Sukses

Pengertian Ariyah, Dasar Hukum, Rukun, dan Jenis-jenisnya dalam Islam

Ariyah disebut juga dengan meminjam sesuatu dalam Islam.

Liputan6.com, Jakarta Ariyah adalah istilah yang mungkin masih asing di telinga sebagian orang. Istilah ini berkaitan dengan bidang Ekonomi dalam Islam. Ariyah berkaitan dengan pinjam-meminjam yang diperbolehkan oleh syariat agama Islam.

Ariyah disebut juga dengan meminjam sesuatu dalam Islam. Hal ini tentunya bukan sembarang meminjam saja, namun ada ketentuannya yang perlu diperhatikan dalam Islam. Kamu perlu mengenali Ariyah ini agar dapat membedakannya dengan praktik riba yang dilarang Islam.

Pengetian Ariyah perlu dikenali lebih lanjut agar kamu paham secara utuh tentang definisi pinjam-meminjam ini. Selain itu, kamu juga perlu mengenali dasar hukum, rukun dan syarat, serta jenis-jenis Ariyah dalam Islam.

Berikut Liputan6.com rangkum dari Modul Ariyah, Jual Beli, Khiyar, Riba dari laman cendikia.kemenag.go.id, Kamis (28/9/2023) tentang Ariyah.

2 dari 5 halaman

Pengertian Ariyah

Ariyah disebut juga sebagai pinjaman. Secara semantik, Ariyah berasal dari akar kata a-‘ara yu’iru i’arah, yang artinya meminjam sesuatu atau mengeluarkan sesuatu dari tangan pemiliknya kepada tangan orang lain. Empat mazhab fikih memiliki pengertian yang berbeda namun hampir sama tentang Ariyah ini.

Menurut mazhab Hanafiyah, pengertian Ariyah yaitu memilikkan manfaat pada orang lain tanpa harus ada ganti rugi. Sementara itu, menurut Malikiyah, Ariyah adalah memilikkan berbagai manfaat dari suatu benda tanpa harus ada ganti rugi.

Syafi’iyah berpendapat bahwa Ariyah memiliki arti mengijinkan mendapat manfaat dari barang yang memiliki manfaat dengan catatan wujud barang tersebut tetap demi bisa mengembalikannya. Adapun menurut Hanabilah, Ariyah berarti membolehkan mendapat manfaat atas sebuah barang yang termasuk dari harta kekayaan.

Selain itu, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Ariyah adalah bagian dari tolong menolong. Sementara hukum tolong menolong adalah sunah. Pinjaman adalah bagian dari amal kebaikan yang merupakan manifestasi konkret dari prinsip tolong-menolong. Allah SWT mencela manusia yang enggan tolong menolong sesamanya.

3 dari 5 halaman

Dasar Hukum Ariyah

Sebagaimana Ibnu Katsir, Sayyid Sabiq juga mengatakan bahwa tolong menolong dalam Ariyah adalah amalan sunah. Hal senada disampaikan oleh ulama lain, seperti al-Ruyani yang dikutip oleh Taqiyuddin, bahwa hukum Ariyah adalah wajib ketika Islam baru bangkit. Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan Ariyah atau pinjam-meminjam ini adalah firman Allah SWT dalam Surat Al-Maidah ayat 2, yang artinya:

“Dan tolong menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan”.

Sementara itu, dalil hadis menyampaikan sebagai berikut, yang artinya:

“Dari Abi Hurairah r.a. dari Nabi saw. bersabda, ”Siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya maka Allah akan membayarkannya, barang siapa yang meminjam hendak melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya)”. (HR. Bukhari).

Berdasarkan hal tersebut, Islam sesungguhnya sangat menganjurkan untuk saling tolong menolong pada hambanya. Ariyah (pinjam meminjam) adalah bentuk dari sikap dan perilaku tolong menolong. Jadi, Ariyah merupakan ajaran Islam yang perlu dikembangkan dalam interaksi sosial kehidupan umat.

4 dari 5 halaman

Rukun dan Syarat Ariyah

Ilmu fikih secara detail membahas tentang rukun Ariyah. Berikut ini adalah rukun-rukun Ariyah:

1. Mu’ir

Mu’ir adalah pihak yang meminjamkan atau mengizinkan penggunaan barang untuk dimanfaatkan oleh orang lain. Beberapa syarat yang harus ada pada mu’ir yaitu ahli al-Tabarru, yakni memiliki hak penuh untuk memberikan izin atas pemanfaatan barang. Kemudian Mukhtar, yakni tidak dalam keadaan dipaksa oleh pihak lain. Akad Ariyah hanya sah dilakukan jika peminjaman barang itu atas dasar kehendak atau inisiatif sendiri, bukan atas dasar tekanan atau paksaan.

