Sukses

Cara Menghitung Darah Istihadhah Menurut 4 Mazhab, Ketahui Kapan Masa Suci

Memahami cara menghitung darah istihadhah (darah haid yang tidak teratur) adalah penting bagi wanita Muslim untuk menjalankan ibadah-ibadah tertentu, terutama shalat.

Liputan6.com, Jakarta Memahami cara menghitung darah istihadhah (darah haid yang tidak teratur) adalah penting bagi wanita Muslim untuk menjalankan ibadah-ibadah tertentu, terutama shalat. Istihadhah adalah kondisi haid yang tidak teratur atau berbeda dari haid biasa.

Memahami cara menghitung darah istihadhah membantu wanita menjaga kebersihan spiritual dan fisik. Dengan mengenali tanda-tanda istihadhah dan menghitung masa istihadhah, wanita dapat menjaga kebersihan badan dan pakaian serta melaksanakan ibadah dengan rasa nyaman dan tenang.

Islam adalah agama yang menganut prinsip kemudahan dalam menjalankan ibadah. Dengan memahami cara menghitung darah istihadhah, wanita dapat tetap menjalankan salat dan ibadah lainnya meskipun mengalami haid yang tidak teratur. Hal ini mencegah terjadinya kesulitan atau beban yang berlebihan dalam menjalankan ibadah.

Memahami cara menghitung darah istihadhah merupakan bagian dari pendidikan agama dan pengetahuan pribadi yang penting bagi setiap Muslimah. Ini menggambarkan komitmen dalam memahami ajaran agama dengan baik dan melaksanakan ibadah sesuai dengan petunjuk agama.

Ada beberapa cara menghitung darah istihadhah menurut empat mahzab. Namun sebelum membahas lebih dalam mengenai cara menghitung darah istihadhah, simak penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan darah istihadhah sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Rabu (23/8/2023).

2 dari 6 halaman

Apa yang dimaksud darah istihadhah?

Darah istihadhah merujuk pada darah yang keluar dari kemaluan wanita di luar masa atau siklus haid yang normal. Ini adalah darah yang bukan karena menstruasi (haid) maupun melahirkan. Darah istihadhah dapat terjadi dalam situasi seperti ketika sakit atau mengalami gangguan hormonal. Secara medis, kondisi ini bisa disebut sebagai menorrhagia.

Dilansir dari Fimela.com, istihadhah disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah ketidakseimbangan hormon. Hormon yang tidak seimbang dalam tubuh perempuan dapat menyebabkan menstruasi yang berkepanjangan atau istihadhah. Ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron dapat mengakibatkan lapisan rahim (endometrium) meluruh secara berlebihan.

Selain itu, istihadhah juga dapat disebabkan oleh gangguan fungsi indung telur. Gangguan pada indung telur (ovarium) juga dapat mengganggu produksi hormon estrogen dan progesteron yang mengatur menstruasi. Ini bisa menyebabkan menstruasi yang tidak teratur atau berkepanjangan.

Istihadhah juga dapat disebabkan oleh endometriosis. Endometriosis terjadi ketika jaringan endometrium tumbuh di luar rahim. Ini dapat menyebabkan pendarahan yang tidak normal serta nyeri sebelum dan selama menstruasi.

Istihadhah tidak sama dengan haid atau nifas, sehingga wanita yang mengalami istihadhah ini dihukumi sama seperti wanita suci. Dengan kata lain, wanita muslim tetap harus shalat, puasa, dan boleh berhubungan intim dengan suami.

Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu‘anha:

Fatimah binti Abi Hubaisy telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wania yang mengalami istihadhah, sehingga aku tidak bisa suci. Haruskah aku meninggalkan shalat?” Maka jawab Rasulullah SAW: “Tidak, sesungguhnya itu (berasal dari) sebuah otot, dan bukan haid. Jadi, apabila haid itu datang, maka tinggalkanlah shalat. Lalu apabila ukuran waktunya telah habis, maka cucilah darah dari tubuhmu lalu shalatlah.”

Oleh karena itu penting bagi muslimah untuk memahami cara menghitung darah istihadhah. Ada sejumlah pendapat tentang cara menghitung darah istihadhah berdasarkan pandangan para imam mazhab. Simak penjelasan berikut ini.

3 dari 6 halaman

Cara Menghitung Darah Istihadhah Menurut Pandangan Mazhab Imam Hanafi

Menurut pandangan mazhab Imam Hanafi, cara menghitung darah istihadhah (pendarahan di luar haid) memiliki beberapa prinsip kunci, antara lain sebagai berikut:

1. Penggunaan Istilah Mu'tadah dan Bukan Mu'tadah

Istilah "Mu'tadah" digunakan untuk menyatakan darah haid yang keluar sesuai dengan masa kebiasaan haid seseorang. Istilah "Bukan Mu'tadah" mengacu pada darah haid yang keluar di luar masa kebiasaan haid.

2. Mengukur Berdasarkan Lama Masa Haid Biasa

Jika darah haid keluar melewati masa haid biasa, maka darah tersebut dianggap sebagai istihadhah. Contohnya, jika seseorang biasanya haid selama 7 hari, tetapi darah haidnya masih keluar di hari ke-8, maka darah tersebut dianggap sebagai istihadhah.

3. Maksimal 10 Hari Haid

Cara menghitung darah istihadhah adalah dengan memperhatikan durasi maksimal haid. Menurut mazhab Hanafi, masa haid tidak boleh melebihi 10 hari 10 malam. Jika darah haid keluar lebih dari 10 hari, maka hari-hari setelah 10 hari dianggap sebagai istihadhah.

4. Terputusnya Darah Haid

Jika darah haid terputus dalam periode haid dan kemudian keluar lagi dalam rentang 10 hari, darah kedua tersebut juga dianggap sebagai darah haid. Ini berarti seseorang diwajibkan untuk berhenti menunaikan shalat selama masa haid dan melanjutkan shalat saat darah haid terputus.

Dalam contoh kasus, jika seorang wanita biasanya haid selama 7 hari, dan darah haidnya berhenti pada hari ke-4, lalu keluar kembali pada hari ke-8, maka:

  1. Hari-hari 1-4 adalah masa haid (Mu'tadah).
  2. Hari-hari 5-6 adalah masa istirahat dari haid (tidak haid).
  3. Hari-hari 8-10 (jika masih keluar darah) dianggap istihadhah.

Penting untuk memahami cara menghitung darah istihadhah ini dengan baik untuk mengatur ibadah dan aktivitas sehari-hari, terutama dalam konteks ibadah shalat. Namun, jika ada ketidakpastian atau situasi khusus, disarankan untuk berkonsultasi dengan seorang ahli keagamaan atau ulama yang berpengalaman dalam mazhab Hanafi untuk mendapatkan panduan yang akurat.

4 dari 6 halaman

Cara Menghitung Darah Istihadhah Menurut Pandangan Mazhab Imam Maliki

Dalam mazhab Imam Maliki, cara menghitung darah istihadhah didasarkan pada prinsip-prinsi berikut:

1. Darah Haid Terputus dan Keluar Lagi

Jika darah haid keluar pada hari pertama dan kemudian terputus atau berhenti, namun kemudian keluar lagi dalam rentang waktu 15 hari (atau 18 hari jika Mu'tadah), maka darah pertama dan kedua dianggap sebagai satu fase darah haid.

2. Masa Minimal Suci

Mazhab Maliki memiliki masa minimal suci yang singkat, yakni beberapa tetes saja. Jika darah terputus dalam masa tersebut, wanita dianggap suci dan wajib menunaikan shalat.

3. Masa Haid yang Maksimal

Masa haid yang diakui oleh madzhab Maliki adalah 15 hari untuk yang bukan Mu'tadah dan 18 hari bagi yang Mu'tadah. Jika darah keluar di luar rentang waktu tersebut, maka darah tersebut dianggap istihadhah.

Berdasarkan prinsip tersebut, cara menghitung darah istihadhah dapat digambarkan dengan contoh kasus berikut:

Jika wanita mengalami haid dari tanggal 1-5, darah berhenti di tanggal 6-8, dan darah haid keluar lagi di tanggal 9-10, maka tanggal 1-5 dan tanggal 9-10 dianggap masa haid. Sedangkan tanggal 6-8 dianggap masa suci, dan wanita wajib menunaikan shalat pada tanggal 6-8.

