Sukses

Apakah Makan Membatalkan Wudhu? Ini Pendapat Ulama NU dan Muhammadiyah

Mayoritas ulama sepakat makan tidak membatalkan wudhu.

Liputan6.com, Jakarta - Aktivitas wudhu merupakan praktik penting dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim. Wudhu umumnya dilakukan sebelum mereka melaksanakan ibadah seperti sholat atau membaca Al-Qur'an. Wudhu adalah cara umat Muslim membersihkan diri dari najis sebelum beribadah.

Namun, ada pertanyaan yang sering muncul, yaitu apakah makan membatalkan wudhu?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, pahami terlebih dahulu hakikat dari wudhu itu sendiri. Wudhu bukan sekadar tindakan membasuh bagian tubuh dengan air, melainkan sebuah ritual suci yang memiliki landasan dalam ajaran agama. Dalam kitab "Ad-Dirdir" karya asy-syarbini ash shaghir, dinyatakan bahwa wudhu adalah proses menyucikan diri dengan menggunakan air yang mencakup anggota badan tertentu, yaitu empat anggota badan, dengan tata cara tertentu.

Pentingnya wudhu juga tercermin dalam etimologi kata tersebut. Kata "wudhu" berasal dari kata "al wadha'ah," yang memiliki makna "al-hasan," yaitu kebaikan, dan juga "an-nadzafah," yang berarti kebersihan. Oleh karena itu, wudhu bukan hanya sekadar tindakan fisik, tetapi juga memiliki nilai-nilai moral yang mendalam.

Dalam buku berjudul "Panduan Sholat Lengkap (Wajib & Sunnah)" karya Saiful Hadi El Sutha, dijelaskan  wudhu yang benar dimulai dengan membaca niat saat pertama kali anggota tubuh menyentuh air, yaitu ketika membasuh muka. Setelah itu, langkah-langkah berlanjut dengan membasuh telapak tangan, berkumur, membersihkan lubang hidung, dan membasuh muka, tangan, serta kaki. Ini adalah bagian integral dari ibadah dan ritual suci yang harus dilakukan sebelum sholat.

Simak penjelasan lengkap tentang apakah makan dapat membatalkan wudhu? Berikut Liputan6.com ulas penjelasan lengkapnya menurut pendapat ulama NU dan ulama Muhammadiyah melansir dari situs website resminya, Minggu (1/10/2023).

2 dari 3 halaman

Menurut Ulama NU

Menurut ulama Nahdlatul Ulama (NU), pertanyaan apakah makan membatalkan wudhu merujuk pada sebuah hadis yang tercatat dalam kitab sahih Muslim. Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa makan daging unta bisa membatalkan wudhu. Namun, pemahaman tentang hal ini tidak berhenti pada satu titik.

Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Samuroh bahwa seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah SAW dengan pertanyaan: apakah saya harus berwudhu [kembali] karena [memakan] daging kambing?, beliau menjawab: jika kamu mau, maka berwudhu’lah, jika tidak mau, tidak perlu berwudhu’, sahabat bertanya kembali: apakah saya harus berwudhu’ [kembali] karena [memakan] daging unta?, beliau menjawab: iya, wudhu’lah [kembali] karena [memakan] daging unta. (HR. Muslim)

Para ulama berbeda pendapat dalam menilai hadis ini. Sebagai contoh, Imam an-Nawawi dalam kitab syarah hadisnya menjelaskan bahwa terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini. Imam Juwaini berpendapat bahwa ada perbedaan antara qoul qadim dan qoul jadid dalam madzhab Imam Syafi'i. Menurut qoul jadid, memakan daging unta tidak membatalkan wudhu, sementara qoul qadim berpendapat sebaliknya.

Namun, ada juga ulama Fiqh yang berpendapat bahwa makanan, termasuk makan daging unta, tidak membatalkan wudhu. Hadis yang mewajibkan berwudhu setelah makan daging unta diinterpretasikan sebagai kesunnahan untuk melakukan wudhu kembali (tajdidul wudlu'), bukan sebagai kewajiban.

Ulama berbeda pendapat perihal memakan daging unta, mayoritas ulama berpendapat bahwa memakan daging unta tidak membatalkan wudhu', ini pendapat para 4 khalifah, ibnu mas'ud, abi bin ka'ab, ibnu abbas, abu darda' - jumhur tabi'in dan 3 imam madzhab (Maliki, Hanafi dan Syafi'i) sedangkan imam Ahmad bin hambal (madzhab hambali), ishaq bin rahiwaih, yahya bin yahya didukung oleh al-hafidz abu bakar al-baihaqi mengatakan sebaliknya (Syarhu an-Nawawi 'ala al-Muslim, Hal. 48, J. 4)

Imam Bujairimi juga memperkuat pendapat ini dengan menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah bahwa memakan daging unta tidak membatalkan wudhu, dan pendapat ini disepakati oleh empat khulafa ar-rasyidin.

