Sukses

4 Alasan Polusi Udara Lebih Buruk di Malam Hari, Simak Penjelasan BMKG

Ketebalan lapisan inversi yang kian menipis, membuat kondisi malam hari menjadi waktu berkumpulnya polutan.

Liputan6.com, Jakarta - Polusi udara telah menjadi salah satu masalah lingkungan di berbagai kota besar di seluruh dunia, termasuk Jakarta. Pengamatan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa polusi udara cenderung memburuk saat malam hari dibandingkan dengan siang hari.

Fenomena polusi udara lebih buruk di malam hari ini memiliki dasar ilmiah yang dapat dijelaskan melalui beberapa faktor utama.

Menurut Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, A. Fachri Radjab, konsentrasi particulate matter atau PM 2.5, partikel-partikel kecil yang berbahaya bagi kesehatan manusia, meningkat menjelang pagi. Hal ini terjadi karena ketebalan lapisan inversi. Ketika lapisan atmosfer yang hangat (memanas), berada di atas lapisan atmosfer yang dingin.

Penjelasan ilmiah tentang polusi udara lebih buruk di malam hari daripada siang hari ini, dibahas oleh Fachri pada acara Diskusi Publik Quick Response Penanganan Kualitas Udara Jakarta di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, pada Senin (28/8/2023).

Selain dipengaruhi oleh terjadinya inversi suhu, polusi udara menjadi kian memburuk di malam hari juga dipengaruhi masalah iklim. Di puncak musim kemarau, kondisi udara khususnya di perkotaan seperti Jakarta indeks kualitas udaranya menjadi salah satu yang terburuk di dunia.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang alasan polusi udara lebih buruk di malam hari menurut BMKG, Selasa (29/8/2023).

2 dari 3 halaman

1. Lapisan Inversi Menipis

Fachri menjelaskan, konsentrasi particulate matter atau PM 2.5, partikel-partikel kecil yang berbahaya bagi kesehatan manusia, meningkat menjelang pagi. Hal ini terjadi dipengaruhi ketebalan lapisan inversi. Tepatnya, ketika lapisan atmosfer yang panas berada di atas lapisan atmosfer yang dingin.

Pada malam hari, ketebalan lapisan inversi ini cenderung menipis. Hal ini yang membuat kondisi malam hari menjadi waktu berkumpulnya polutan. Ini juga menjelaskan alasan konsentrasi PM 2.5 lebih tinggi pada malam hari.

"Kemudian pagi hari juga seiring dengan meningkatnya aktivitas masyarakat konsentrasi PM 2.5 juga meningkat," kata Fachri.

2. Udara Permukaan Bumi Lebih Dingin

Lapisan inversi menciptakan fenomena udara di permukaan bumi lebih dingin dibandingkan dengan lapisan atas atmosfer. Ini menghambat udara untuk naik dan terdispersi, sehingga polutan-polutan tersebut tetap terjebak di permukaan.

Dalam ilmu meteorologi, BMKG menjelaskan inversi suhu terjadi ketika lapisan udara yang lebih dingin di atmosfer tertindih oleh lapisan udara yang lebih panas. Mekanisme terbentuknya lapisan udara panas ini melibatkan udara panas yang naik ke atas lapisan udara yang lebih dingin, kemudian menyebar dan meluas di atmosfer.

Sumber panas yang memengaruhi ketebalan lapisan inversi ini, dapat berasal dari berbagai faktor. Seperti aktivitas industri, kebakaran, lalu lintas kendaraan, paparan sinar matahari, radiasi permukaan bumi, dan lainnya.

Fenomena inversi suhu ini sebenarnya tidak umum terjadi karena dalam kondisi normal, suhu udara seharusnya semakin tinggi dengan ketinggian. Oleh karena itu, terbentuknya lapisan inversi hanya terjadi pada kondisi tertentu.

Selain itu, inversi suhu juga dapat terbentuk akibat adanya anomali tekanan di atmosfer atau pergerakan udara panas dari tempat lain.

 

3 dari 3 halaman

3. Memasuki Musim Kemarau

Terlebih lagi, kondisi ini semakin memburuk selama musim kemarau, seperti yang diungkapkan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto. Musim kemarau yang biasanya berlangsung antara bulan Juli hingga September menyebabkan kondisi udara khususnya di perkotaan seperti Jakarta semakin tidak baik.

"Memang di bulan Juli hingga September biasanya itu musim kemarau sedang mencapai tinggi-tingginya sehingga memang berakibat pada kondisi udara kualitas udara yang kurang baik," kata Asep saat konferensi pers di Jakarta Timur, pada Jumat (11/8/2023).

Menghimpun data dari situs IQAir pada 28 Agustus 2023 siang, pukul 09.25 WIB, mengindikasikan bahwa indeks kualitas udara Jakarta mencapai angka 163 US Air Quality Index (AQI US). Hal ini menjadikan Jakarta sebagai kota dengan kualitas udara terburuk kedua di dunia.

4. Siklus dari Aktivitas Harian

Selain itu, PLT Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan menjelaskan bahwa siklus harian juga memengaruhi tingkat polusi udara di Jakarta. Pada saat memasuki waktu malam hari hingga dini hari, tingkat polusi udara cenderung lebih tinggi.

Fenomena ini merupakan dampak dari kondisi kualitas udara yang memiliki siklus harian.

"Pada saat lepas malam hari hingga dini dan hari cenderung lebih tinggi dari pada siang hingga sore," kata Ardhasena saat konferensi pers di Jakarta Timur, pada Jumat (11/7/2023).

Hal ini semestinya menjadi perhatian serius karena akan berdampak pada kesehatan yang serius. Sangat perlu adanya tindakan yang lebih efektif untuk mengatasi masalah ini. Contohnya pengendalian polusi udara dan kebijakan yang lebih ketat dalam penggunaan kendaraan bermotor dan aturan-aturan baru bagi industri.

BMKG menegaskan konsentrasi PM 2.5 cenderung mengalami peningkatan pada waktu dini hari hingga pagi dan menurun di siang hingga sore hari. PM 2.5 adalah polutan udara yang berbentuk partikel dengan ukuran sangat kecil, tidak lebih dari 2.5 µm (mikrometer).

Partikel dengan ukuran sekecil ini memiliki kemampuan untuk dengan mudah masuk ke dalam sistem pernapasan, yang pada akhirnya dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan berpotensi mengganggu fungsi paru-paru dalam jangka waktu yang lama.

Selain itu, PM 2.5 juga memiliki kemampuan untuk menembus jaringan peredaran darah dan dapat diangkut oleh aliran darah ke seluruh tubuh. Hal ini dapat berkontribusi pada terjadinya gangguan kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner.