Liputan6.com, Jakarta - Al-Qur'an pertama kali diturunkan pada bulan Ramadhan, khususnya di malam Lailatul Qadar. Ini merupakan momen yang sangat penting dalam sejarah Islam. Malam Lailatul Qadar adalah malam yang dianggap lebih baik dari seribu bulan, dan Al-Qur'an diturunkan pada malam ini untuk memberikan panduan dan petunjuk kepada umat manusia.
Baca Juga
Advertisement
“Dan orang-orang kafir berkata, "Mengapa Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?" Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan dan benar).” (QS. Al-Furqan ayat 32)
Turunnya Al-Qur'an pada malam Lailatul Qadar menggarisbawahi keagungan dan keberkahan bulan Ramadhan. Begitu pula menekankan pentingnya merenungkan ayat-ayat suci untuk mencari hikmah dan kebijaksanaan. Al-Qur'an mengalami proses penurunan sebanyak dua kali. Proses pertama dilakukan secara sekaligus (jumlah wahidah), dan proses kedua secara bertahap (munajjaman).
Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang Al-Qur'an pertama kali diturunkan pada bulan Ramadhan, Jumat (25/3/2023).
Bulan Ramadhan di Malam Lailatul Qadar
Al-Qur'an pertama kali diturunkan pada bulan Ramadhan, tepatnya di malam Lailatul Qadar. STID DI AL-HIKMAH JAKARTA menjelaskan bahwa Al-Qur'an pertama kali diturunkan pada malam Lailatul Qadar, bukan pada malam yang dikenal dengan malam 'Nuzulul Quran', yang bertepatan pada tanggal 17 Ramadhan.
Lalu, turunnya wahyu kepada Rasulullah shalallallahu'alaihi wa sallam yang pertama terjadi pada tanggal 21 Ramadhan, sebagaimana pendapat dari syaikh Shafiyyurahman.
Dikutip dari buku berjudul Aneka Keistimewaan Al-Quran (2019) oleh Zakiyal Fikri, Al-Qur'an mengalami proses penurunan sebanyak dua kali. Proses pertama dilakukan secara sekaligus (jumlah wahidah), dan proses kedua secara bertahap (munajjaman).
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam qadar.” (QS. Al-Qadr ayat 1)
Proses penurunan yang pertama, Al-Qur'an awalnya diturunkan dari Lauhul Mahfudz di langit ketujuh ke Baitul Izzah di langit dunia. Peristiwa ini terabadikan dalam firman Allah, seperti yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 185, surat Ad-Dukhan ayat 3, dan surat Al-Qadr ayat 1.
Ath Thusi dalam tafsirnya, berjudul kitab At-Tibyan fi Tafsir Al-Qur’an, menjelaskan dua hal soal penurunan Al-Qur'an. Pertama, Al-Qur'an turun seluruhnya pada malam Lailatul Qadar ke langit dunia, lalu diturunkan kepada Nabi Muhammad secara bertahap. Kedua, permulaan turunnya terjadi pada malam Lailatul Qadar di bulan Ramadhan.
Terlepas dari hal tersebut, yang dapat dipastikan adalah maksud dari nuzul (turun), dalam ketiga ayat yang telah disebutkan sebelumnya adalah turun yang terakhir kalinya secara sekaligus ke bumi. Ini sebelum kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad.
Setelah diturunkan secara sekaligus ke bumi, Al-Qur'an diturunkan kembali kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril secara bertahap selama 23 tahun. Penurunannya disesuaikan dengan kebutuhan, peristiwa, dan kondisi yang menuntut untuk diturunkannya suatu ayat sebagai solusi dan petunjuk. Ini menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman spiritual yang komprehensif bagi seluruh umat manusia.
Seperti perkataan Ibnu Abbas radliyallahu’anhu dan yang lainnya ketika menafsirkan Al-Qur'an surat Ad-Dukhon ayat 3:
“Allah menurunkan al-Quran sekaligus daru Lauh Mahfudz ke baitul izzah (rumah kemuliaan) di langit dunia kemudian Allah menurunkannya secara berangsur-angsur sesuai dengan berbagai peristiwa selama 23 tahun kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/441)
Advertisement
Sejarah Turunnya hingga Dibukukan
Al-Qur'an, sebagai kitab suci umat Islam, memiliki sejarah yang panjang dalam proses turun dan pembukuan. Proses turunnya Al-Qur'an memakan waktu yang cukup lama, yaitu selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Begini sejarah yang dimaksudkan Liputan6.com lansir dari berbagai sumber:
1. Pertama Kali Diturunkan
Proses turunnya Al-Qur'an dimulai pada periode Mekah, yang berlangsung selama 12 tahun. Selama periode ini, Nabi Muhammad menerima wahyu sebanyak 86 surat. Surat-surat yang turun selama periode ini disebut sebagai surat Makiyyah.
Ini menjadi titik awal adalah ketika Nabi Muhammad pertama kali menerima wahyu di Gua Hira pada malam 17 Ramadan tahun 610 Masehi. Wahyu pertama ini berisi surat Al-Alaq ayat 1-5. Pada saat itu, Nabi Muhammad belum diangkat menjadi Rasul.
Kemudian, pada periode Madinah yang berlangsung selama 10 tahun, ada 28 surat yang turun dan disebut sebagai surat Madaniyyah. Proses ini mencakup momen penting ketika Malaikat Jibril memberikan wahyu kedua kepada Nabi Muhammad, dan saat itulah Nabi diangkat sebagai Rasul. Ayat yang diturunkan pada saat itu adalah Al-Mudassir ayat 1-2. Wahyu terakhir diterima oleh Nabi Muhammad di Jabal Rahmah pada saat Haji Wada' pada 9 Dzulhijjah 10 H.
2. Pembukuan di Masa Nabi Muhammad
Proses pembukuan Al-Qur'an dimulai pada masa Nabi Muhammad. Pada saat itu, setiap wahyu yang diterima belum terkumpul menjadi satu mushaf karena keterbatasan Nabi Muhammad yang tidak bisa membaca dan menulis. Sebagai solusi, Rasulullah menyampaikan wahyu kepada para Sahabat Nabi untuk dihafalkan.
Beberapa Sahabat Nabi yang ditunjuk untuk menghafal Al-Qur'an adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zain bin Tsabbit, Muawiyyah bin Abu Sufyan, dan Ubay bin Kaab. Pada masa ini, para Sahabat masih menuliskan Al-Qur'an dalam berbagai media yang berbeda, seperti batu, kulit, daun lontar, pelana, dan bahkan potongan tulang belulang.
3. Pembukuan di Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pada masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, banyak Hafidz (penghafal Al-Qur'an) yang gugur syahid dalam Perang Yamamah. Oleh karena itu, Umar bin Khattab menyarankan kepada Abu Bakar untuk mulai mengumpulkan Al-Qur'an.
Proses penulisan mushaf Al-Quran pertama kali dilakukan oleh Zain bin Tsabbit, yang merupakan juru tulis Nabi Muhammad. Setelah mushaf Al-Qur'an rampung, Abu Bakar menyimpannya hingga beliau wafat. Setelah kematiannya, Umar bin Khattab menjadi khalifah dan memegang peranan sebagai penyimpan mushaf, dan kemudian berlanjut pada anaknya, Hafshah binti Umar.
4. Pembukuan di Masa Khalifah Utsman bin Affan
Proses pembukuan Al-Qur'an berlanjut pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pengucapan ayat Al-Qur'an yang bisa mengarah pada kebingungan. Oleh sebab itu, Khalifah Utsman membuat standar bacaan Al-Quran yang kemudian disebut sebagai Mushaf Utsmani.
Panitia penyusun mushaf ini diketuai oleh Zaid bin Tsabbit dengan anggota Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Harits bin Hisyam, dan Sa'id bin Ash. Penyalinan ini bertujuan untuk membukukan Al-Qur'an dan menyamakan penulisan serta cara membacanya sesuai dialek Suku Quraisy.
Mushaf Utsmani akhirnya disebarkan ke berbagai wilayah Islam, termasuk Yaman, Bahrain, Mekah, Syam, Kufah, Madinah, dan Bashrah, untuk memastikan bahwa Al-Qur'an yang sama diakui dan diikuti oleh seluruh umat Islam. Proses ini memastikan kelestarian dan keseragaman Al-Qur'an hingga saat ini.