Para murid Imam Syafi'i, yang dikenal sebagai ashabu as-Syafi'i, memaknai hadis Jabir bin Bara' (makan daging unta membatalkan wudhu) dengan anjuran untuk membasuh tangan dan berkumur-kumur setelah makan. Mereka juga mencatat perbedaan antara daging unta dengan jenis daging lainnya, terutama dalam hal bau keringat yang lebih kuat setelah makan daging unta. Oleh karena itu, disarankan untuk tidak meninggalkan lemak unta di tangan dan mulut karena khawatir dapat menarik kalajengking dan hewan sejenisnya.

Kesimpulannya, apakah makan membatalkan wudhu menurut pendapat yang dipegang oleh ulama NU adalah mayoritas ulama, terutama dalam madzhab Syafi'i, cenderung berpendapat memakan daging unta tidak membatalkan wudhu. Selain itu, disarankan untuk membasuh tangan dan berkumur-kumur, serta melakukan wudhu kembali (tajdidul wudlu') setelah makan daging unta sebagai salah satu cara untuk mengatasi perbedaan pendapat para ulama sesuai dengan prinsip fiqih.

 

3 dari 3 halaman

Menurut Ulama Muhammadiyah

Menurut pandangan ulama Muhammadiyah, pertanyaan apakah makan membatalkan wudhu adalah topik yang terkait dengan ilmu fiqih. Ini ilmu yang mempelajari hukum-hukum agama dalam kehidupan sehari-hari. 

Dijelaskan bahwa dalam hal ini, seseorang yang tidak berada dalam keadaan berwudhu atau berada dalam keadaan batal wudhunya disebut sebagai "hadas." Saat seseorang berada dalam keadaan hadas, ia dihalangi untuk melaksanakan sholat atau tawaf hingga melakukan penyucian dengan berwudhu.

Namun, perlu ditekankan bahwa makanan tidak termasuk dalam daftar sebab-sebab yang dapat membatalkan wudhu. Sebaliknya, ada sejumlah faktor yang dapat membatalkan wudhu, dan berikut adalah penjelasannya:

Buang Air

Pertama, jika seseorang buang air kecil atau buang air besar, hal ini telah diatur dalam Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 6 sebagai salah satu hal yang membatalkan wudhu.

“Apabila salah seorang dari kamu telah buang air kecil atau besar…” (QS. Al-Maidah ayat 6)

Mengeluarkan Wadi

Kedua, mengeluarkan wadi, yang merupakan cairan berwarna putih dan kental yang biasanya keluar setelah buang air kecil. Menurut hadis Aisyah RA, wadi juga termasuk dalam hadas kecil, dan proses penyuciannya adalah dengan melakukan wudhu.

Mengeluarkan Madzi

Ketiga, mengeluarkan madzi, yaitu cairan bening, halus, dan lengket yang keluar saat ada dorongan syahwat, seperti saat bercumbu atau menginginkan hubungan intim. Mengeluarkan madzi juga dianggap sebagai hadas kecil dan memerlukan wudhu, seperti yang dijelaskan dalam hadis Ali RA.

“Aku adalah seorang laki-laki yang sering mengeluarkan madzi. Terkait hal itu, aku menyuruh seseorang untuk bertanya kepada Nabi SAW., mengingat kedudukan puterinya sebagai isteriku. Setelah orang itu bertanya, Nabi SAW. menjawab: Wudhulah dan cucilah kemaluanmu.” (HR. Bukhari dan lainnya)

Kentut

Keempat, mengeluarkan kentut. Hadis Abu Hurairah RA menjelaskan bahwa seseorang yang berada dalam keadaan hadas harus berwudhu sebelum melaksanakan salat. Kentut bisa membatalkan wudhu, terlepas apakah bersuara atau tidak.

Abu Hurairah RA: ”Rasulullah SAW bersabda: Tidak akan diterima salatnya orang yang berhadas sampai ia berwudu. Kemudian seorang laki-laki dari Hadramaut bertanya: Apakah hadas itu ya Abu Hurairah? Abu Huraerah menjawab: Hadas itu kentut yang tidak bersuara atau kentut yang bersuara”. (HR. Al-Bukhari dan Ahmad)

Menyentuh Kemaluan

Kelima, menyentuh kemaluan dengan sengaja. Hadis Busrah binti Safwan RA menyatakan bahwa seseorang yang menyentuh kemaluannya harus berwudhu sebelum melaksanakan sholat.

Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudhu”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmiidzi, an-Nasa`i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi berkata: Hasan sahih)

Tidur Nyenyak

Keenam, tidur nyenyak dengan berbaring. Menurut hadis dari Ibnu Abbas RA, tidur nyenyak dalam posisi berbaring, sehingga tidak merasakan datangnya hal yang dapat membatalkan wudhu seperti kentut atau menyentuh kemaluan, akan membatalkan wudhu.

Ibnu Abbas RA: “Dari Ibnu Abbas bahwa ia melihat Nabi SAW tidur dalam posisi sujud sampai ia mendengkur, kemudian ia berdiri untuk salat. Lalu saya bertanya kepada Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah sesungguhnya engkau telah tertidur. Maka beliau bersabda: Sesungguhnya wudu itu wajib (batal) melainkan bagi orang yang tidur berbaring, karena jika berbaring maka lemaslah sendi-sendinya.” (HR. AtTirmidzi dan Ahmad)