Liputan6.com, Jakarta Sholawat Thola’al Badru Alaina perlu dikenali oleh umat Islam. Thola’al Badru Alaina merupakan syair Islam tradisional yang disebut juga dengan nasyid. Nasyid dikenal juga sebagai lagu yang mengandung unsur keislaman, yang biasanya dinyanyikan secara berkelompok.
Baca Juga
Advertisement
Syair Thola’al Badru Alaina ini dinyanyikan oleh kaum Ansar dalam rangka menyambut kedatangan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Syair ini pertama kali dinyanyikan pada tahun 622 M. Jadi, sholawat Thola’al Badru Alaina telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Sholawat Thola’al Badru Alaina perlu kamu kenali liriknya. Selain itu, Thola’al Badru Alaina dikenal juga sebagai sholawat penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW, yang biasanya dibacakan pada acara Maulid Nabi.
Berikut Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Rabu (6/9/2023) tentang sholawat Thola’al Badru Alaina.
Sholawat Thola’al Badru Alaina
Sholawat Thola’al Badru Alaina memang telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Sholawat Thola’al Badru Alaina adalah syair Islam tradisional yang dinyanyikan oleh kaum Ansar untuk menyambut kedatangan nabi Muhammad di Yatsrib (Madinah) pada tahun 622 M. Sholawat Thola’al Badru Alaina artinya telah muncul rembulan di tengah kami. Sholawat Thola’al Badru Alaina ini kemudian banyak dipopulerkan oleh tim qosidah dan majelis ta'lim.
Mengutip dari Wikipedia, berikut lirik sholawat Thola’al Badru Alaina:
ṭala‘ al-badru ‘alainā
min ṡaniyyātil-wadā‘
wa jabasy-syukru ‘alainā
mā da‘ā lillāhi dā‘a
’ayyuhal-mab‘ūṡu fīnā
ji’ta bil-’amril-muṭā‘
ji’ta syarraftal-madīnah
marḥaban yā khaira dā‘
Advertisement
Terjemahan Sholawat Thola’al Badru Alaina
Setelah mengenali lirik sholawat Thola’al Badru Alaina Latin, kamu tentunya juga perlu memahami artinya dalam bahasa Indonesia. Berikut terjemahan sholawat Thola’al Badru Alaina:
Wahai bulan purnama yang terbit kepada kita,
dari lembah Wada',
dan wajiblah kita mengucap syukur
di mana seruan adalah kepada Allah.
Wahai engkau yang diutus di tengah-tengah kami,
datang dengan seruan untuk dipatuhi,
engkau telah membawa kemuliaan kepada kota ini (Madinah).
Selamat datang wahai penyeru terbaik ke jalan Allah!
Sholawat Thola’al Badru Alaina Sebagai Cikal Bakal Nasyid
Sholawat Thola’al Badru Alaina merupakan cikal bakal dari nasyid. Nasyid berawal dari bahasa Arab yang memiliki makna senandung. Kemudian nasyid memiliki penyempitan makna dari senandung secara umum, menjadi senandung yang bernafaskan Islam.
Istilah nasyid telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad, pada saat itu yang dibawakan masih syair Thola’al Badru Alaina yang berarti telah muncul rembulan di tengah kami. Syair tersebut kemudian banyak dipopulerkan oleh tim qosidah dan majelis ta'lim sebagai syair yang dinyanyikan kaum muslimin saat menyambut kedatangan Rasulullah SAW ketika pertama kali hijrah ke Madinah.
Dengan perkembangan zaman dan seiringnya situasi maupun kondisi, nasyid kemudian mulai menyebar di Timur Tengah dengan isi yang lebih mengarah ke dakwah, pesan jihad, maupun perlawanan terhadap imperialisme Israel dipengaruhi oleh situasi politik yang ada saat itu.
Nasyid baru masuk ke Indonesia sekitar era tahun 80-an. Pada saat masuk ke Indonesia, nasyid baru dipelopori oleh aktivis kajian Islam yang mulai tumbuh di kampus-kampus Indonesia. Dalam pembawaannya, nasyid awalnya dinyanyikan dengan syair-syair asli dengan menggunakan bahasa Arab. Dengan luasnya perkembangan musik di Indonesia, nasyid juga ikut mengalami perkembangan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan dengan tema yang luas (tidak hanya tema syahid dan jihad). Biasanya nasyid dinyanyikan dalam pernikahan, maupun perayaan hari besar umat Islam.
Advertisement
Hukum Nasyid
Melansir dari buku berjudul Hukum Musik dan Nasyid Islam (2021) karya Hafidz Muftisany, menjelaskan bahwa hukum nasyid dan musik Islam sebenarnya masih menjadi perdebatan di kalangan para ulama. Ada sebagian ulama yang mengharamkan musik dengan bentuk apapun. Meski begitu, ada juga yang berpendapat bahwa nasyid dan musik Islam diperbolehkan atau mubah.
Hukum nasyid sendiri dijelaskan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq ra, yang berkata:
“Dari ‘Aisyah berkata: Abu Bakar masuk menemui aku saat itu di sisiku ada dua orang budah tetangga kaum Anshor yang sedang bersenandung, yang mengingatkan kepada peristiwa pembantaian kaum Ashar pada perang Bu ‘ats.” ‘Aisyah melanjutkan kisahnya, “Kedua sahaya tersebut tidaklah begitu pandai dalam bersenandung. Maka Abu Bakar pun berkata, “Seruling-seruling setan (kalian pendengarkan) di kediaman Rasulullah SAW!” Peristiwa itu terjadi pada Hari Raya ‘Ied. Maka bersabdalah Rasulullah SAW: “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya dan sekarang ini hari raya kita,” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad).
Hadis tersebut menjadi dalil bagi pihak yang mengharamkan lagu, juga menjadi dalil bagi pihak lain yang membolehkan. Adanya pengecualian tentang pengharaman musik dan lagu bagi pihak yang berpendapat demikian, menandakan bahwa lagu atau musik tidaklah haram secara dzat atau substansinya yang menjadikan berubah hukumnnya karena adanya kaifiyah atau cara dalam melakukannya. Dengan banyaknya perbedaan sudut pandang, maka sebenarnya permasalahan musik ini masuk wilayah khilafiyah.