Sukses

Apa Arti Al Baqi? Ini Pengertian, Dalil dan Kisahnya

Pengertian Al Baqi, dalil tentang Al Baqi dan kisah teladan yang bisa dipelajari tentang Al Baqi.

Liputan6.com, Jakarta Dalam tradisi Islam, Asmaul Husna yaitu 99 nama atau sifat Allah yang indah dan mulia, yang menyuarakan aspek-aspek unik dari kebesaran-Nya. Salah satu nama ini adalah Al Baqi, arti Al Baqi mengandung makna mendalam tentang keabadian dan kekekalan Allah. 

Memahami arti Al Baqi juga dapat membentuk cara kita berinteraksi dengan dunia di sekitar kita. Kehidupan yang fana dan sementara mengingatkan kita untuk memusatkan perhatian pada tindakan dan usaha yang bermanfaat serta berkelanjutan.

Makna dan arti Al Baqi membawa pesan penting tentang keabadian Allah, mengajarkan kita tentang kebesaran-Nya yang melebihi segala pemahaman manusia. Konsep ini merangkul manusia agar memiliki rasa rendah hati dalam menghadapi pencipta mereka yang kekal. 

Untuk lebih memahami apa arti Al Baqi, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber pada Selasa (29/8/2023). Pengertian Al Baqi, dalil tentang Al Baqi dan kisah teladan yang bisa dipelajari tentang Al Baqi.

2 dari 4 halaman

Arti Al Baqi dalam Asmaul Husna

Arti al-Baqi dalam konteks "Asmaul Husna" mengacu pada salah satu dari 99 nama indah atau sifat-sifat Allah dalam Islam. "Al-Baqi" adalah salah satu nama dari Allah yang memiliki arti "Yang Kekal" atau "Yang Abadi". Nama ini menggambarkan sifat Allah sebagai sesuatu yang abadi, tak terbatas oleh waktu atau perubahan.

Dalam agama Islam, keyakinan atas sifat-sifat Allah yang sempurna, termasuk sifat kekekalan, menjadi dasar kepercayaan dan pengabdian. Nama-nama ini dianggap sebagai cara bagi umat Muslim untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan mengingat serta merenungkan sifat-sifat-Nya yang agung.

Penting untuk diingat bahwa setiap nama atau sifat Allah dalam Asmaul Husna memiliki makna mendalam dan merangkum karakteristik-Nya yang unik. "Al-Baqi" merupakan salah satu dari banyak nama tersebut dan mencerminkan keabadian dan kekekalan-Nya.

3 dari 4 halaman

Dalil tentang Al Baqi

Dalil tentang Al-Baqi dalam konteks Asmaul Husna, yakni sifat Allah sebagai "Yang Kekal" atau "Yang Abadi", dimana konsep kekekalan dan abadinya Allah dinyatakan dalam beberapa ayat Al-Quran. Salah satu ayat yang relevan adalah Surah Al-Hadid, ayat 3:

هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya: "Dia adalah yang Awal dan yang Akhir, yang Zhahir dan yang Bathin, dan Dia Maha Mengetahui atas segala sesuatu."

Ayat ini menggambarkan sifat Allah sebagai yang pertama dan yang terakhir, yang tampak dan yang tersembunyi. Konsep bahwa Allah adalah yang awal dan akhir mencerminkan keabadian-Nya.

Surah Al-Ikhlas, ayat 1-4:

قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ

Artinya: "Katakanlah, 'Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan-Nya.'"

Ayat ini menyatakan bahwa Allah adalah Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Konsep bahwa Allah tidak memiliki permulaan atau akhiran mencerminkan sifat-Nya sebagai Yang Abadi.

 
4 dari 4 halaman

Kisah yang Menggambarkan Keabadian Allah SWT

Salah satu kisah yang menggambarkan keabadian Allah dan bagaimana ciptaan-Nya mencerminkan sifat tersebut adalah kisah tentang Nabi Ibrahim (AS) dan perjalanan pencariannya dalam memahami kebesaran Allah melalui pengamatan alam semesta.

