Liputan6.com, Jakarta - Allah mencintai orang beriman yang bersih dan apa? Allah mencintai orang beriman yang bersih dan menyucikan diri karena hal ini mencerminkan kualitas iman yang mendalam. Keimanan yang kuat menggerakkan seseorang untuk menjaga kesucian fisik dan spiritualnya.
Baca Juga
Advertisement
Dalam Islam, menjaga kebersihan fisik adalah tuntutan penting dalam menjalani ibadah sehari-hari, seperti soalat dan wudhu. Ini menunjukkan ketaatan dan kedisiplinan dalam menjalankan perintah Allah.
"Kunci sholat itu adalah kesucian." (HR Tirmidzi)
Selain itu, kesucian spiritual juga merupakan aspek yang sangat dihargai oleh Allah. Mencintai Allah dan beriman kepada-Nya adalah landasan utama dalam ajaran Islam. Ketika seseorang membersihkan hatinya dari sifat-sifat tercela, seperti kebencian, iri hati, atau keserakahan, ini menunjukkan komitmen mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan hati yang suci.
Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang pemahaman Allah mencintai orang beriman yang bersih dan menyucikan diri, Selasa (5/9/2023).
Bersih dan Menyucikan Diri
Allah mencintai orang beriman yang bersih dan apa? Dalam buku berjudul Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti dari Kemdikbud Kurikulum 2013, dijelaskan bahwa Allah mencintai orang beriman yang bersih dan menyucikan diri. Ini menggambarkan hubungan yang erat antara keimanan dan kesucian.
Namun, penting untuk memahami bahwa bersih dan suci memiliki makna yang berbeda dalam hal ini. Menurut buku berjudul Percikan Sains dalam Alquran karya Ir. Bambang Pranggono, bersih berkaitan erat dengan aspek fisik, sementara suci adalah sesuatu yang bersifat lebih mendalam dan bersifat spiritual.
Bisa dipahami, konsep Allah mencintai orang beriman yang bersih dan menyucikan diri ini saling melengkapi satu sama lain. Tidak semua yang bersih pasti suci, tetapi sebaliknya, sesuatu yang sudah suci dapat dipastikan bersih. Dalam Islam, "Annadlofatu Minal Imaan" menyatakan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Ini mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan fisik sebagai manifestasi dari kesucian spiritual.
"Kesucian itu adalah setengah dari iman." (HR. Muslim)
Menurut situs resmi Sekolah Mutiara Bali, bersih merujuk pada keadaan bebas dari kotoran atau najis, sementara suci dalam ajaran Islam berarti terhindar dari najis dan hadast. Untuk mencapai kesucian, seorang Muslim harus mematuhi aturan tata cara taharah atau bersuci. Ini merupakan bagian penting dari ibadah mereka. Menjaga kesucian dalam kehidupan sehari-hari adalah ekspresi dari keimanan yang kuat.
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki." (QS. Al-Maidah ayat 6)
Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN Jakarta) mengutip Abu al-Laits yang menyatakan bahwa iman itu suci. Ini berarti bahwa orang beriman tidak hanya bersih secara rohani tetapi juga jasmani. Secara rohani, mereka membersihkan diri mereka sendiri dengan beriman kepada Allah SWT, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta takdir yang baik dan buruk. Secara jasmani, mereka menjaga kebersihan tubuh mereka dari kotoran yang terlihat oleh mata manusia.
Pada kesimpulannya, Allah mencintai orang beriman yang bersih dan menyucikan diri. Ini adalah ekspresi kasih sayang Allah terhadap mereka yang menjaga iman dan kesucian, baik dalam aspek fisik maupun spiritual. Ini mengajarkan kepada setiap muslim tentang pentingnya menjaga kebersihan fisik sebagai simbol kesucian dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Wujud nyata dari iman yang dalam.
Advertisement
Empat Tingkat Kesucian
Dalam ilmu fiqih, konsep bersuci dikenal dengan istilah "thaharah." Pemahaman mendalam tentang thaharah dapat ditemukan dalam karya besar Imam Al-Ghazali yang terkenal, yaitu berjudul Ihya Ulum Al-Din: Al-Thaharah.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa thaharah memiliki empat tingkatan yang masing-masing menggambarkan dimensi yang berbeda dari kesucian, baik fisik maupun spiritual.
1. Menyucikan Jasmani dari Segala Hadats, Noda, dan Kotoran
Tingkatan pertama thaharah dilakukan dengan membersihkan tubuh secara fisik dari segala bentuk hadats (ketidak-sucian), noda, dan kotoran. Ini mencakup tindakan-tindakan seperti berwudhu (menggunakan air suci untuk membersihkan sebagian anggota tubuh) atau mandi junub (mandi besar) setelah berhubungan intim. Tujuannya adalah menjaga kesucian fisik sebagai tuntutan dalam menjalani ibadah dan kehidupan sehari-hari.
"Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, "Itu adalah sesuatu yang kotor." Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri." (QS. Al-Baqarah ayat 22)
2. Menyucikan Anggota Badan dari Perbuatan Jahat dan Dosa
Tingkatan kedua thaharah memerlukan seseorang untuk menjaga kesucian anggota badan dari perbuatan jahat dan dosa. Ini mencakup pentingnya menghindari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan etika dalam Islam. Kata lainnya, menjaga kesucian moral dan etika dalam tindakan dan perilaku sehari-hari.
3. Menyucikan Kalbu dari Sifat-sifat Terceca dan Kehinaan yang Dibenci
Tingkatan ketiga thaharah mengarah kepada kesucian hati atau kalbu. Ini menekankan perlunya membersihkan hati dari sifat-sifat tercela seperti kebencian, iri hati, keserakahan, dan sifat negatif lainnya. Mencapai kesucian hati adalah langkah penting dalam perjalanan spiritual seseorang, yang melibatkan peningkatan kesadaran dan kebaikan batin.
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka." (QS. At-Taubah ayat 103)
4. Menyucikan Sirr (Rahasia Hati) dari Segala Sesuatu Selain Allah
Tingkatan keempat thaharah adalah tingkat tertinggi dari kesucian. Ini merujuk kepada pemurnian yang lebih dalam, yaitu menyucikan "sirr" atau rahasia hati seseorang sehingga hanya Allah yang mendominasi dalam pikiran, perasaan, dan tindakan.
Ini merupakan tingkat kesucian tertinggi yang hanya dimiliki oleh para nabi dan "shiddiqin" (orang-orang yang teguh membenarkan agama di tengah orang-orang yang mendustakannya). Tingkat ini menuntut dedikasi spiritual yang sangat tinggi dan kesempurnaan dalam ketakwaan kepada Allah.
Â