berkomentar dalam Bulugul Maram sanadnya shoheh dan Hafidz menguatkan status sampai sahabat Nabi (waqf).]
Kedua
Nazar yang tidak boleh ditepati dan ada kaffarah (tebusan) sumpah. Yang termasuk bentuk nazar ini adalah kemaksiatan, yaitu semua bentuk nazar di dalamnya ada kemaksiatan kepada Allah, seperti bernazar memberi minyak dan penerang di kuburan atau menginfakan untuknya. Dalil tidak diperbolehkan menunaikannya (nazar) dalam bentuk ini, adalah hadits Aisyah radhiallahu anha dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَن نَذَرَ أنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، ومَن نَذَرَ أنْ يَعْصِيَهُ فلا يَعْصِهِ
“Siapa yang bernazar mentaati Allah, maka hendaknya dia lakukan. Dan siapa yang bernazar bermaksiat kepadanya, maka jangan melakukannya” [HR. Bukhori.6202]
Dari Imron bin Husain sesungguhnya Rasulullah sallallahu alai wa sallam berbda:
لاَ وَفَاءَ لِنِذْرٍ في مَعْصِيَةِ
“Tidak boleh menunaikan nazar dalam kemaksiatan. “[HR. Muslim, 3099].
Semua Nazar yang kontradiksi dengan Nash. Kalau seorang muslim bernazar, kemudian mengetahui bahwa nazarnya bertentangnan dengan nash shohih dan jelas. Di dalamnya ada perintah atau larangan, maka dia harus berhenti tidak boleh menunaikan nazarnya dan mengganti dengan tebusan (kaffarah) sumpah.
Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan Bukhori rahimahullah dari Ziyad bin Jubair berkata:
كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ فَسَأَلَهُ رَجُلٌ فَقَالَ نَذَرْتُ أَنْ أَصُومَ كُلَّ يَوْمِ ثَلاثَاءَ أَوْ أَرْبِعَاءَ مَا عِشْتُ فَوَافَقْتُ هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ النَّحْرِ فَقَالَ أَمَرَ اللَّهُ بِوَفَاءِ النَّذْرِ وَنُهِينَا أَنْ نَصُومَ يَوْمَ النَّحْرِ فَأَعَادَ عَلَيْهِ فَقَالَ مِثْلَهُ لا يَزِيدُ عَلَيْه
“Saya bersama dengan Ibnu Umar dan ada seseorang bertanya kepadanya seraya mengatakan, “Saya bernazar berpuasa setiap hari selasa atau rabu selama saya masih hidup. Ternyata hari itu bertepatan dengan hari nahr (hari raya idul adha) maka beliau menjawab, “Allah telah memerintahkan untuk memenuhi nazar dan melarang kita berpuasa pada hari nahr (Hari raya idul adha). Dia mengulanginya dan beliau mengatakan yang sama tanpa ada tambahan. [Shahih Bukhori, 6212].
Advertisement