Penting untuk memahami aturan ini dengan baik agar dapat mengatur ibadah dan aktivitas sehari-hari secara tepat, terutama dalam konteks ibadah shalat. Jika ada ketidakpastian atau situasi khusus, disarankan untuk berkonsultasi dengan seorang ahli keagamaan atau ulama yang berpengalaman dalam mazhab Maliki untuk mendapatkan panduan yang akurat.

5 dari 6 halaman

Cara Menghitung Darah Istihadhah Menurut Pandangan Mazhab Imam Syafi'i

Dalam pandangan mazhab Imam Syafi'i, cara menghitung darah istihadhah didasarkan pada prinsip-prinsip berikut:

1. Darah Haid Terputus dan Keluar Lagi

Jika darah haid keluar pada hari pertama, lalu terputus, dan kemudian darah haid keluar lagi, semua masa darah ini dianggap sebagai satu periode haid. Ini berlaku asalkan seluruh rentang waktu dari awal darah pertama hingga akhir darah kedua tidak melebihi masa maksimal haid, yaitu 15 hari.

2. Keharusan Darah Pertama Selama Minimal Sehari Semalam

Darah pertama yang keluar harus minimal satu hari semalam sebelum terjadi periode terputus. Ini berarti jika darah pertama yang keluar hanya beberapa tetes atau kurang dari sehari semalam, maka periode haid yang terjadi setelahnya tidak dianggap sebagai haid.

3. Periode Terputus di Tengah-tengah Masa Haid

Jika ada periode darah haid yang terputus dalam rentang masa di antara dua periode darah haid, misalnya darah haid keluar di tanggal 1-4, terputus di tanggal 5-7, dan keluar lagi di tanggal 8-12, maka seluruh rentang waktu dari tanggal 1 hingga 12 dianggap sebagai periode haid.

Ini memiliki implikasi pada kewajiban menunaikan shalat bagi wanita. Selama periode darah haid yang dihitung berlangsung, wanita dilarang menunaikan shalat. Dalam contoh di atas, wanita tersebut dilarang menunaikan shalat dari tanggal 1 hingga 12.

Pendekatan ini memberikan kemudahan bagi wanita dalam menghitung periode haid dan istihadhah, terutama bagi mereka yang siklus haidnya tidak teratur. Jika ada keraguan atau situasi khusus, disarankan untuk berkonsultasi dengan seorang ahli keagamaan atau ulama yang berpengalaman dalam mazhab Imam Syafi'i untuk mendapatkan panduan yang tepat.

6 dari 6 halaman

Cara Menghitung Darah Istihadhah Menurut Pandangan Mazhab Imam Hambali

Dalam pandangan mazhab Imam Hambali, cara menghitung darah istihadhah lebih sederhana, yakni didasarkan pada prinsip-prinsip berikut ini:

1. Darah Haid Berhenti

Jika darah haid wanita berhenti, baik itu karena terputus atau berhenti dengan sendirinya, maka ia dihukumi seperti wanita yang dalam keadaan suci (tidak haid).

2. Kembalinya Darah Keluar dalam Rentang 'Adah

Jika darah haid wanita keluar lagi dalam rentang masa kebiasaan atau siklus haidnya (biasanya disebut 'adah), maka ini menunjukkan kembalinya periode haid. Sebagai contoh, jika wanita biasanya mengalami haid pada tanggal 1-5 setiap bulannya, dan darah keluar lagi pada tanggal 10, maka dari tanggal 10 dan seterusnya dianggap sebagai periode haid.

3. Kewajiban Menunaikan Shalat saat Haid

Selama periode haid berlangsung, wanita dilarang menunaikan shalat. Dalam contoh di atas, jika darah keluar lagi pada tanggal 10, maka wanita tersebut dilarang menunaikan shalat sejak tanggal 10 dan seterusnya selama periode haid berlangsung.

Pendekatan mazhab Imam Hambali lebih simpel, di mana berhentinya darah haid dianggap sebagai tanda suci, dan kembalinya darah dalam rentang 'adah mengindikasikan kembalinya periode haid. Hal ini membantu wanita dalam menghitung dan memahami masa haid dan istihadhah dengan lebih mudah. Jika ada keraguan atau situasi khusus, sebaiknya berkonsultasi dengan ulama atau ahli keagamaan yang memahami mazhab Imam Hambali untuk mendapatkan panduan yang akurat.