Sukses

Peristiwa G30S PKI, Sejarah, Kronologi, dan Akhir dari Pemberontakan

Peristiwa G30S PKI merupakan salah satu peristiwa sejarah Indonesia yang penting diketahui.

Liputan6.com, Jakarta Peristiwa G30S PKI merupakan salah satu peristiwa sejarah Indonesia yang penting diketahui. Peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965 ini memang hanya berlangsung dalam dua hari satu malam, namun dampaknya cukup besar bagi kehidupan perpolitikan bangsa Indonesia ketika itu.

Gerakan 30 September 1965 merupakan tragedi nasional yang diduga dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia dan menimbulkan korban di kalangan petinggi militer. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh persaingan politik.

Pada awal Agustus 1965, ketika Presiden Soekarno tiba-tiba pingsan setelah berpidato, banyak pihak yang beranggapan bahwa usia beliau tidak akan lama lagi. Saat itu, PKI mengusulkan berbagai kebijakan seperti mempersenjatakan Angkatan V (Buruh Tani) untuk menghadapi konfrontasi dengan Malaysia, hingga pembubaran Masyumi karena dianggap bertanggung jawab atas peristiwa PRRI/Permesta diterima.

Berikut Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Kamis (28/9/2023) tentang peristiwa G30S PKI.

2 dari 3 halaman

Kronologi Peristiwa G30S PKI

Peristiwa G30S PKI atau Gerakan 30 September 1965 adalah gerakan yang pada dasarnya berlangsung selama dua hari. Di mana pada peristiwa G30S PKI ini pada tanggal 30 September dilakukan kegiatan kordinasi dan persiapan, serta tanggal 1 Oktober 1965 dini hari kegiatan pelaksanaan penculikan dan pembunuhan.

Terjadinya peristiwa G30S PKI secara kronologis dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.  Gerakan 30 September 1965 atau peristiwa G30S PKI berada di bawah kendali Letkol Untung dari Komando Balation I resimen Cakrabirawa. Letkol Untung menunjuk Lettu Dul Arief menjadi ketua pelaksanaan penculikan.

2. Pasukan bergerak mulai pukul 03.00, enam Jendral menjadi korban penculikan dan pembunuhan yakni Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. R. Soeprapto, Mayjen. Harjono, Mayjen. S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, dan Brigjen Sutoyo, dan satu perwira yakni Lettu Pirre Tandean. Keseluruhannya dimasukkan ke dalam lubang di kasawan Pondok Gede, Jakarta.

3. Satu Jenderal selamat dalam penculikan ini yakni Jendral A.H. Nasution, namun putrinya menjadi korban yakni Ade Irma Suryani serta ajudannya Lettu. Pierre Tandean. Korban lain ialah, Brigadir Polisi K.S. Tubun wafat ketika mengawal rumah Dr. J. Leimana.

4. Gerakan atau peristiwa G30S PKI ini menyebar juga di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta, Kolonel Katamso dan Letkol Sugiono menjadi korban karena tidak mendukung gerakan ini.

5. Setelah berhasil menculik dan membunuh petinggi AD, PKI menguasai gedung Radio Republik Indonesia, dan mengumumkan sebuah Dekrit yang diberi nama Dekrit no.1, yakni pernyataan bahwa peristiwa G30S PKI adalah upaya penyelematan negara dari Dewan Jendral yang ingin mengambil alih negara.

3 dari 3 halaman

Penumpasan Gerakan 30 September 1965

Gerakan 30 September 1965 atau peristiwa G30S PKI merupakan peristiwa yang menyebabkan kebingungan terhadap masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta. Kebingungan yang dirasa masyarakat Indonesia langsung direspons oleh pemerintah. Mayjen Soeharto sebagai Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) setelah menerima laporan serta membuat perkiraan, mengambil kesimpulan bahwa para perwira tinggi itu telah diculik dan dibunuh.

Berdasarkan kesimpulan tadi, Mayjen Soeharto langsung mengambil alih pimpinan Angkatan Darat guna menindaklanjuti peristiwa G30S PKI yang terjadi di tanggal 30 September tersebut. Langkah penumpasan dimulai pada tanggal 1 Oktober 1965, TNI berusaha menetralisir pasukan-pasukan yang menduduki Lapangan Merdeka. Selanjutnya Mayjen Soeharto menugaskan kepada Kolonel Sarwo Edhi Wibowo untuk merebut kembali gedung RRI dan Pusat Telekomunikasi. Tugas tersebut selesai dalam waktu singkat dan tanpa pertumpahan darah.

Dengan dikuasainya RRI dan Telekomunikasi, pada jam 20.00 WIB Soeharto mengumumkan bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan oleh gerakan 30 September atau peristiwa G30S PKI, beliau juga mengumumkan bahwa Presiden Soekarno dan Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution dalam keadaan selamat.

Operasi penumpasan berlanjut ke kawasan Halim Perdanakusuma pada 2 Oktober 1965, tempat pasukan G30S mengundurkan diri dari kawasan Monas. Pada tanggal yang sama atas petunjuk Polisi Sukitman yang berhasil lolos dari penculikan pada peristiwa G30S PKI, pasukan pemerintah menemukan lokasi Jenazah para perwira di lubang sumur tua, di atasnya ditanami pohon pisang di kawasan yang dekat juga dengan Halim yakni Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Pada tanggal 4 Oktober dilakukan pengangkatan Jenazah tersebut dan keesokan harinya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Para perwira yang gugur akibat pemberontakan ini diberi penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi.

Upaya penumpasan terus dilakukan, rakyat Indonesia turut membantu dan mendukung penumpasan tersebut. Demonstrasi anti-PKI berlangsung di Jakarta. Operasi penumpasan berlanjut dengan menangkap orang-orang yang dianggap bertanggung jawab pada peristiwa G30S PKI itu. Pada 9 Oktober 1965, Kolonel A. Latief berhasil ditangkap di Jakarta. Pada 11 Oktober 1965, Letkol Untung pemimpin dewan revolusi berhasil ditangkap di Tegal ketika ingin melarikan diri ke Jawa Tengah.

Selain itu para petinggi PKI seperti D.N Aidit, Sudisman, Sjam, dan lain-lain juga ditangkap oleh TNI pada 22 November 1965. Selanjutnya Pada 14 Februari 1966 beberapa tokoh PKI dibawa ke hadapan sidang Mahkamah Luar Biasa (Mahmilub). Desakan rakyat semakin ramai menuntut agar PKI dibubarkan, puncaknya pada saat Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966, Soeharto langsung mengeluarkan larangan terhadap PKI dan ormas-ormas di bawahnya.