2. Musta’ir

Musta’ir adalah pihak yang meminjam barang atau orang yang mendapat izin untuk menggunakan barang. Beberapa syarat yang harus ada pada musta’ir adalah sebagai berikut:

  1. Sah mendapat hak penggunaan barang setelah melalui akad tabarru’. Seseorang yang tidak melewati akad tabarru’, maka tidak dapat dianggap sebagai musta’ir sehingga ia tidak bisa menggunakan barang untuk diambil manfaatnya.
  2. Mua’yan, yakni jelas dan tertentu. Orang yang meminjam harus jelas identitasnya, nama dan alamatnya, serta identitas-identitas lain yang menutup kemungkinan untuk menghilangkan barang atau menghilangkan kemungkinan pengrusakan atas barang tanpa tanggung jawab.

3. Musta’ar atau mu’ar

Musta’ar atau mu’ar adalah barang yang dipinjamkan. Jadi, barang yang manfaatnya sudah diizinkan untuk dipergunakan oleh musta’ir disebut sebagai musta’ar. Beberapa syarat yang harus ada dalam musta’ar adalah sebagai berikut:

  1. Berpotensi dimanfaatkan. Jadi, barang yang tidak mengandung nilai guna atau nilai manfaat maka tidak bisa dipinjamkan;
  2. Manfaat barang merupakan milik pihak mu’ir. Jika manfaat barang bukan milik mu’ir, maka barang tersebut tidak bisa dipinjamkan. Contoh, sepetak lahan disewakan oleh A kepada B. Sekalipun lahan tersebut berstatus milik A, tetapi manfaatnya sudah milik pihak B. Jadi, C sudah tidak bisa mengambil manfaat pada lahan itu.
  3. Syar’i, yaitu pemanfaatannya sudah legal secara agama. Jika suatu barang mengandung nilai guna yang tidak dibenarkan oleh agama, maka tidak boleh dipinjamkan.
  4. Maqsudah, yaitu manfaat barang memiliki nilai ekonomis. Jika ghairu maqsudah, maka barang tidak bisa dipinjamkan. Misalnya, sebutir debu atau lainnya.
  5. Pemanfaatannya tidak berkonsekuensi mengurangi fisik barang.

4. Shighah

Shighah dalam akad Ariyah adalah bahasa komunikasi atau ucapan. Sighah berfungsi sebagai penegas bahwa akad Ariyah sudah dijalankan dengan baik dan benar. Sighah di sini bisa meliputi ijab dan qabul. Ijab berarti ucapan dari mu’ir bahwa dirinya meminjamkan barang yang mengandung nilai guna pada musta’ir, sedangkan qabul adalah pernyataan yang menunjukkan bahwa musta’ir telah mendapatkan izin untuk mengambil manfaat dari barang milik mu’ir.

5 dari 5 halaman

Jenis-Jenis Ariyah

Terdapat dua jenis Ariyah yaitu Ariyah muqayyadah dan Ariyah muthlaqah. Berikut penjelasannya:

1. Ariyah Muqayyadah

Ariyah Muqayyadah adalah bentuk pinjam-meminjam barang yang bersifat terikat dengan batasan-batasan tertentu. Dengan adanya batasan ini, maka peminjaman barang harus mengikuti batasan yang telah ditentukan atau disepakati bersama. Pembatasan dapat berupa apa saja, baik itu pembatasan waktu atau tempat maupun poin-poin lain yang disepakati bersama sejak awal.

Apabila batasan-batasan ini telah dilanggar, maka pelanggar bisa dijatuhi hukuman, setidaknya dihukumi bersalah. Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan pembatasan waktu, tempat, atau batasan lain tersebut, maka seseorang tidak memililki pilihan lain selain mentaatinya. Contoh, mobil hanya boleh dipinjam sehari dalam radius 100 kilometer. Batasan waktu dan jarak tempuh untuk mobil ini harus ditaati oleh peminjam barang.

2. Ariyah Muthlaqah

Ariyah muthlaqah adalah bentuk pinjam-meminjam barang yang tidak dibatasi oleh ketentuan apapun. Melalui akad Ariyah ini, musta’ir diberi kebebasan untuk memanfaatkan barang pinjaman selama apapun dan dalam ruang seluas apapun. Jika A menyerahkan mobil pada B tanpa ada kesepakatan berupa pembatasan apapun, maka B berhak menggunakan mobil berapa hari pun dan sejauh mana pun.

Apabila dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan mobil tersebut, misalnya terkait waktu dan tempat mengendarainya, maka praktek tersebut dikenal dengan Ariyah muthlaqah. Ariyah muthlaqah ini sering terjadi di kalangan mu’ir atau musta’ir yang sudah saling percaya satu sama lain.

Oleh karena itu, hukum adat menjadi berlaku. Batas waktu dan batas ruang harus disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti, dan dalam radius yang sangat jauh tanpa kendali. Jika penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak, maka mu’ir harus bertanggung jawab. Menurut ulama Mazhab Hanafiyah, dalam status Ariyah muthlaqah, musta’ir berperan sepenuhnya sebagai malik atau pemilik barang