Dalam Al-Quran, terdapat kisah Nabi Ibrahim yang mencari pemahaman tentang kebesaran Allah melalui observasi alam. Nabi Ibrahim berusaha untuk memahami bagaimana Allah menciptakan dan mengatur segala sesuatu di alam semesta. Kisah ini terdapat dalam Surah Al-An'am, ayat 75-79:

وَكَذَٰلِكَ نُرِىٓ إِبۡرَٰهِۦمَ مَلَكُوتَ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلِيَكُونَ مِنَ ٱلۡمُوقِنِینَ

Artinya: "Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi, agar dia termasuk orang-orang yang meyakini."

Nabi Ibrahim (AS) memulai perjalanan pemahamannya dengan mengamat-amati benda-benda di langit, seperti bintang-bintang, bulan, dan matahari. Namun, ketika matahari terbenam, dia menyadari bahwa objek-objek tersebut tidak memiliki keabadian atau kekekalan. Dalam Surah Al-An'am, ayat 76, Nabi Ibrahim berkata:

فَلَمَّا جَنَّ عَلَیۡهِ ٱلَّيۡلُ رَءَا كَوۡكَبً۬اۖ قَالَ هَـٰذَا رَبِّىۡۖ فَلَمَّآ أَفَلَ قَالَ لَآ اُحِبُّ ٱلۡءَافِلِينَ

Artinya: "Maka tatkala malam telah gelap (Ibrahim) melihat sebuah bintang dan dia berkata, 'Inilah Tuhanku!' Tetapi tatkala bintang itu lenyap, dia berkata, 'Aku tidak suka kepada sesuatu yang lenyap.'"

Kemudian, Nabi Ibrahim memperhatikan bulan yang cantik dan bersinar. Namun, ketika bulan juga tenggelam, dia menyadari bahwa kecantikan dan cahaya bulan juga tidak kekal. Dalam ayat 77, dia berkata:

فَلَمَّا رَءَا ٱلۡقَمَرَ بَازِغً۬ا قَالَ هَـٰذَا رَبِّىۡۖ فَلَمَّآ أَفَلَ قَالَ لَـٰٓءِن لَّمۡ یَهۡدِنِى رَبِّى لَأَكُوۡنَنَّ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلضَّآلِّينَ

Artinya: "Maka tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata, 'Inilah Tuhanku!' Tetapi tatkala bulan terbenam, dia berkata, 'Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pasti aku termasuk orang-orang yang sesat.'"

Akhirnya, Nabi Ibrahim (AS) menoleh ke matahari, sumber cahaya dan kehangatan yang esensial bagi kehidupan di bumi. Namun, ketika matahari juga terbenam, dia menyadari bahwa bahkan matahari yang begitu besar dan penting bagi kehidupan tidak kekal. Dalam ayat 78-79, dia berkata:

فَلَمَّا رَءَا ٱلشَّمۡسَ بَازِغَةً۬ قَالَ هٰذَا رَبِّىۡ هٰذَاۤ اَكۡبَرُۢ ۬ۚ فَلَمَّآ اَفَلَتۡ قَالَ يٰقَوۡمِ اِنِّىۡ بَرِىۡٓ اِنِّىۡ مَاۤ اَشۡرَكۡتُ بِرَبِّىۡۤ اَحَدً۬ا

Artinya: "Maka tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, 'Inilah Tuhanku, inilah yang lebih besar.' Tetapi tatkala matahari terbenam, dia berkata, 'Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).'"

Kisah ini mengajarkan bahwa segala ciptaan di alam semesta, termasuk benda-benda langit yang tampak besar dan kuat, tidak memiliki keabadian. Hanya Allah-lah yang kekal dan abadi. Nabi Ibrahim (AS) dengan tajam memahami bahwa Allah adalah satu-satunya yang kekal dan layak untuk disembah. Kisah ini menjadi pelajaran tentang pemahaman akan kebesaran dan keabadian Allah melalui observasi dan kontemplasi alam semesta.